Tanya
Assalamualaikum, Mas Agus,
saya hamba Allah yang bernama Gusti. Saya adalah mahasiswa perantauan asal Tangerang yang tinggal di Jogja. Karena alasan magelangan, saya dan kawan-kawan dari Tangerang membentuk perkumpulan yang bernama Burjois. Dengan dasar perjuangan, “Ada Aa, semua bahagia.” Dan karena alasan magelangan pulalah saya merasa lebih nyaman untuk curhat dengan Mas Agus Magelangan.
Jujur, Mas, beberapa bulan yang lalu saya memutuskan pacar saya secara sepihak, tanpa alasan. Saya hanya bilang, “Kayaknya kita putus aja deh.” Dan tak ada lagi yang-yangan di handphone saya, Mas.
Sejujurnya alasan saya memutuskan dia karena saya takut menghadapi masa depan bersamanya, Mas Agus. Bagaimana saya tidak takut, Mas, orang tuanya menjadi manager sebuah pom bensin, dan kalo Mas Agus main ke rumahnya sembari iseng joging, pasti bakal ada mobil fortuner hitam yang menyembul keluar melewati batas garasinya.
Yamaha N-Max pun sudah terparkir manis di teras rumahnya. Aduh, Mas, yang bikin mbrebes mili lagi, sekarang dia juga sedang magang di Pertamina, Mas. Lah saya ini apa? Tulisan di Mojok aja enggak naik-naik, gimana ke depan hidup saya sama dia? Mau saya kasih makanan apa, Mas?
Saya ingin tanya sama Mas Agus, kira-kira skenario Tuhan yang paling pas buat saya bisa nyawiji mewadah sama mantan pacar saya itu bagaimana ya, Mas? Sejujurnya saya masih sayang sama dia, tapi saya takut rasa sayang itu karena harta benda, Mas. Kata Umar bin Khattab, barang siapa yang berhijrah karena selain Allah pasti akan mendapatkan sesuai dengan niatannya. Lah saya ini masih bingung, Mas, niat saya menghijrahkan rasa sayang saya ke dia alasannya apa, Mas? Harta Orangtuanya? Ia lulusan mana? Ia magang di mana? Gajinya berapa?
Ya Allah, saya gamang, Mas, barangkali Mas Agus bisa mengintip sedikit lauhul mahfuzh untuk saya tentang skenario Allah agar suatu hari nanti siapa tahu saya bisa mendapatkan ucapan “Samawa ya sama dia.”
Mas Agus, dengarkan curhatku tentang dirinya, betapa bingungnya niat hijrah cintaku padanya. Jujurlah padaku, jujurlah padaku. Terima kasih, Mas Agus Magelangan.
Hamba Allah, Gusti (Burjois Tangerang).
Wassalamu’alaikum.
Jawab
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Gusti yang baik hatinya, namun buruk keuangannya…
Jujur, sebenarnya saya malas membalas curhatan dari pria pengecut macam sampeyan. Tapi ya mau bagaimana lagi, surat ini ndilalah kok ya ditujukan untuk saya. Maka sebagai redaktur yang baik lagi menjunjung tinggi asas profesionalisme, saya wajib membalas curhatan sampeyan.
Jadi begini, Gusti.
Saya tahu, posisi sampeyan cukuplah sulit. Saya pernah–dan sangat sering–berada dalam posisi seperti anda: Menjadi lelaki lemah dengan saldo rekening yang jauh lebih lemah lagi.
Posisi sampeyan semakin sulit karena sampeyan menjalin hubungan dengan perempuan yang orang tuanya secara strata ekonomi berada cukup jauh di atas sampeyan. Sampeyan lantas minder, merasa lemah (eh, sampeyan memang lemah ding), dan kemudian memutus sepihak hubungan asmara sampeyan.
Gusti yang baik hatinya, namun buruk keuangannya…
Kamu kok goblok bingits sih… eh, maaf… kelepasan, tapi ya sudahlah, sudah kadung ini, lagian memang begitu kenyataannya.
Gusti, sampeyan punya pacar yang saya yakin ia baik dan pengertian. Lha gimana ndak pengertian, sebagai anak seorang manager pom bensin, ia pastilah perempuan yang makmur dan sentosa, punya bujet yang cukup buat perawatan kecantikan, serta punya jaminan masa depan yang baik lagi menyenangkan. Dengan track record kehidupan yang sebegitu cemerlang, ia pastilah diperebutkan oleh banyak pria. Dan kenyataanya, ia memilih menjadi pacar sampeyan (walau sekarang sudah mantan, sih).
