Di masa lalu, saya selalu senang membenci tanpa harus mencari tahu alasannya. Sebabnya sederhana, lebih hemat energi karena tidak perlu menggunakan otak untuk belajar mengenali dan memahami.
Hari ini, saya juga masih seperti itu. Terutama kepada Mojok. Media kafir yang tidak pernah peduli dengan isu-isu penting di negeri ini, karena hanya peduli dengan hal-hal remeh seperti martabak, Alfamaret-Indomaret atau kondisi percintaan syahdu nan pilu Arman Dhani dan Agus Mulyadi.
Alasan lain, karena tulisan-tulisan yang pernah saya kirim ke meja redaksi Mojok tidak pernah direspons. Tidak ditayangkan, dan tak ada pemberitahuan mengenai kejelasan nasib naskah yang susah payah saya buat. Tersangka semua kejahatan tersebut tidak lain duo serigala jadi-jadian: Arlian Buana dan Eddward S. Kennedy. Mereka adalah sebab dari menggunungnya kebencian dan sakit hati yang membuat otak saya gagal menggunakan nalar. Keinginan untuk populer, lewat situs besar megah yang tulisannya disebar jutaan orang ini, kandas.
Saya kecewa dengan Mojok.
Mereka tidak pernah membahas hal-hal penting semisal Freeport, soal Jokowi yang menjual negeri ini dengan murah, buruh yang dihisap dan diupah murah. Mojok juga tidak heboh ketika tanah kaum tani dan rakyat Papua dirampas. Tanya saja Mas… ah, sudahlah.
Sejak diluncurkan pertama kali, Mojok tumbuh menjadi sebuah media yang menjadi rujukan banyak orang untuk dijiplak, disebarluaskan, dan dikutip sebagai satu-satunya pusat kebenaran akal-akalan dan kesempurnaan dunia. Namun kami, Barisan Pembenci Mojok menyadari bahwa para penulis media ini tidak lain adalah sekumpulan para pembual yang membuat kami semua yang gagal paham, susah berpikir hingga malas mencerna berita, menjadi kesal, marah atau bahkan sampai ingin merakit bom dan meledakkannya di sungai lalu mengumpulkan ikan dan udang yang mengapung.
Para penulis dan susunan redaksi Mojok adalah orang-orang sok tahu, sok keren, dan sok alim yang membuat kesempatan kami untuk tampil gaya-gayaan di Mojok semakin menyempit, menipis hingga kemudian pupus. Karena orang-orang inilah, kekacauan pasca pilpres menjadi semakin tidak lucu dan ketinggalan zaman. Artikel-artikelnya membuat cekcok antar kami sesama pembenci menjadi kehilangan panggung karena sering dijadikan bahan olok-olok semata.
Sungguh. Mereka pengacau zaman. Iblis-iblis modern yang tujuan hidupnya adalah mengganggu keyakinan irasional kami, menggoyang kepercayaan buta yang telah turun-temurun dipelihara, dijaga dan dirawat. Terutama Mas Bana dan Mas Ken, yang lebih mirip nelayan yang mengail penuh ketenangan di tengah badai amuk massa. Mojok berlaku seolah-olah sebagai tempat para pencari pengetahuan, meski sesungguhnya mereka tidak lebih dari para pemulung sensasi.
Terlalu ketat menerapkan standar kurasi untuk setiap artikelnya hingga kami yang merasa hebat dalam menulis, harus menanggung malu karena dianggap angin lalu. Padahal, banyak tulisan di Mojok adalah penghinaan yang vulgar dan tidak etis. Banyak yang sok tahu dan sok keren, dan selalu menghina kami yang bersetia dengan kebebalan. Sombong yang senang mengomentari semua hal. Sok tahu!
Mojok, tidak lain dan tidak bukan, hanya laku menertawai kami yang senang menghakimi. Kami yang sok revolusioner karena mampu mencomot kutipan berbobot atau berakting radikal ala kadarnya merasa dikencingi oleh seni berpura-pura seperti yang ditontonkan para penulis Mojok. Mereka gemar berpropaganda sekaligus menceramahi Tere Liye, Felix Siauw hingga Fahri Hamzah. Kami dipaksa oleh media kafir liberal ini untuk mengkonsumsi tulisan-tulisannya. Padahal seluruh kami telah berikrar untuk tidak bersepakat dengan logika.
Memang kenapa kalau kami kami bego?
Terutama Eddward S. Kennedy. Dia adalah provokator berhati gampang trenyuh yang tidak layak jadi contoh bagi generasi muda Indonesia yang bersiap bela negara. Pemuda gemar menangis tapi berlagak garang melalui tulisan. Mas Ken lupa bahwa di atas langit masih ada langit. Tidak baik menertawakan penderitaan kami yang gagal nalar
Apalagi artikel belio yang terakhir soal Martabak Kecebong. Sampah!
Kami, batalion pembenci Mojok, tentu saja mencurigai Mas Ken—seperti juga para penulis Mojok lain—memang sengaja dibayar oleh kekuatan asing untuk menggerogoti ketidakmampuan orang-orang untuk bersikap kritis. Ini tipe media partisan yang mengesalkan karena terlalu banyak piknik dan bahagia. Coba pikir, dari mana Mojok mendapatkan biaya untuk beroperasi? Tentu saja dari uang suap. Tapi kok ya sok mau ngurusin bangsa.
Sementara Arlian Buana adalah sosok yang sok alim, sok bijaksana, sok baik, sok sibuk, sok semuanya. Pokoknya pimred Mojok itu mengesalkan. Alasannya? Gak perlu ada. Benci kok pake alasan. Memang sejak kapan kami harus pake logika?
Lalu mau mencuci dosa dengan memberikan buku gratis buat Felix Siauw?
Menyalahkan Mojok sebagai institusi memang tidak perlu alasan. Tapi dua nama di atas adalah yang paling berdosa, yang paling bersalah, yang paling bertanggung jawab, dan yang paling … ah, sudahlah.
Tapi jangan harap menemukan nama Puthut EA di daftar ini. Kepala Suku Mojok tidak menyebalkan. Belio tidak pernah salah. Kecuali pilihan tim sepakbolanya dan pilihan dia untuk mendirikan Mojok.