MOJOK.CO – Selain menahan kangen, menahan kencing juga merupakan salah satu usaha bertahan yang paling berat.
Pada abad ke-15, Tycho Brahe boleh dibilang merupakan astronom terbaik di dunia. Ia, di masa pra-teleskop, merupakan astronom dengan akurasi pengamatan bintang dan planet yang tak ada tandingannya. Sebagai ilustrasi betapa dahsyat dan hebatnya Tycho Brahe itu, manusia brilian sekelas Johannes Kepler itu pun “cuma” jadi asisten bagi Brahe.
Sayang, kelak, di masa depan, orang-orang mengenal Tycho Brahe bukan hanya karena disiplin ilmunya di bidang astronomi, namun juga karena sebab kematiannya yang cukup tragis.
Tycho Brahe memang meninggal karena sebab yang sangat-sangat konyol: menahan kencing. Ya, menahan kencing.
Dalam sebuah acara perjamuan, Brahe yang kebelet setengah mampus itu sengaja menahan selama mungkin agar ia tidak kencing. Ia menganggap bahwa pergi ke belakang saat menghadiri perjamuan adalah sebuah pelanggaran etiket.
Ketika sampai di rumah, saat akan menuntaskan dendamnya, barulah Brahe sadar kalau ia ternyata justru tak bisa kencing. Usut punya usut, kandung kemihnya ternyata pecah karena ia terlalu lama menahan kencing. Tak berselang lama, Brahe pun pingsan dan pada akhirnya meninggal.
Betapa tragisnya, seseorang yang amat sangat peduli dengan pergerakan “bola-bola” di angkasa, ternyata justru mengabaikan geliat dua bola di bawah penisnya.
Kisah tentang kematian Brahe itu terus saya ingat. Tentu saja saya tak ingin mengikuti nasib Brahe. Itulah kenapa saya tak pernah segan untuk izin ke belakang saat mengikuti acara sepenting apa pun.
Namun, acara kali itu memang sungguh berbeda. Saya diminta mewakili kantor saya untuk menjadi salah satu pemateri acara Bulaksumur National Conference di auditorium gedung Fisipol UGM membahas tentang kultur ekonomi kreatif dan literasi digital.
Saya sudah berkali-kali mengisi acara di auditorium Fisipol, namun entah kenapa, khusus saat itu, suhu ruangannya terasa sangat dingin. Pokoknya tidak sedingin saat saya mengisi acara di tempat yang sama di waktu-waktu sebelumnya.
Dinginnya ruangan mau tak mau membuat tubuh saya yang memang jarang disentuh oleh angin AC ini menjadi sangat kaget. Ada semacam gegar budaya yang menjalar ke seluruh tubuh. Dinginnya terasa sangat membacok tulang. Saya mendadak jadi sangat sering kebelet kencing.
Seperti yang saya tulis di atas, saya tak pernah segan meminta izin kepada panitia untuk pergi ke toilet demi menuntaskan hajat saya. Bagi saya, urusan seprinsipil itu tak bisa dikesampingkan.
Namun menjadi lain ceritanya jika ia terjadi berulang-ulang. Saya sudah izin ke toilet dua kali dalam rentang waktu yang tidak lama, dan keparat, burung saya ternyata masih tetap ingin kencing. Ia tampaknya punya pasokan cairan yang melimpah untuk ia keluarkan kapan pun ia mau.
Untuk izin yang pertama dan kedua, saya masih punya nyali. Namun untuk izin-izin berikutnya, saya harus mulai pikir-pikir. Ada gengsi dan harga diri yang harus saya jaga. Saya tentu saja tak ingin tampak sangat “udik” karena nggak tahan dengan dinginnya AC ruangan walau saat itu saya merasa bahwa kadar dingin di auditorium memang tidak masuk akal dan bahkan cenderung zalim.
Selain itu, saya juga harus menjaga perasaan pemateri lainnya. Tentu menjadi preseden yang tak menyenangkan jika saya harus bolak-balik ke belakang saat pemateri lain menjelaskan pemaparannya. Saya takut dianggap tak tertarik dengan presentasi yang sedang mereka bawakan.
