Tayangan acara Mata Najwa yang membahas tentang Perpu KPK beberapa waktu yang lewat benar-benar menjadi panggung kesialan bagi anggota DPR dari fraksi PDI Perjuangan Arteria Dahlan.
Episode Mata Najwa tersebut benar-benar membuat Arteria Dahlan langsung menjadi public enemy. Maklum, dalam acara tersebut, Arteria menampilkan sikap yang dianggap tidak beradab.
Kepada Emil Salim, Mantan Menteri Lingkungan Hidup sekaligus ahli ekonomi dan cendekiawan, Arteria tak segan “ngegas” dan bahkan menunjuk-nunjuk sosok sepuh tersebut. Ia berkali-kali memotong penjelasan Emil Salim. Lebih jauh, ia bahkan menganggap pendapat Emil Salim sesat.
Bukan hanya pada Emil Salim, sikap tak menyenangkan tersebut juga ia suguhkan pada pembicara lain. Ia beberapa kali memotong argumen narasumber kendati sudah diperingatkan berkali-kali oleh Najwa Shihab sebagai empunya acara.
Sikap Arteria Dahlah yang menyebalkan itu membuat dirinya layak untuk berada dalam satu panggung debat bersama Munarman dan Arief Poyuono dengan moderator Ramzi atau Gilang Dirga.
Masyarakat langsung merespon tayangan tersebut. Arteria langsung dihujat dan dibully berjamaah di sosial media. Masyarakat seperti menemukan musuh bersama.
Entah kenapa, jiwa jahat saya merasa sangat bahagia melihat seseorang seperti Arteria Dahlah dibully sedemikian rupa. Iya, saya jahat. Tapi ah, bodo amat.
Di sosial media, saya banyak menemukan orang-orang yang membela Arteria Dahlan. Mereka menyayangkan kenapa publik lebih fokus pada sikap Arteria Dahlan alih-alih pada substansi argumennya.
Bagi saya, lautan massa yang mengecam sikap tak beradab Arteria Dahlan dalam sebuah diskusi (apalagi lawannya ada orang yg lebih tua) justru merupakan sedikit harapan bahwasanya kita masih sangat peduli dengan adab. Pendidikan moral kita masih cukup bisa diandalkan kendati PMP sudah lama hilang.
Kita masih cukup punya kegelisahan dan keresahan ketika adab tidak ditunaikan dengan baik. Kita masih gusar dan marah ketika melihat ada orang tua ditunjuk-tunjuk dan disela pendapatnya berkali-kali.
Soal argumen, saya merasa itu biarlah menjadi menjadi hal lain. Baik Arteria maupun lawan bicaranya punya dalih dan landasan berpikir sendiri. Boleh jadi Arteria benar, tapi bisa juga salah. Begitu pula lawan bicaranya.
Tapi tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berbicara dengan nada tinggi pada orang tua, dan merasa dirinya paling tahu akan satu perkara adalah hal yang saya pikir kita semua sepakat menganggapnya sebagai sesuatu yang salah.
Boleh jadi kita memang tidak sependapat dengan pak Emil Salim, tapi rasanya kita merasa prihatin tatkala ia diperlakukan sedemikian rupa. Ini sama seperti kita boleh saja tidak setuju dengan argumen Pak Tamrin Tamagola, namun kita wajib marah saat ia diguyur wajahnya dengan secangkir teh oleh Munarman.
Pada titik tertentu, saya merasa kita patut bersyukur atas sikap Arteria. Ia menjadi bukti bahwa kita setidaknya tidak sebarbar dirinya. Ia juga menjadi bahan pelajaran yang baik untuk kita.
Mengutip apa kata Gus Mus dalam unggahan Instagramnya, “Dari orang yang tidak beradab pun, kita bisa belajar menjadi orang beradab.”