MOJOK.CO – Mari seret narasi ketakutan Farhat Abbas, Amien Rais, dan Arif Poyuono dan turunkan jadi bahan guyonan satu level dengan narasi bubur diaduk/tidak.
Kalian masih ingat dengan cara orang tua zaman dulu untuk menakut-nakuti anaknya? Mulai dari peringatan seperti jangan main sampai lepas maghrib nanti digondol wewe, sampai kalau tidak mau bobok digigit nyamuk. Semuanya berbentuk ancaman. Masa kecil kita sebegitu kelam, penuh dengan ancaman.
Mirisnya, semuanya ancaman itu diucapkan dengan senyum yang merekah dan mata yang bersinar. Seolah-olah mereka begitu puas ketika si anak akan bingung, resah, takut. Tujuannya memang untuk membuat si anak patuh, tidak membantah “perintah” orang tua. Konon untuk kebaikan si anak sendiri.
Lingkaran sosial terkecil adalah keluarga inti. Kamu tahu, yang menjadi kebiasaan di tengah keluarga, akan dengan sendirinya muncul di tengah pergaulan sosial. Saya sih nggak paham dengan teori soal keluarga dan sosial itu. Saya bisa bilang begitu karena merasakannya secara langsung.
Dan, ini dia, kebiasaan menebar ancaman dengan dalih “demi kebaikan” sangat terlihat di dunia politik, terutama dari narasi politikus seperti Farhat Abbas, Amien Rais, dan Arif Poyuono. Saya rasa ini penting untuk kita pikirkan. Kalau orang Jawa bilang bahwa masalah itu harus digelar digulung atau ‘dipikirkan berkali-kali sampai matang’. Sebelum menjadi sebuah ujaran dan tersebar secara luas, ada baiknya para tokoh itu memikirkan kembali semuanya. Meski memang, saya tahu, berpikir bisa jadi perkara yang berat.
Masalahnya begini. Kita tahu kalau coblosan belum akan meredakan tensi persaingan cebong dan kampret. Bahkan bisa dikata suasana semakin panas ketika ada tuduhan kecurangan. Ancaman, ajakan untuk bergerak, disampaikan secara terbuka tanpa filter. Apalagi kalau Ki Amien Rais sudah dapat inspirasi.
O jangan salah, bukan hanya Ki Amien Rais dan Poyuono dari sisi pendukung Prabowo dan Sandiaga Uno saja. Dulu, salah satu pendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin juga suka menebar ancaman. Adalah Farhat Abbas, yang untunglah sudah dipecat, yang pernah berkata bahwa mereka yang memilih Jokowi akan masuk surga, sementara yang tidak bakal masuk neraka.
“Saya berpantun, pilih Jokowi masuk surgawi, pilih mereka masuk neraka. Daripada menghina fitnah, bully, atau nyinyir orang, mending memuliakan orang lain. Silakan tafsirkan positif,” kata Farhat. Beliau masih menambahi dengan bikin postingan di Instagram. Farhat Abbas bilang begini: “Pak Jokowi adalah presiden yang akan membawa Indonesia masuk surga!”
Beliau ditegur, tidak dianggap sebagai juru bicara Jokowi dan Ma’ruf Amin, untuk kemudian dipecat. Langkah yang tegas dan sudah betul dari kubu TKN.
Begitulah bentuk “ancaman” dari Bapak Farhat Abbas. Seperti seorang bapak zaman lawas sedang “mengancam” anaknya untuk memilih jurusan kuliah sesuai keinginan orang tua. “Masuk Sastra itu nggak punya masa depan. Pokoknya masuk Pendidika Bahasa Inggris, Hukum, atau Kedokteran.” Kamu merasakan hal yang sama?
Meyakinkan orang memang tidak mudah. Kalau sudah mentok, bawa saja agama, dan makhluk halus. “Ayo pulang, udah maghrib. Nanti kamu diculik genderuwo sama wewe.” Sementara itu di sudut cabang pohon beringin, genderuwo memandang dengan sinis sambil bilang, “Beach, please. Aing juga yang kena.” Di sebelahnya wewe mengangguk setuju.
