MOJOK.CO – Rekonsiliasi Jokowi dan Prabowo bakal dilakukan di Juli 2019. Keduanya sudah merencanakan pertemuan di sebuah kedai kopi susu enak di Jogja.
Sudah sejak 18 April, atau satu hari setelah hari coblosan, Jokowi ingin bertemu dengan Prabowo. Sayangnya, kenginan untuk melakukan rekonsiliasi itu belum terlaksana juga hingga saat ini. Namun, kabar baik berhembus dari mulus Andre Rosiade. Anggota Badan Komunikasi DPP Gerindra itu mengungkapkan pertemuan akan terjadi di Juli ini. Alhamdulillah.
Jokowi sendiri mengungkapkan bahwa dirinya ingin menjalin komunikasi secara langsung selepas Pilpres 2019 yang melelahkan itu. Supaya pertemuan itu bisa terwujud, pemenang Pilpres 2019 itu mengutus Luhut Binsar Pandjaitan, lalu Jusuf Kalla. Sayang, Pak Prabowo belum bisa memutuskan kapan pertemuan akan terjadi.
“Tanyakan Pak Prabowo, kapan ketemu Pak Jokowi?” tanya Jokowi.
“Nanti kita lihat ya, semuanya ada waktunya,” jawab Prabowo kala itu.
Mengapa akhirnya keduanya mau bertemu di Juli ini? Mojok Institute berusaha mencari tahu latar belakang yang pastinya tidak diketahui banyak orang. Seperti itulah Mojok Institute. Kadang betul, lebih banyak salah. Apalagi tulisan imajinatif begini. Dasar kami uwuwu~
Membangun suasana, Jokowi dan Prabowo mencari tema obrolan
Kami memandang Pak Jokowi dan Pak Prabowo adalah dua negarawan yang saling menyayangi. Kebetulan saja keduanya harus berdiri di sudut yang berbeda, menjadi lawan berhadap-hadapan, sampai dua kali, di Pilpres 2014 dan 2019.
Memang, Tuhan suka bercanda. Bisa saja, di dunia paralel, keduanya berada dalam satu barisan, melawan kandidat kuat presiden-wakil presiden, dalam diri capres Ki Amien Rais dan cawapres Fadli Zon. Pasangan Jokowi-Prabowo disebut Cebong, pasangan Ki Amien Rais-Fadli Zon dijuluki walang keket.
Nah, sebagai dua negarawan yang saling sayang, tapi harus menjaga jarak karena berkompetisi, tentunya butuh proses untuk rekonsiliasi. Layaknya dua pasangan yang mau baikan setelah berantem, butuh tema obrolan ringan sebelum bersama-sama mencari solusi kebahagiaan ke depan. Cieeee….dasar kami~
Kami sudah lama curiga, kalau keduanya akan rekonsiliasi, pemicunya bukan hobi naik motor Pak Jokowi atau memelihara kuda ala Pak Prabowo. Keduanya akan “baikan” pasti gara-gara kopi susu kekinian.
Menjamurnya kedai kopi yang punya spesialisasi kopi susu menjadi ladang bisnis yang potensial. Warung tempat kopi susu itu dijual menjadi super ramai, menjadi jujugan bagi anak muda. Menjadi melting spot, berkumpulnya orang untuk membicarakan hal-hal remeh, sampai rencana besar berbagai macam orang dengan beragam latar belakang. Bhineka tunggal ika, berbeda-beda tetapi satu, nongkrong di kedai kopi susu.
Nuansa persatuan di kedai kopi susu ini sangat cocok sebagai latar belakang membangun aura rekonsiliasi. Pembicaraan bisa lepas karena Pak Jokowi akan melepaskan aura kepresidenan karena tidak terjadi di Istana Bogor, sementara Pak Prabowo melepaskan “jaket” kemiliteran yang sangat terasa. Keduanya menjadi manusia biasa, yang saling sayang, dan ingin kembali bersatu di tempat netral.
Nongkrong di kedai kopi susu kekinian, ngobrol soal kopi sebagai topik pemanasan sebelum membahas negara. Nuansa yang terbangun sangat ideal, dengan tema obrolan yang ringan.
Kami juga yakin keduanya sudah ngobrol lewat jalur pribadi, wasap atau Line misalnya, menjari kedai kopi susu yang enak.
“Ngops, Prabs?”
“Gaasss, Jok. Di mana?”
“Kopi Kulo? Atau ke kedai kopi susu mana saja boleh. Saya manut Pak Prabs (emoticon senyum melet).”
“Siap, Pak Presiden! Ke Couvee saja? Daerah Seturan.”
“Jogja? Boleh. Eh, jangan panggil “Pak Presiden”. Malu e saya (emoticon ketawa sampai nangis kepalanya miring-miring).”
“Hahaha. Nga usah malu begitu, Jok. See you there ya. Besok malam jam 19.00.”
“Nggih, Prabs. Nanti biar Paspampres mensterilkan area. Biar kita ngopinya santai. Tapi nanti kalau ada yang mau foto-foto nga papa to?”
“Nga papa, Jok. Nanti saya nggak pakai safari deh. Pakai kemeja biasa saja biar lebih santai. Kamu jangan pakai baju riding ya.”
“Nga.”
*pembicaraan privat itu terjadi lewat wasap. Keduanya memanggil tanpa embel-embel “Pak” sebagai bentuk keakraban. Toh keduanya pernah bahu-membahu di Pilkada DKI.
