MOJOK.CO – Didi Kempot cuma satu, tapi ia berlipat ganda, masuk ke setiap hati sad boi dan sad girl Indonesia. Ini kebangkitan kedua The Godfather of the Broken-Hearted.
Aku tak sing ngalah
Trimo mundur, timbang loro ati
Tak oyako, wong kowe wis lali, ora bakal bali
Paribasan awak, urip kari balung, lilo tak lakoni
Jebule janjimu, jebule sumpahmu, ra biso digugu
Wong salah, ora gelem ngaku salah
Sui-sui, sopo wonge sing betah
Saya kira, penggalan lirik lagu “Suket Teki” di atas sudah seperti anthem. Lagu wajib yang bakal bikin satu lapangan sing along, bikin semua yang ikut nyanyi hanyut dalam kehampaan. Sebuah kehampaan yang justru dirayakan. Dirayakan bersama-sama, karena pada titik tertentu, tidak ada yang ingin hidup ngenes sendirian.
Dan di atas panggung itu, ia mengenakan kostum panggung yang berkilau, rambut panjang dikuncir kuda, suara bariton yang bisa begitu dalam merasuk ke dalam sanubari. Laku panggungnya terlihat sederhana. Gesture tangan mengiringi lagu sendu, langkah kecil-kecil ia menyapa sad boi dan sad girl di sepanjang lapangan. Ia, Didi Kempot, mengajak kita untuk merayakan kesedihan bersama-sama.
Laku panggung Didi Kempot terlihat biasa saja. Bahkan, di beberapa kesempatan, ia hanya banyak berdiri di tengah panggung. Namun, ketika mulai masuk ke dalam alunan kendang dan seruling, tangan kanan memegang mik dekat dengan bibir, tangan kiri terangkat ke atas, mata sedikit terpejam, suara bariton mengajak kamu menjebol dinding air mata.
Fenomena sambat dan the rise of Didi Kempot
Kenapa lagu-lagu dengan lirik yang begitu sederhana bisa merasuk ke dalam hati secara paripurna? Betul, Lord Didi Kempot, The Godfather of the Broken-Hearted, memahami betul kalau nggak ada orang yang mau bersedih sendirian. Dan memang, jangan biarkan sesamamu jatuh ke dalam air mata sendirian. Temani dia, peluk dia.
Lirik-liriknya begitu relate, dirasakan banyak orang. Bahkan, mereka dengan mental baja pun punya satu momen bersedih sendirian. Terkadang, kesedihan itu tidak bisa dicurahkan, tertahan. Antara karena orang seperti ini memang sulit membuka diri kepada sembarang orang dan kesulitan merangkai ceritanya menjadi sebuah kisah yang bisa didengarkan.
Ketika cerita sedih mereka diterjemahkan oleh lirik-lirik Didi Kempot, pertahanan air mata pun jebol. Itulah momen paling sakral bagi manusia: ketika ada orang yang bisa mendengarkan dan memahami kesusahan yang tengah menghimpit. Ada orang yang mau dan bisa mendengarkan, atau bahkan punya kisah yang sama. Betapa bahagianya ketika sambat didengarkan dan dipahami oleh teman terdekat.
Betul, pada awalnya adalah sambat. Fenomena sambat lebih dahulu meledak di lini masa Twitter. Bermula dari Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, lalu lahir pula Nanti Kita Sambat Tentang Hari Ini. Bahkan sampai ada hari sambat nasional, ditandai dengan tagar #SelasaSambat. Orang ramai-ramai mengumbar kesedihannya di lini masa. Ketika di-reply oleh akun lain, bahagianya begitu terasa. “Ehh kok ada yang bisa memahami aku.”
Ketika fenomena sambat sudah seperti budaya yang dirayakan secara rutin, Lord Didi Kempot seperti dilahirkan untuk kali kedua. Perlu kamu ketahui, lagu yang ditangisi bersama-sama itu sudah pernah meledak dekade yang lalu. Saking meresap ke dalam hati banyak orang, penyanyi kelahiran Surakarta 52 tahun yang lalu ini dibuatkan acara radio sendiri. Acara itu dinamai “Dikempongi”, kependekan dari Didi Kempot Wayah Wengi.
Mendapatkan momen untuk kali kedua, lagu-lagu beliau terpanggil dari masa lalu. Kebangkitan kedua ini, dilambari oleh fenomena sambat, membuat pengaruhnya sangat terasa. Meski dibawakan dengan Bahasa Jawa, lagu-lagu Lord Didi bisa diterima banyak orang. Pada dasarnya, kesedihan memang hanya punya satu bahasa, yaitu air mata.
Menangis itu sehat, mengubah sesak menjadi lega, membuat nestapa menjadi merdeka. Meski masalahmu tak selesai hanya dengan menangis bersama “Suket Teki”, paling tidak, kamu lega karena didengarkan banyak orang. Linang air mata itu, berdiri di depan panggung kesedihan, berjoget mengikuti alunan dang dan dut, campursarinan yang memabukkan, membuat kamu tak lagi merasa sendiri. Ini sebuah kemewahan.
Didi Kempot cuma satu, tapi ia berlipat ganda, masuk ke setiap hati sad boi dan sad girl Indonesia. Selama menangis belum diharamkan, Didi Kempot akan menjadi jujugan ketika pertahanan air matamu seakan hampir jebol.
Lemeske, Lur!