Agama, jika dosisnya terlalu tinggi memang bikin puyeng, tapi itu memang sangat memikat. Sementara itu, orang Indonesia sangat suka dengan takhayul. Agama dan makhluk halus adalah kombinasi sakti untuk digunakan ketika kampanye.
Coba tanya Ki Amien Rais, lalu dilanjutkan Arif Poyuono. O jangan salah, sekarang ini saya mengidolakan kedua tokoh yang menggemaskan ini. bagaimana enggak ngefans, keduanya jago bikin istilah yang nggak cuma kreatif, tapi juga efektif. Farhat Abbas baru level noob untuk bikin istilah yang sungguh menggugah seperti Amien Rais dan Arif Poyuono.
Misalnya ketika Ki Amien Rais menciptakan dikotomi Partai Allah (hizbullah) dan Partai Setan (hizbusyaiton). Lalu yang paling epic adalah ketika Ki Amien Rais mengaku bisa tahu doa malaikat yang mendoakan Jokowi kalah. Hitam dan putih. Baik dan buruk. Devide et impera. People power? Wah, itu emas.
Argumen menggunakan agama terdengar begitu “suci” dan levelnya tinggi. Ini bahaya. Mari bawa turun argumen soal agama ini ke level perdebatan soal bubur diaduk/tidak. Lalu tertawakan bersama-sama.
Betul, narasi yang diciptakan Ki Amien Rais itu nggak berbeda dengan ancaman dari kaum bubur diaduk atau perselisihan Indomie dan Mie Sedap. Bubur itu ya diaduk, sementara bani bubur tidak diaduk berargumen kalau bubur diaduk itu kayak muntahan kucing. Jangan diterjemahkan terlalu ndakik-ndakik, turunkan ke level yang bisa kita tertawakan. Seperti lelucon di sore hari selepas bekerja, menatap senja sambil menyeruput teh hangat.
Arif Poyuono? Saya kok yakin betul kalau Comrade Arif Poyuono ini nggak punya maksud jelek. Comrade Arif Poyuono mengajak pendukung Prabowo untuk boikot pajak karena pemerintahan yang berasal dari pemilu curang itu tidak sah. Beliau menyebut yang nggak mau boikot pajak sebagai setan kurap.
Ini bukan maksud jelek menurut saya. Comrade Arif Poyuono hanya sedang berusaha mengejar ketertinggalan dari panutannya: Ki Amien Rais. Comrade Arif ini bisa jadi seorang prototipe Ki Amien Rais yang tentunya, di usia 70an, butuh penerus yang satu kelas. Tidak banyak politisi yang bisa bikin narasi ketakutan, tapi jenaka, sekaligus nyelekit.
Melucu itu susah, apalagi sampai bisa bikin narasi yang jenaka sekaligus mengkritik. Ya satir, atau sarkas, bahkan sinis. Butuh lingkar otak yang luas untuk melakukannya. Pada titik tertentu, Ki Amien Rais dan Comrade Arif Poyuono ini adalah penulis esai Mojok yang punya prospek. Kalau Ki Amien Rais dan Comrade Arif Poyuono memikirkan karier lain selain politik, silakan tulis esai, kirim ke alamat surel kami. Pasti selalu viral.
Maksud saya itu begini. Masyarakat dijejali oleh konten-konten yang mengancam, tidak sehat, dari politikus. Pada titik tertentu, konten itu sangat merusak, membenturkan warga. Jika tidak kita redam sendiri, risikonya di akar rumput sangat tinggi. Apalagi, kalau sudah jatuh cinta, bukankah mata dan hati menjadi buta?
Taklid buta itu berbahaya. Oleh sebab itu, saya sih mau mengajak pembaca Mojok untuk ramai-ramai bikin narasi. Narasi untuk mengingatkan sesama bahwa konten mengancam dari politikus itu sebaiknya diturunkan levelnya jadi semacam lelucon dan kita tertawakan bersama. Apalagi yang sudah pakai hoaks agama.
Mengharapkan politikus tidak bikin konten ketakutan itu seperti berharap kentut tak bersuara tidak akan bau.