MOJOK.CO – KPK adalah harapan pada mulanya. Tampilannya memesona dan bikin banyak orang jatuh cinta. Sayang, itu bukan untuk selamanya.
Saya kira, setiap para pecinta sejati pemberantasan korupsi sulit untuk tidak jatuh cinta pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Baiklah, KPK sedari awal memang didirikan tidak sempurna, tetapi ia mampu mewakili kerinduan akan kelembagaan pemberantasan korupsi ketika kita mengalami korupsi yang gila-gilaan pada zaman orde baru dan awal reformasi.
KPK mudah jadi dambaan. Jika ia seorang sosok manusia, ia memenuhi semua fantasi yang dibutuhkan oleh para aktivis gerakan antikorupsi. Berpenampilan seksi, apapun keseksian menurut pengertian anda. Berwajah cerdas dan cekatan, serta berbagai ciri menarik lainnya.
Ia melengkapi bayangan yang sama, termasuk hingga pengertian berbau maskulin, “superbody” (sama, apapun pengertian Anda soal superbody). Dari sisi akhlak, jangan salah, Topmarkotop! Tingkah lakunya mengikuti sosok manusia sempurna dalam dasa dharma pramuka.
Mulai dari “takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”, hingga “bertanggung jawab dan dapat dipercaya”, “maupun suci dalam pikiran perkataan dan perbuatan”. Meski bukan partai, ia pantas disebut sebagai idaman!
Pokoknya, nyaris sulit untuk tidak menyukainya. Hanya para “haters” yang membencinya. Biasanya itu adalah koruptor atau jaringannya.
Tapi hubungan dengan KPK juga bukan relasi sederhana. Biasanya indah di permukaan, tetapi makin dalam, kita akan memahami bahwa ada problem rumit dalam relasi tersebut. Begitupun relasi hati dengan KPK, juga mengalami naik turun seiring dengan kinerja dan tampilannya.
Setiap masa kepemimpinan KPK, punya persoalan kinerja dan tampilan sendiri-sendiri. Jilid pertama (2003-2007) banyak disoal oleh kapasitas yang cukup namun masih harus menyusun bangunan awal serta independensi.
Ada banyak soalan independensi KPK di hadapan penguasa. Kasus-kasus yang “bocor” dan penanganan perkara yang tak jitu mewarnai kerja-kerja KPK. Tapi cinta kala itu sedang bersemi di awal-awal. Maklum ini kali pertama punya lembaga pemberantas korupsi yang independen dan cukup mentereng.
Seperti halnya jatuh cinta di pandangan pertama, “buta dan membutakan”. Mungkin juga karena ada begitu banyak harapan, yang “gelap” dari KPK itu dimaafkan lagi-lagi karena ini awalan.
Kata Jalaluddin Rumi, “gelap tentu saja mampu menyembunyikan pepohonan dan bunga-bungaan namun mana mampu menyembunyikan cinta dari jiwa.”
Jilid kedua (2007-2011) sebenarnya cukup menyedihkan. KPK sebenarnya punya problem banyak yang berkaitan dengan integritas pimpinan. Namun relatif tampil memesona.
Mulai dari jaksa yang terlibat dalam kasus BLBI, hingga politisi bahkan besan Presiden kala itu dicokok. Sulit untuk tidak menyukainya. Apalagi mulai ada gelombang pertama cicak vs buaya.
Rasa memiliki menguat. Rasa senasib sepenanggungan dengan KPK terbangun. Rela berkorban untuk KPK. Joko Pinurbo menuliskannya sebagai, “Kau mata, aku air matamu.” Bahkan, “Di bawah alismu hujan berteduh. Di merah matamu senja berlabuh.”
Jilid ketiga (2011-2015) persoalan serangan upaya menjinakkan yang makin akut serta problem penataan organisasi sehingga mengalami transisi yang kemudian menggerus organisasi KPK.
Tapi KPK tampil makin memesona dengan berbagai kerja yang tidak sederhana. Bahkan partai penguasa hingga 2014 saat itu ditelanjangi dengan habis-habisan. Saya yakin itu pula yang menyumbang jatuhnya angka partai itu di pemilu 2014. Perlawanan makin nyata dan kerja KPK makin beringas.
