Bapak Menteri Perdagangan yang terhormat, bolehkah saya curhat? Boleh dong, masa rakyat curhat aja dilarang?
Pak Rachmat Gobel, yang dipuja wartawati-wartawati ekonomi sungguh saya galau mendengar wacana Bapak menghentikan impor jeroan. Sebagai penikmat tradisi kuliner Nusantara, saya jadi meragukan kemampuan lidah Bapak dalam menyicipi lezatnya citarasa masakan ibu saya khas Indonesia. Jangan sampai hal ini mendowngrade penilaian saya pada keharuman wajah nama Bapak yang sering diceritakan gadis inceran saya yang semangat menulis berita soal Bapak.
Tapi tenang, saya tidak akan sampai hati memberi rapor merah seperti yang dilakukan para pakar dan pemerhati kinerja khilafah pemerintah. Sebab saya gak mau dibenci sama wartawati cantik itu.
Pak Gobel, tolong pikirkan ulang deh rencana konyol itu. Kenapa saya bilang konyol? Karena alasan Bapak menghapus impor jeroan itu sangat lucu. Masa, lantaran perbedaan tradisi kuliner antar bangsa? Kenapa sih harus malu pada tradisi bangsa sendiri dan menganggap negara lain lebih bergengsi? Jangan-jangan Bapak terprovokasi para pengusaha daging giling kemasan dan daging kaleng yang pernah diiklankan pejabat daerah itu?
Setelah disuguhi wedang jahe bergelas-gelas oleh pedagang angkringan, terus-terang, saya merasa terusik dengan rencana itu. Mungkin Bapak perlu sering-sering sidak ke tempat hiburan pasar malam, nongkrong berjam-jam sambil makan nasi kucing Jogja, nyicipin bubur ayam Cirebon, Garut, atau Sukabumi.
Ribuan bahkan puluhan ribu pedagang nasi kucing dan bubur dari empat daerah itu mengandalkan jeroan untuk mengalirkan pundi-pundi receh ke laci gerobak mereka. Jeroan bahkan bisa melahirkan efek multiplier. Para pedagang, yang membuka lapak di pasar atau tanah negara, tentu membayar retribusi buat pemerintah.
Kalaupun tidak, pasti ada aparat pemerintah yang bertindak sebagai makelar yang meminta jatah keamanan dan sejenisnya ke para pedagang itu. Retribusi kebersihan minimal dua ribu, keamanan dua ribu,belum lagi tagihan parkir dua ribu per pengunjung. Para pengamen juga diuntungkan dengan tingginya tingkat penikmat jeroan di Indonesia.
Gak percaya? Makanya Bapak kudu mau saya ajak kongkow, semalaman aja.
Di warung-warung angkringan itu, bisa dihitung tiap lima menit ada pengamen yang menyumbangkan lagunya kemudian minta jatah kepada para pengunjung. Dari sisi kesehatan, jeroan juga menyumbang ketahanan gizi nasional.
Bagi rakyat jelata macam saya, membeli daging rendang atau ayam dan bebek agak membosankan. Sebab menunya cuma disayur, dibakar atau digoreng. Ditambah lagi, kantong kami bisa jebol kalau tiap kali makan harus pakai menu ‘manusia-manusia’ Australia itu.
Pak, sejak SDÂ kami diajari makan harus empat sehat lima sempurna. Nah, protein hewani yang cocok buat kantong kami yang belum setebal kantong Bapak itu ya jeroan. Harga sepotong daging rendang di Rumah Makan Nasi Padang Sederhana itu sama dengan dua bungkus nasi kucing isi teri atau tongkol, dua potong gorengan tempe tahu, dua tusuk jeroan usus plus ati-ampela dan segelas jahe susu.
Bayangkan betapa berjasanya jeroan membantu rakyat jelata buat mengikuti doktrin pemerintah soal gizi makanan empat sehat lima sempurna itu. Kalau Bapak memaksa kami makan daging impor tusuk dan kalengan seperti salat lima waktu secara istiqomah, Bapak harus bisa mengganti seluruh isi ajaran di sekolah dasar dan menengah.
Menurut sejumlah riset, meski jeroan bisa meningkatkan kadar kolesterol dan berbahaya bagi penderita obesitas dan asam urat, tetapi jeroan juga mengandung berbagai protein yang mencegah anemia serta baik untuk perkembangan otak. Jeroan, terutama hati, jantung, dan ginjal, konon banyak mengandung vitamin B yang sangat bermanfaat untuk mencegah kepikunan (dimentia) bahkan untuk gangguan mental parah.
Gizi jeroan juga baik buat ibu hamil dalam mencegah kekurangan zat besi. Jeroan juga baik buat kekebalan tubuh karena kaya akan vitamin A. Jeroan sangat berguna bagi kesehatan bangsa. Dan yang lebih penting, kuliner khas Nusantara tidak bisa lepas dari berbagai variasi olahan jeroan yang wajib dilestarikan.
Lantas, kenapa orang Australia dan Mesir memberikan jeroan buat makanan anjing? Karena mereka gak kreatif seperti orang Indonesia. Coba mereka suruh nyicipin empal gentong, nasi tangkar atau coto makassar, pasti mereka ketagihan.
Dibanding pengacara BG, yang bisa mengancam dengan mogok kerja ribuan polisi gegara tuan besarnya diperkarakan KPK, memang saya juga mampu belum bisa mengajak para pedagang angkringan, bubur ayam, empal gentong, coto makassar, Tangkar Bogor, Nasi Jamblang buat berdemonstrasi dan mogok dagang. Tapi ingat, Pak, di DKI saja ada ribuan pedagang kuliner berbasis jeroan, belum lagi jutaan fans kuliner Nusantara yang siap menentang kebijakan serampangan terkait jeroan.