Manusia Indonesia, utamanya di era sosial media seperti sekarang ini umumnya memang punya hasrat untuk berdebat yang menyala-nyala. Itulah kenapa orang yang aktif bersosmed tanpa pernah berdebat adalah golongan orang-orang yang di luar umum. Orang-orang istimewa yang tentu saja sangat jarang jumlahnya.
Hasrat berdebat itu kian hari kian besar karena memang sosial media menyediakan lahan perdebatan yang sangat subur. Di Indonesia ini, kelihatannya hampir apa saja selalu bisa diperdebatkan.
Bubur diaduk atau tidak, bisa diperdebatkan. Perempuan boleh bekerja apa tidak, bisa diperdebatkan. Anjing boleh masuk masjid apa tidak, bisa diperdebatkan. Ha apalagi cuma sekadar Pilpres, sudah barang tentu sangat bisa diperdebatkan.
Saya menjadi satu dari segelintir orang yang suka sekali berdebat. Maklum, saya memang tipikal manusia pada umumnya, bukan manusia istimewa yang sedikit jumlahnya itu.
Saking seringnya saya berdebat, debat sampai menjadi semacam kegiatan yang sangat mengasyikkan bagi saya, padahal jelas-jelas agama saya sangat membenci perdebatan, apalagi perdebatan yang tidak perlu.
Sebagai seorang praktisi debat sosmed, saya (dan mungkin juga Anda) sudah jelas pernah berdebat dengan sangat keras dan brutal. Terjebak dalam perdebatan yang pada titik tertentu, sampai menggiring kita pada kondisi yang sangat buruk. Membuat kita tampak sangat bodoh dan egois, padahal kalau pas tidak debat, kita kelihatannya tampak sangat pintar, bijak, dan waskita.
Hal yang kemudian membuat kita menyesal karena sudah berdebat.
“Ngapain aku debat nggak penting gini, sih. Aku jadi kelihatan bego begini,” batin kita.
Kalau sudah dalam kondisi yang demikian, kita kemudian berada dalam persimpangan yang sebenarnya sama-sama membuat kita bimbang. Antara ingin mengakhiri debat atau melanjutkannya. Sayangnya, dua pilihan tersebut sama-sama punya konsekuensi yang sama-sama menyebalkan: Kalau dilanjutkan, Akan ada potensi kita bakal tampak lebih bodoh lagi, dan itu tentu saja menyebalkan. Sedangkan kalau dihentikan, kita jadi tampak kalah, ini juga tidak kalah menyebalkan.
Dari dulu, begitulah debat. Menyebalkannya tiada akhir.
Nah, satu dari sekian pengalaman perdebatan yang paling tidak mengenakkan adalah berdebat dengan akun anonim.
Kenapa tidak mengenakkan? Sebab tidak ada reputasi yang dipertaruhkan. Kalau kita kalah dan tumbang, kita malu. Tapi kalau dia yang kalah, dia nggak malu, sebab identitasnya tidak jelas. Ini kan nggak adil.
Sialnya, kita memang makhluk yang mudah terpancing. Disenggol sedikit saja bisa langsung panas dan njengat, tak peduli yang nyenggol itu akun anonim sekali pun. Padahal, kita semua harusnya paham, bahwa berdebat dengan akun-akun anonim dengan foto profil bergambar anime, hestek 2019, atau pemandangan alam itu tentu saja aktivitas yang merugi. Akun-akun seperti itu, jangankan mempertanggungjawabkan argumennya, mempertanggungjawabkan sosoknya sendiri pun ia tak becus.
Berdebat dengan akun anonim itu seperti bergumul dengan babi di atas lumpur. Kita semakin kotor, sedangkan babinya semakin senang.
Yah, doa saya untuk orang-orang yang setia pada jalan pedangnya dengan tidak pernah berdebat kendati ia tahu ada banyak hal yang harus didebat, semoga mereka senantiasa diberikan ketenangan dan keberkahan.
Dan untuk orang-orang yang sudah kadung kecanduan debat (saya salah satunya), semoga kita segera sadar dan memahami kesalahan kita. Kalaupun tidak, semoga kalau kalah debat, jangan telak-telak amat. Hehehe.