MOJOK.CO – Soal “niat” berkaitan dengan “akan”, terjadi di masa depan, bukan lampau. Lalu, apakah Prabowo bakal intervensi hukum dengan memulangkan Rizieq Shihab?
Ketika Ijtima Ulama Jilid II dilaksanakan, banyak netizen yang sudah meraba-raba hasilnya. Dan memang “hasil itu” yang terjadi, Ijtima Ulama II menegaskan sikap mereka untuk mendukung Prabowo dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019. Ijtima Ulama II menggunakan narasi “tulus dan iklas” untuk menyerahkan dukungan mereka kepada dua calon presiden dan wakilnya tersebut.
Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) dan Prabowo mengikat janji dengan meresmikan sebuah pakta integritas. Pakta integritas bisa diartikan sebagai sebuah komitmen yang mengikat dua pihak untuk dilakukan bersama-sama. Antara GNPF dan Prabowo sendiri menyepakati sebuah pakta integritas dengan 17 poin di dalamnya.
Ketika membaca poin per poin pakta integritas tersebut, kita bisa memahami maksud baik dari kesepakatan yang diteken bersama ini.
Beberapa poin yang patut untuk didukung adalah (poin 1) sanggup melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. (Poin 10) Siap menjaga agama-agama yang diakui Pemerintah Indonesia dari tindakan penodaan, penghinaan, penistaan, serta tindakan-tindakan lain yang bisa memancing munculnya ketersinggungan atau terjadinya konflik melalui tindakan penegakan hukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari dua poin saja kita paham bahwa pakta integritas ini sungguh menarik. Apalagi ketika kamu membacanya sampai poin ke-16. Bunyi poin yang membuat kita mengernyitkan dahi adalah:
“Siap menggunakan hak konstitusional dan atributif yang melekat pada jabatan presiden untuk melakukan proses rehabilitasi, menjamin kepulangan serta memulihkan hak-hak Habib Rizieq Shihab sebagai warga negara Indonesia, serta memberikan keadilan kepada para ulama, aktivis 411, 212, dan 313 yang pernah/sedang mengalami kriminalisasi melalui tuduhan tindakan makar yang pernah disangkakan. Penegakan keadilan juga perlu dilakukan terhadap tokoh-tokoh lain yang mengalami penzaliman.”
Waa ini. Membaca poin satu hingga 15, suasana yang didapat adalah suasana kebangsaan dan “agamis”. Sejuk dan menenteramkan hati. Tapi begitu sampai ke poin 16, batin langsung (sedikit) terguncang dan membatin, “Waa ini. Potensi viral, nih.” Jelas saja, Habib Rizieq Shihab masih salah satu sosok yang dinantikan media. Mengapa? Ya karena pemberitaan dirinya adalah otensi headline yang panas.
Begitu pakta integritas poin 16 itu mulai tersebar ke publik, berbagai tanggapan langsung muncul. Seperti cebong, eh katak, ketika dapat hujan. Sangat menarik membaca komentar-komentar dari pihak Jokowi dan Ma’ruf Amin. Nadanya juga hampir seragam, yaitu janji Prabowo (jika menang Pilpres 2019) akan memulangkan Habib Riqiez Shihab adalah bentuk intervensi hukum.
Ketua DPP NasDem, Irma Suryani Chaniago, seperti dilansir oleh kompas.com berkata, “Hukum itu kan panglima, semua orang sama di mata hukum. Jadi nggak boleh dong presiden mengintervensi. Kasus hukum, ya, kasus hukum.” Wah, tegas betul, bu. Ini kalau dideklamasikan sama Surya Paloh pasti membuat dada bergetar.
Senada dengan Irma Suryani Chaniago, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menegaskan presiden tidak bisa mengintervensi proses hukum yang sedang ditangani oleh aparat. Waduh, pakta integritas poin 16 berpotensi melanggar hukum dong? Eh, mengintervensi, maksud saya.
Saat ini, Habib Rizieq Shihab masih (harus) menghadapi dua masalah hukum. Pertama, dugaan penyebaran hinaan dan kebencian yang menyinggung suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) lantaran menyebut mantan Kapolda Metro Jaya, Irjen Mochamad Iriawan, berotak seperti anggota hansip.
Masalah hukum kedua yang membelit Habib Rizieq Shihab adalah dugaan penodaan agama Kristen, ujaran kebencian, dan penyebaran berita bohong saat ceramah menyinggung mata uang rupiah yang baru berlogo palu arti lambang Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat ini, status Habib Rizieq Shihab adalah tersangka.
Nah, terkait masalah hukum Habib Rizieq Shihab, menarik mencermati dua hal yang ditulis di dalam pakta integritas poin 16, yaitu hak konstitusional dan atributif yang melekat kepada presiden.
Hak atributif berkaitan dengan hak membuat Undang-Undang (UU), Perpu, PP. kewenangan ini sifatnya permanen dan masa berakhirnya kabur (obscure). Sementara itu, hak konstitusional berkaitan dengan grasi atau ampunan yang diberikan oleh kepala negara kepada orang yang “telah” dijatuhi hukuman.
Kata “telah” di atas saya beri tanda kutip lantaran sampai saat ini, status hukum Habib Rizieq Shihab masih tersangka. Status tersebut belum dinaikkan menjadi terdakwa dan terpidana. Ya mau bagaimana lagi, Rizieq Shihab masih betah “umrah” di Arab Saudi. Doa yang beliau lantunkan nampaknya sangat panjang sekali luar biasa jadi belum sempat pulang ke Nusantara, untuk menghadiri persidangan.
Jadi, supaya grasi bisa diberikan oleh (Presiden) Prabowo, Habib Rizieq Shihab harus jadi tedakwa, lalu terpidana terlebih dahulu. Mengapa? Karena sampai saat ini, belum ada hukuman yang dijatuhkan kepada imam besar FPI tersebut. Beliau pun harus mengajukan grasi, bukan presiden dengan sembarang, “Nganggur nih, bikin grasi, ah.”
Memang, kita bicara “soal nanti”. Semuanya masih sangat mudah ditafsirkan lantaran belum terjadi.
Oleh sebab itu, rasa dari poin 16 pakta integritas GNPF dan Prabowo menjadi polemik. Rasa inilah yang menjadi sumber masalah, menurut saya yang tidak begitu melek hukum ini. Selama ini, kedekatan antara GNPF, Prabowo, Sandiaga Uno, dan FPI sangat terasa, sangat dekat. Ketika ada janji yang disepakati, “rasa ada yang tidak pada tempatnya” itu bakal muncul. Sangat manusiawi. Curiga dan gelisah kan sudah menjadi kebiasaan menjelang Pilpres 2019 ini.
Apakah Prabowo bisa berbuat hal yang sama apabila ada orang lain dari “pihak seberang” yang bernasib seperti sang habib? Apakah Prabowo akan mengintervensi hukum yang berjalan apabila ia resmi mengalahkan Jokowi di Pilpres 2019 nanti? Menurut saya, saat ini, semuanya masih terlalu dini untuk disimpulkan.
Sudah ideal, lagi-lagi menurut saya, ketika menggunakan kata “apakah” dan tanda tanya di akhir kalimat. Politik, di mana-mana, sangat lentur. Ketika situasi berubah, bisa jadi ungkapan A menjadi D pada akhirnya. Yang mau saya katakana adalah, bisa jadi sekarang Prabowo dianggap akan mengintervensi hukum, namun besok tidak. Paham dong dengan maksud tersebut.
Nah, kalau situ sendiri, apakah Prabowo mengintervensi hukum dengan menyetujui pakta integritas memulangkan Habib Riqiez Shihab?