Namun apa boleh bikin, saya benar-benar tak kuat. Maka, pertahanan saya pun jebol. Saya akhirnya mengorbankan gengsi dan rasa malu saya untuk kembali meminta izin untuk ke toilet.
Panitia acara, dengan tetap pasang tampang senyum, toh tetap mempersilakan saya. Nggak mungkin juga mereka menolak dan menahan saya.
Setelah buang air yang ketiga, ternyata burung saya masih tetap tak mau diajak bekerja sama. Ia masih terus kebelet seperti selayaknya burung orang yang sedang anyang-anyangan.
Kali ini, persetan saya bakal dianggap udik atau sekadar dibatin oleh peserta dan panitia. Saya sudah nggak peduli. Saya tak segan lagi untuk izin ke toilet berkali-kali.
Setelah keluar dari toilet, saya pun memutuskan untuk duduk di belakang dekat pintu keluar auditorium. Panitia memaksa saya agar kembali duduk ke depan di kursi yang memang disediakan untuk para pejabat kampus para pemateri. Saya menolak. Saya menyampaikan alasan saya. Saya terpaksa menceritakan kondisi saya yang saat itu terus-terusan kebelet karena hawa dingin ruangan. Butuh waktu agak lama untuk meyakinkan panitia sampai akhirnya mereka memperbolehkan saya untuk duduk di belakang saja.
Dasar nasib, sudahlah ruangannya dingin, ternyata saya masih harus menerima kenyataan bahwa saya harus mengisi di sesi paling akhir bersama politisi PDIP sekaligus mantan anggota DPR Budiman Sudjatmiko.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang saat itu dijadwalkan menjadi pemateri di sesi akhir ternyata justru meminta agar bisa mengisi di sesi awal karena ia harus segera bertolak ke tempat lain untuk menghadiri acara lainnya.
Alhasil, saya masih harus bertahan berjam-jam lagi sebelum akhirnya tiba sesi saya menyampaikan materi. Saya masih tetap bolak-balik ke toilet, walau kali ini, bolak-baliknya jauh lebih ringan karena saya duduk di belakang, sehingga tak banyak peserta yang melihat saya saat keluar-masuk ruangan auditorium.
Saya tak ingat saat itu sudah buang air yang ke berapa. Mungkin yang ketujuh, atau malah kedelapan.
Saat berjalan menuju toilet itu, saya melihat Budiman Sudjatmiko juga sedang menuju ke arah yang sama.
“Dingin banget, Mas, di dalam. Ini saya sudah berkali-kali kencing,” kata saya singkat. Yah, sekadar melontarkan basa-basi karena kami sama-sama sedang berjalan menuju ke toilet.
Tak disangka, jawaban dia ternyata sangat menyenangkan hati saya. “Lho, sama,” jawabnya, “Ini saya juga sudah berkali-kali ke toilet. Memang dingin betul di dalam.”
Jawaban Budiman benar-benar memunculkan kelegaan yang luar biasa di dalam hati saya. Ternyata bukan saya saja yang merasa bahwa ruangan auditorium Fisipol itu dinginnya setengah mampus. Mantan anggota DPR yang tentu sudah sangat sering berada di ruangan ber-AC dan bahkan pernah tinggal agak lama di Inggris kayak Budiman Sudjatmiko saja bisa kebelet kencing berkali-kali, apalagi saya.
Maka, persis setelah Budiman menjawab basa-basi saya itu, langkah saya ke toilet langsung berubah menjadi sangat ringan.
Saya memelankan langkah saya dan membiarkan Budiman berjalan mendahului saya.
Dari belakang, saya memandangi sosok politisi yang saat itu memakai kemeja warna putih itu.
“Dasar udik,” batin saya.
BACA JUGA: Kesuksesan Tak Ada Hubungannya dengan Bangun Pagi, dan Saya Berharap Itu Benar atau tulisan Agus Mulyadi lainnya.