Meskipun sempat ketar-ketir dengan masuknya komisioner titipan istana yang bahkan memulai program bedol polisi ke kantor KPK, rasa sayang itu belum pudar. Mungkin karena sudah mabuk kepayang.
Shakespeare membahasakan, “Meski segala sesuatu yang rendah dan hina adalah tidak berharga, tetapi cinta mengubah dan memberi martabat, yakni cinta yang tidak dengan mata tetapi dengan hati.”
Jilid keempat (2015-2019) masih tampil cukup baik dan menarik. Walau kelihatan sudah mulai gagap berhadapan dengan sektor korupsi di wilayah penegak hukum khususnya polisi dan jaksa. Namun tetap bisa membuat perasaan cinta terjaga dengan beberapa politisi, hakim konstitusi, pengacara, dan kepala daerah kaya akibat izin tambang yang dihajar.
Tapi memang, selayaknya perjalanan cinta di titik ini cinta makin dewasa. Kerja-kerja serius itulah yang penanda. Ia mewakili harapan bahwa, “Kerja adalah cinta yang mengejawantah,” seperti kata Kahlil Gibran.
Dari keempat jilid awal, KPK selalu diselamatkan oleh rasa percaya. Yang meski sederhana tapi subtil. Mirip pesan Sapardi Joko Darmono, “Mencintai sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.” Puisi indah yang sebenarnya menyiratkan kesedihan kata putus cinta.
KPK jilid lima (20019-sekarang) menyobek rasa percaya itu dan mengubahkan menjadi benci dan luka. Dimulai dari perubahan UU KPK dan masuknya para komisioner “abal-abal”. Iya, komisioner yang kualitasnya jauh dari harapan.
KPK tak lagi menarik. Pekerja baiknya ia buang. Ia ramai dalam kontroversi tapi tanpa prestasi. Ia bekerja berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi. Membuka kesempatan buat dapat gratifikasi dan menyediakan panggung bagi para napi koruptor.
Saya kira inilah kata berpisah dan cukup yang pernah disuarakan Chairil Anwar bahwa, “Cinta harus siap untuk membenci.”
Kini semua sudah berbeda. KPK tidak lagi terlihat seperti yang dibayangkan. KPK dua tahun ini gagal dalam membawa aspirasi pemberantasan korupsi. Jika jeli, sebenarnya KPK selalu punya persoalan di tiap jilid kepemimpinan. Selalu ada saja persoalan integritas komisioner.
Salah satu penyumbang mengapa KPK tetap bisa bertahan untuk dicintai adalah karena kinerja terukur yang dikawal oleh pegawai yang berintegritas. Tetapi kali ini berbeda.
Para komisioner bermasalah ini sekaligus mau menyingkirkan para pegawai berintegritas tersebut. Perkara TWK menjadi jalan yang dicari-cari dalam rangka mengubah KPK secara keseluruhan.
Bisa jadi, KPK kali ini sudah—entah sadar atau tidak—berselingkuh dengan para pemegang kuasa dan jabatan yang korup. KPK hanya akan dijadikan alat. Ia lebih tepat disebutkan sebagai boneka yang diformat seiring dengan itikad pemberantasan korupsi pemilik boneka.
Makanya, kasus belakangan ditangani nyaris tanpa greget. Bahkan di tengah isu napi koruptor sebagai penyuluh untuk KPK dan perkara TWK ini, kita ditunjukkan bahwa KPK jadi ramah terhadap koruptor dan kejam terhadap pegawai yang punya integritas melawan korupsi.
Kalau sudah separah ini, menurut Anda, apa yang bisa diharapkan dari KPK?
Memang, mungkin saatnya memosisikan KPK sebagai mantan, yang dijauhi dan dienyahkan, tapi dengan sejumput perbedaan. Yakni, tak pernah ada perasaan menyesal karena dulu pernah mencintai KPK.
Bahkan bangga dengan rasa cinta pada KPK yang pernah ada. KPK yang hidup karena semangat dan dibunuh dengan paksa oleh kuasa. Ia berubah karena dipaksa.
Itu sebabnya, jika pun harus dienyahkan perasaan itu bukan karena perasaan benci, tetapi justru karena rasa cinta itu sendiri.
Selamat tinggal KPK. Semoga kau (tak) bahagia bersamanya.
BACA JUGA Ketua KPK Sejati Itu Bernama Firli Bahuri! Sukses dan Rajin Silaturahmi atau tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.