Halo, Bapak Wiranto.
Perkenalkan, saya Agus Mulyadi.
Pak Wir, langsung saja ya. Sebelumnya saya hendak mengucapkan terima kasih karena Bapak masih begitu cinta dan peduli terhadap bangsa ini (walaupun tahun kemarin njenengan terpaksa gagal nyapres). Buktinya, njenengan masih sudi dan mau menyempatkan diri untuk menulis opini tentang kebangsaan di Koran Kompas edisi kemarin, Senin, 7 Desember 2015, yang berjudul, “Negeri yang Terbelah”. Sungguh, Pak, tulisan tersebut begitu menggugah setiap insan untuk bisa lebih peduli kondisi negara ini.
Saya yakin, tujuan njenengan menulis opini kebangsaan di Kompas itu tentu murni karena rasa cinta kepada bangsa Indonesia, dan bukan karena mengharap honor dari Kompas. Tujuan yang sangat mulia, tentunya. Sangat berbanding terbalik dengan para penulis Mojok yang cuma mengharapkan honor tanpa mempedulikan konteks kebangsaan dalam setiap tulisannya.
Tapi sayang, ya, Pak Wir, tulisan njenengan di Kompas kemarin harus tercoreng oleh blunder yang amat fatal, karena njenengan menyebut sila keempat Pancasila adalah “Persatuan Indonesia”.
Sebagai penulis buku “Jomblo Tapi Hafal Pancasila”, tentu saya merasa begitu sedih dan terpukul (oke, ini mungkin terlalu dramatis, tapi percayalah, Pak, saya memang benar-benar terpukul) saat mengetahui njenengan salah menyebutkan “Persatuan Indonesia” sebagai sila keempat Pancasila. Padahal njenengan tidak jomblo, lho. Aduuuh… Pucing pala Harry Panca!!!
Kalau yang nulis Vicky Prasetyo, sih, mungkin orang-orang akan maklum dan tidak mempersalahkan (karena memang dia sudah punya branding yang kuat di bidang kesalahkaprahan, malah jatuhnya bakal mengherankan kalau Vicky Prasetyo bisa menyebutkan dengan benar sila-sila Pancasila). Lha tapi ini yang nulis njenengan je, seorang Jenderal lulusan Akademi militer, yang dulu setiap jam empat pagi sudah harus bangun karena dicekoki dengan lagu-lagu nasional yang heroik lagi melodius itu. Mantan Panglima TNI yang tentu sudah nglothok perkara bela negara. Kok ya bisa-bisanya njenengan ndak hafal urutan Pancasila.
Saya sempat jengkel dan gregetan lho, Pak, hingga kemudian saya sadar bahwa saya adalah penulis Mojok yang selalu dituntut untuk menjunjung tinggi asas husnuzhonisme. Akhirnya, setelah berkontemplasi cukup lama, saya pun berkesimpulan, bahwa kesalahan fatal di dalam tulisan njenengan itu bisa jadi memang sengaja njenengan buat, tujuannya adalah semata untuk memancing rakyat Indonesia agar bisa bersikap lebih kritis dan empiris dalam menangapi informasi. Atau bisa jadi, njenengan sengaja menyebut “Persatuan Indonesia” itu sebagai sila ke-empat semata untuk memancing kinerja para redaktur media massa agar bisa lebih teliti (yang sialnya, umpan yang njenengan berikan tidak disaut dengan benar oleh redaktur Kompas).
Hal ini mungkin sama seperti yang dilakukan oleh Pak Jokowi (kompatriot njenengan sesama KIH, Koalisi Indonesia Hebring, eh, Hebat), yang beberapa waktu lalu sempat salah menyebut Blitar sebagai tempat kelahiran Bung Karno. Saya kira, tujuan beliau waktu itu juga sangatlah mulia, yaitu membuat masyarakat agar bisa lebih “Jas Merah”. Dan, toh, hasilnya brilian. Kini banyak masyakarat yang jadi tahu, bahwa kota kelahiran Bung Karno adalah Surabaya, bukan Blitar. Bayangkan, Pak Jokowi rela dibuli demi mencerdaskan pengetahuan sejarah masyarakat Indonesia. Sangat patriotik sekali, luar biasa.
Tapi walaupun begitu, Pak, saya tetap merasa ndak rela kalau njenengan harus dibuli sama netizen. Please, Pak, jangan ikuti cara pak Jokowi deh. Sebab bagaimanapun, tidak banyak masyarakat di luar sana yang punya pandangan bijak dan husnuzhon seperti saya. Ehem. Saya sungguh ndak rela njenengan dianggap sebagai Jenderal yang ndak hafal Pancasila. Keterlaluan betul kalau hal tersebut sampai terjadi.
Tolong jangan bikin blunder seperti ini lagi, Pak, jaga citra njenengan. Ingat, masih ada tahun 2019 lho. Cukup insiden kali ini jadi yang terakhir ya, Pak.
Tapi, walau bagaimanapun, semua itu kan kembali kepada njenengan. Saya ini apa sih, cuma bisa memberi saran, semata sebagai wujud perhatian saya kepada njenengan yang lulusan Akademi Militer, yang kebetulan lokasi kampusnya bersebelahan persis dengan kampung saya di Magelang. Sebab itulah saya jadi merasa punya beban moral untuk saling mengingatkan.
Nah, pesan saya yang terakhir, pokoknya Bapak jangan pernah berkecil hati ya. Jangan patah semangat hanya karena dianggap sebagai warga negara yang tidak hafal Pancasila. Entah salah itu disengaja atau tidak, bagi saya, njenengan masih tetap lebih baik kok, kan salahnya cuma beda tipis. Yah, setidaknya njenengan menyebut sila ke-empat Pancasila itu “Persatuan Indonesia”, bukan “Naik Haji Bila Mampu”. Bisa ambyar, Pak.
Sudah, begitu saja, Pak. Maaf apabila saya terlalu lancang.
Salam sayang selalu.
Eh, eh, maaf, ketinggalan satu pertanyaan, Pak. Waktu menulis opini tersebut, njenengan tidak sedang menyamar, kan?