Isu tentang kudeta kepemimpinan Partai Demokrat mendadak menjadi panas. Tepat ketika saya menuliskan tulisan ini, kata kunci “kudeta” menempati peringkat ketiga sebagai kata kunci trending di Twitter. Isu ini bahkan lebih banyak dibicarakan ketimbang Nia Ramadhani yang menjadi perbincangan karena omongannya belepotan saat menjadi MC, yang saking belepotannya, sampai membuat Vicky Prasetyo pun tampak lebih punya kompetensi untuk ngemsi.
Melalui siaran persnya, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono a.k.a AHY menyatakan bahwa sedang ada kekalutan yang menyelimuti partainya yang memang sedang dingin karena nggak ikut kena hawa panas dari “api-api kekuasaan” itu. AHY menyebut bahwa ada pihak-pihak yang sedang melakukan upaya-upaya untuk mengambil alih kepemimpinan Partai Demokrat. Salah satu pihak tersebut menurut AHY merupakan pejabat tinggi negara di lingkaran kekuasaan Jokowi.
AHY tidak menyebutkan nama pejabat tinggi yang dimaksud. Tentu ini bukan karena ia ingin main tebak-tebakan (walau mungkin tidak menutup kemungkinan AHY dulu pernah punya hobi mengoleksi tutup botol Fanta itu), melainkan karena faktor etis saja. Maklum, sebagai ketum, ia memang harus senantiasa berhati-hati terhadap apa pun yang keluar dari mulutnya. Ketum, je. Bahkan kalau perlu, bersin atau muntah pun harus tetap berwibawa. Sekali lagi, ketum je.
Namun yang namanya Ketum tentu tak selalu beriringan dengan anggota. Kalau AHY tidak menyebut siapa nama pejabat tinggi tersebut, para politisi Demokrat justru dengan blak-blakan cetha wela-wela menyebutkan siapa sosok pejabat tinggi itu, pejabat yang tak lain dan tak bukan adalah Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko.
“Banyak yang bertanya siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambil alih kepemimpinan AHY di demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko. Kenapa AHY berkirim surat ke Pak Jokowi, karena saat mempersiapkan pengambilalihan menyatakan dapat restu Pak Jokowi,” cuit Andi Arief melalui akun Twitternya.
“Selamat malam, Jenderal Moeldoko. Kalau tak mampu jadi the good, jangan jadi the bad, apalagi the ugly,” kata Rachland Nashidik juga melalui akun Twitternya.
Pernyataan beberapa politisi Demokrat yang menyebut blak-blakan nama Moeldoko tak bisa tidak kemudian memunculkan semacam amplifikasi pertarungan antara Partai Demokrat dengan pemerintah.
Selama ini, Partai Demokrat memang kerap dicitrakan sebagai partai yang tenang-tenang saja. Tidak bergabung dengan pemerintah, namun juga tak menampakkan manuver-manuver khas oposisi yang seperti yang dilakukan oleh PKS.
Maka, isu kudeta ini boleh jadi menjadi isu yang panas, sebab ia bisa adalah sinyal bahwa Demokrat harus benar-benar menjadi oposisi yang thas-thes.
Namun, tentu saja bukan itu yang menarik untuk dibahas. Bagi saya, yang lebih menarik justru perang dingin antara Moeldoko dengan AHY. Kalau ternyata memang benar Moeldoko adalah salah satu sosok yang ingin melengserkan pucuk kepemimpinan Partai Demokrat dari AHY, maka itu tentu melahirkan perseteruan yang amat sangat sentimentil.
Lha gimana, tak bisa tidak, karier Moeldoko yang moncer dalam politik itu salah satunya karena andil SBY dan tentu saja Partai Demokrat. Moeldoko dilantik menjadi Panglima TNI di era SBY, padahal saat itu, ia baru menjabat sebagai KSAD tiga bulan saja. Ia diputuskan menjadi Panglima TNI pun melalui mekanisme rapat sidang paripurna DPR yang mana kita tahu Partai Demokrat-lah yang mempunyai kursi terbanyak saat itu.
Tentu kita bisa membayangkan, betapa mangkelnya seorang AHY kepada Moeldoko, yang notabene adalah orang yang dulu dikerek naik oleh bapak dan partainya, dan ternyata kini justru menjadi orang yang melawan dirinya.