Hal pertama yang menurut saya harus sampeyan lakukan adalah: Menyesal. Ya, menyesal sebesar-besarnya karena sudah memutus sepihak perempuan sebaik pacar anda.
Gimana? Sudah menyesal? Oke, kalau sudah, biar saya lanjutkan.
Gusti yang baik hatinya, namun buruk keuangannya…
Membangun cinta itu pakai perasaan, tapi mempertahankannya, tetap harus pakai penghasilan. Ini sebenarnya lebih ke soal penghasilan. Penghasilan, bukan besarnya penghasilan.
Jadi, selama sampeyan masih merasa menjadi lelaki yang punya penghasilan (walau tak besar), sampeyan harus senantiasa berdiri di atas kepercayaan diri yang mantap. Senantiasa merasa punya modal untuk mempertahankan sebuah hubungan.
Jangan minder cuma karena orang tua (mantan) pacar anda manager pom bensin. Kalau perlu, tandingi. Buka kios bensin kecil-kecilan di rumah anda. Kalau ditanya, “kamu kerja apa?” jawab saja, “saya kerja di Pertamina, Pak, bagian sales and marketing.”
Ingat, sales and marketing, jangan pemasaran dan penjualan. Sebab ini penting untuk menaikkan kembali kepercayaan diri sampeyan yang sudah lembek kayak marsmallow.
Saya tahu, ini akan sulit, bagaimanapun juga, rasa rikuh-pekewuh memang akan selalu ada. Nah, itulah yang harus sampeyan lawan. Sadar diri memang baik, tapi pada titik tertentu, ia bisa menjelma menjadi sesuatu yang kejam dan sering kali merusak kepercayaan diri. So, tempatkan rasa sadar diri sampeyan pada porsi yang semestinya.
Dan pada posisi sampeyan yang sekarang ini, baiknya sampeyan buang dahulu rasa sadar diri sampeyan.
Saran saya, coba temui mantan pacar sampeyan, bangun kembali hubungan kalian (semoga dia masih mau). Man-eman, Mas, sampeyan sudah sampai di tahap yang cukup meyakinkan. Belajar dan bekerjalah lebih giat. Buat penghasilan sampeyan menjadi cukup meyakinkan (cukup meyakinkan lho ya, bukan sangat meyakinkan)
Jika sudah mantap, temui orang tuanya. Untuk apa? Ya untuk ngelamarlah, mosok ngambil jimpitan.
Berikan pengertian kepada orang tuanya, bahwa sampeyan bisa menjadi pendamping yang baik dan ideal untuk anak gadis mereka. Berusaha sebaik mungkin, jangan menyerah.
Sampeyan baru boleh menyerah jika bapaknya sudah bilang “Maaf, Mas, anak saya sudah saya jodohkan sama perwira angkatan laut. Bulan depan, kalau dia sudah pulang dari tugas di kepulauan Solomon, bakal langsung saya nikahkan sama anak saya.” Atau “Aku ra sudi nduwe mantu koyo kowe, rupamu koyo garpu!”
Kalau memang sudah tidak mungkin, barulah sampeyan belajar untuk merelakan. Cari perempuan lain, kalau bisa yang orang tuanya biasa saja, jangan yang makmur-makmur amat. Tapi kalau sampeyan memang ingin balas dendam, boleh sesekali cari perempuan yang orang tuanya makmur sekali. Yah, siapa tahu anda memang ketagihan buat dihinakan…
Gusti yang baik hatinya, namun buruk keuangannya…
Jujur, Saya sendiri sampai sekarang belum berani ngelamar pacar saya. Lha jangankan ngelamar, lha wong mampir ke rumahnya saja saya belum berani. Padahal pacar saya orang tuanya cuma pedagang biasa, bukan manager Pertamina seperti (mantan) pacar sampeyan.
Tapi ya mbok prek, wong di rubrik ini, tugas saya hanya memberi nasihat, bukan memberi contoh. Jadi jangan terlalu banyak menuntutlah, ya…
Gusti yang baik hatinya, namun buruk keuangannya…
Camkan ini. Punya kekasih anak orang kaya itu tidak salah, yang salah adalah punya kekasih istri pengusaha kaya.
Lagi pula, kalau perempuan kaya hanya boleh bersanding sama lelaki kaya, maka SCTV tak akan pernah punya acara FTV. Kasihan Ryan Delon dan Ben Joshua, mereka mau kerja apa? Jualan bensin?