Kejadian itu terjadi sekitar tiga tahun lalu. Saya bersama seorang kawan, panggil saja Kewer, menghabiskan malam minggu di sebuah bar di bilangan jalan Parangtritis.
Malam itu kewer “ndadi”. Ia liyut berat. Maklum saja, malam itu, Kewer bukan hanya menghabiskan bergelas-gelas bir, namun juga bersloki-sloki moke Flores yang kerasnya memang terkenal ngaudubillah setan itu.
Saya sendiri tentu saja tidak mabuk, lha gimana, minum sprite yang semriwing di hidung dan kayak ada semutnya di lidah saja saya sudah mak jleng. Apalagi ngebir. Tujuan saya ikut ke bar bersama Kewer memang murni ingin memanaskan lantai dansa. Bukan minum-minum.
Pukul tiga pagi, bar tutup. Satu per satu pengunjung mulai pulang. Saya bingung setengah mati, sebab Kewer benar-benar tumbang. Ia bahkan tidak kuat berjalan.
Bagaimana cara membawa Kewer pulang? Padahal tempat tinggal kami jauh di Jalan kaliurang atas. Kami harus menempuh perjalanan dua puluh kilo lebih.
Saya akhirnya mengambil langkah yang cukup nekat. Kewer saya boncengkan di motor. Tangan kiri saya mencoba mengunci tangan Kewer agar memeluk saya, sedangkan tangan kanan memegang stang.
Perlahan, motor saya jalankan. Tentu saja saya tak bisa memacu motor dengan kencang, sebab saya harus membagi konsentrasi saya antara melihat jalan dan menjaga agar Kewer tidak doyong dan tidak jatuh.
Mengendarai motor denga muatan yang sangat tidak menyenangkan seperti Kewer ternyata memang bukan hal yang mudah. Susah payah saya mengendarai motor dan menjaga Kewer.
Dasar bajingan, sudahlah susah, sampai perempatan Pojok Benteng, kok ya sempat-sempatnya si Kewer berulah. Ia muntah banyak. Muntahnya di punggung saya, pula. Rasanya sungguh anget-anget asu.
Lelah, bingung, geram, bercampur menjadi satu.
Dalam kondisi yang demikian, dari arah belakang, saya mendengar teriakan yang keras. Saya tengok spion, terlihat dengan jelas sebuah motor mendekat ke arah saya. Pengendara motor itulah yang berteriak.
“Wah, modiar, keno klithih iki,” batin saya.
Motor kemudian saya pacu dengan kencang. Lha gimana, jam tiga pagi, jalanan sepi, dan tiba-tiba saya dikejar motor sambil diteriaki. Naluri saya mengatakan bahwa itu klithih. Tiada bukan.
Dasar sial, sekencang-kencangnya saya memacu motor, ternyata si pengejar jauh lebih kencang. Mereka berhasil menyalip dan mencegat saya.
Saya berhenti. Pasrah.
Si pengendara motor yang mencegat saya itu kemudian turun. Dua orang berkulit hitam.
“Ada apa, Mas?” tanya saya agak gugup.
Salah satu dari mereka kemudian mendekati saya sambil melirik Kewer.
“Mas, kawan Mas ini mabuk, dari tadi kami perhatikan kawan mas ini mboncengnya oleng, kami khawatir, makanya kami kejar, mau bantu,” ujarnya.
Jleb. Mulut saya tercekat. Dua lelaki yang saya pikir akan berbuat yang tidak menyenangkan itu ternyata justru berbaik hati menawarkan bantuan.
Belakangan, baru saya ketahui dua orang yang mengejar saya dan Kewer itu adalah mahasiswa. Satu dari Kupang, satu dari Papua.
Salah satu dari mereka kemudian menawarkan diri ikut membonceng saya dan menjaga Kewer. Kami kemudian cenglu (bonceng tiga). Saya di depan mengendarai motor, Kewer di tengah, sedangkan si lelaki timur itu di belakang memegangi Kewer.
Lelaki timur yang satunya mengawal motor dari belakang.
Sampai di sekitaran Ghra Sabha, saya baru tersadar kalau kaki kanan kewer ternyata tanpa alas kaki, padahal di kaki kirinya, sepatu sandalnya masih menempel. Kelihatannya jatuh di jalan.
Si lelaki timur yang ikut membonceng saya kemudian berteriak pada temannya yang mengawal di belakang.
“Masnya ini sandalnya jatuh, kamu tolong carikan!” teriaknya.
Mendengar hal tersebut, saya langsung nggak enak hati. Lha gimana, sudah ditolong buat membawa Kewer pulang saja saya sudah matursuwun, ini masih ditambah ditolong dicarikan sendal.
“Mas, Nggak usah dicari sandalnya. Hilang juga nggak papa,” ujar saya.
“Mas. Kalau nolong itu harus tuntas sekalian,” ujarnya.
Saya tidak bisa apa-apa.
Setengah jam perjalanan, kami akhirnya sampai di rumah kontrakan Kewer. Saya dibantu oleh si lelaki timur itu kemudian menggotong dan menidurkan Kewer di kamarnya.
Sepuluh menit berselang, kawan yang tadi mencari sandal Kewer menyusul sampai ke rumah kontrakan.
“Ini sandalnya, Mas. Ketemu. Ternyata jatuh di bunderan UGM,” ujarnya sambil menyerahkan sandal Kewer. Saya langsung trenyuh.
Saya lantas ke dapur dan membuatkan mereka teh. Saat saya sajikan, mereka sedang sibuk memperhatikan buku-buku yang ada di kontrakan.
“Banyak buku, Mas,” ujar salah satu dari mereka.
“Iya, Mas, kami menjalankan usaha penerbitan buku kecil-kecilan.”
Kami kemudian ngobrol-ngobrol sebentar. Saya tanya nama mereka. Mereka menyebutkan namanya yang, dasar sial, sekarang saya lupa.
Kepada dua orang timur itu, saya tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Sesaat sebelum mereka pamit pulang, saya memberikan uang sekadar ganti biaya bensin, mereka menolak dengan tegas.
“Aih, Mas ini. Kita ini menolong lho, bukan mau cari duit,” kata dia.
Atas dasar rasa tak enak hati, saya kemudian memberikan mereka masing-masing buku “Melawat ke Timur”, saya memaksa agar mereka tidak menolak pemberian tersebut. Mereka setuju dan senang.
“Terima kasih Mas, ya. Ini buku pasti akan kami baca.”
Mereka berdua kemudian pamit meninggalkan saya yang masih tak habis pikir, betapa baiknya mereka berdua.
Kini, tiga tahun berlalu, di belahan tanah yang lain, beberapa orang yang masih satu suku dengan saya, dengan enteng dan enaknya menyebut orang-orang Papua sebagai monyet.
Sungguh, di dada ini, tak ada rasa selain sungkan dan malu. Sungkan mengingat betapa baiknya orang Papua yang menolong saya beberapa tahun lalu, dan malu karena “saudara” saya menghina “saudara” orang yang sudah menolong saya tiga tahun lalu itu.