Akan lebih tragis lagi kalau ternyata, di masa depan, konstelasi politik memaksa AHY untuk bergabung menjadi satu dan berada satu kubu dengan Moeldoko. Ingat, ini politik, apa saja bisa terjadi. Jokowi dan Prabowo saja bisa melalui fase “bersama – berseberangan – bersama lagi”, apalagi cuma AHY dan Moeldoko.
Yang bakal repot tentu saja adalah proses rekonsiliasi kulturalnya. Ketika berada satu kubu, orang-orang Demokrat termasuk AHY harus bisa melepaskan dendam (setidaknya untuk sementara) kepada Moeldoko demi terciptanya keharmonisan politik (yang tentu saja sementara juga).
Baik AHY maupun Moeldoko nantinya harus duduk bersama satu meja untuk membicarakan sesuatu. Apa saja. Yang jelas satu meja. Bisa di meja kantor partai, meja pemenangan koalisi, meja ILC, atau kalau perlu, meja setting podcast-nya Deddy Corbuzier.
Ini bakal menjadi pemandangan yang menarik.
Kita bisa menyaksikan keduanya saling membuka dan mengungkapkan perasaan kesalnya satu sama lain untuk kemudian saling memaafkan seperti yang pernah dilakukan oleh Deddy Corbuzier dan Demian.
Betapa akan sangat syahdunya pemandangan tersebut. Keduanya, di podcast Deddy Corbuzier saling bercerita mengenang cerita almamater mereka dulu saat masih di Akmil. Seperti yang kita tahu, keduanya memang sama-sama jebolan Akmil, dan kebetulan juga, sama-sama peraih bintang Adhi Makayasa sebagai lulusan terbaik Akmil di angkatannya masing-masing. Moeldoko angkatan 1981, AHY angkatan 2000.
“Pas jaman angkatanku, aku dan anak-anak sering ngambil salak di gunung tidar trus diumpetin dekat pohon-pohon di lapangan Sapta Marga itu, Dek.” ujar Moeldoko, “Nanti pas malemnya kita ambil dan kita makan bareng-bareng.”
“Wah, kalau pas angkatanku sudah nggak boleh itu, Mas. Soalnya jam keluarnya sudah lebih ketat.”
“Trus kalau pas minggu, ada beberapa taruna yang sering sengaja main deket gelanggang remaja, cuma buat lihat warga yang jogging sambil cobain obstacle kita, siapa tahu ada cewek cakep, bisa digebet.”
“Ah, iya. Sama. Pas angkatanku juga gitu, Mas. Hahaha.”
“Lho, jebul ya sama saja. Sama-sama nggragasnya. Hahaha”
“Cuma sayang, sekarang obstacle-nya sudah ditutup untuk umum, Mas. kan sebelahnya itu sudah dibikin tempat golf.”
“Ah, iya, sayang sekali. Padahal itu memorable banget, lho.”
Keduanya bercerita panjang lebar tentang kenangan menempuh pendidikan di Akademi Militer Magelang itu. Hingga tanpa terasa, jiwa korsa mereka muncul. Moeldoko dan AHY kemudian saling berpelukan. Mencoba melupakan perseteruan masa lalu mereka.
Deddy Corbuzier yang tampak mulai ikut terharu dan matanya mulai sembab kemudian secara spontan memutar lagu “Terpesona, aku terpesona…” Deddy harus melakukan itu agar ia tak ikut tercebur terlalu jauh dalam suasana haru itu.
“Bisa luntur eye shadow gue kalau sampai gue nangis,” kata Deddy.
Demi mendengar lagu Terpesona itu, jiwa prajurit Moeldoko dan AHY pun langsung meluap-luap. Seakan didorong oleh gerak reflek, keduanya kemudian langsung melakukan gerakan push up, jungkir balik, sampai tepok-tepok dada seperti yang biasa dilakukan oleh prajurit TNI-Polri kalau dengar lagu itu.
“Sekali prajurit tetap prajurit ya, Dik,” ujar Moeldoko sambil koprol.
“Iya, Mas. Urusan politik itu hanya urusan lima tahun sekali, tapi selamanya, hati kita akan tetap Kartika Eka Paksi,” kata AHY sambil tepok-tepok dada.
Terpesonaaaaaa akuuuuu terpesonaaaaaa… memaaandang memandang Demokrat yang maniiiiis…