Besok malamya, keduanya bertemu di Couvee, daerah Seturan, Jogja. Setelah salam dan cipika-cipiki khas bapak-bapak politikus, keduanya memesan kopi susu. Pak Prabowo memesan Kopi Susu Melacca, sementara Pak Jokowi kopi susu Necta. Keduanya signature dari Couvee.
“Saya nga mengira Pak Jokowi suka kopi susu,” Ketum Gerindra memulai obrolan.
“Iya, Pak. Saya kadang takut sakit perut. Jadi biasanya teh panas tawar saja,” jawab Pak Jokowi sambil terkekeh khas dirinya: “Hhhe…hhhee…hhhee.”
“Saya sendiri suka, Pak. Sebagai pekebun, saya tahu betul kerja mereka yang ada di kebun. Baik pekebun dan petani. Kopi misalnya. Saya sering ikut sortir biji kopi, Pak. Mana yang kopi lanang atau peaberry, mana yang biasa. Menyingkirkan yang gempil, misalnya.”
“Ohh anaknya Gading dan Gisel itu, ya? Saut Jokowi sambil tertawa.
“Itu Gempi, Pak. Hadeh.”
“Hahaha, maaf-maaf. Saya juga cuma kulakan di grup wasap Bapak-Bapak RT.”
“Tapi kopi, kopi susu, dan kedai kopi itu menarik, Pak. Bisa menunjukkan identitas seseorang.”
“Gimana tu Pak Prabowo?”
“Anak-Anak edgy itu kelihatan kalau lagi minum kopi susu. Misalnya pakai kaosnya yang Deux Ex Machina atau yang beli di H&M, atau bisa juga beli di thrift shop. Naiknya Vespa yang matic, terus kuncinya ditaruh di meja biar dilihat rang-orang. Biasanya mereka juga bawa buku, tap inga dibaca. Cuma jadi properti foto-foto kopi susu buat konten IG. Pakai sepatu Vans dan biasanya nge-vape asapnya ganggu orang tapi ya masa bodo. Nah, yang terakhir biasanya kalau ngomong dikasih akhiran “Njir”. Misalnya, “Eh, kemarin gue habis baca bukunya Fiersa Besari yang Garis Waktu. Keren banget, njir!” atau “Lu dah nonton Azrax belum. Film keren banget itu. Ngasih cinematic experience banget, njir” ya begitulah, Pak.”
“Wah, Bapak ini bisa tahu banget. Edgy juga?”
“Saya follow mojokdotco di Instagram sama Twitter, Pak. Itu lho, akun yang sukanya sotar-satirin kita. Tapi lebih banyak ngecein saya, sih Pak. Bapak sih temen-temennya nga suka bikin kelucuan, makanya jarang ditulis jadi artikel satir. Adminnya itu, Pak, bikin jengkel saja. Pasti masih bocah itu. Hahahaha.”
Prabowo menambahkan “Hahaha” biar kelihatannya bercanda, padahal isi hati siapa yang tahu.
“Tapi saya pakai akun samaran. Pakai akun bola ala fans klub di Inggris yang logonya meriam itu. Saya lupa namanya. Yang sering ngadmin si Fadli, sih.”
“Fadli Zon, Pak?”
“Bukan, Fadli Krupuk. Anak buah saya, kalau makan harus ada krupuk, makanya dipanggil gitu. Masak Fadli Zon yang ngadmin. Dia itu orangnya sibuk banget. Jarang main Twitter.”
“Pak Prabowo suka kopi hitam atau kopi susu?” Tanya Jokowi.
“Kalau saya sebetulnya suka kopi hitam. Black, no sugar. Bold dan terdengar tangguh banget. Kalau saya pesen sambil bilang “Black, no sugar” gitu rasanya jiwa korsa saya membuncah. Tapi saya bukan kopi snob lho, Pak. Minum kopi kok nga boleh pakai gula atau susu. Minumnya harus bunyi “sruuuuuuuupppttt”. Harus ini, harus itu. Ribet. Mau menikmati kopi kok banyak aturan. Apalagi itu tuh, yang sukanya meremehkan kopi saset. Padahal kan biji buat kopi saset itu ditanam petani kita juga. Kita harus peduli dengan nasib petani. Jangan sampai kekayaan negara kita mengalir keluar negeri, sementara anak-anak petani kopi tak bisa makan. Itu bisa jadi lho gara-gara kopi snob.”
“Santai, Pak. Santai, kita sudah nga di debat capres kok. Setel kendho wae, brooo. Kopi susu diminum dulu,” Jokowi berusaha menenangkan.
“Maaf, Pak. Saya kadang mau lepas kontrol kalau petani kita menderita. Oya, kita mau sambil pesen french fries, nga? Harganya 25 ribu. Nanti kita patungan, ya.”
“Boleh, Pak. Nga usah pakai mayo ya. Saya nga suka yang asam,” pinta Jokowi.
“Oh, siap. Mas…mas…pesen french friesh. Satu porsi, nga usah pakai mayo. Temen saya ini katanya nga suka.” Kata Pak Prabowo kepada waiter Couvee.
Dan, obrolan mereka soal kopi susu pun berlanjut. Saking asyiknya, keduanya malah lupa ngobrolin soal rekonsiliasi. Bagi mereka, bisa ketemu, duduk bersebelahan, ditemani kopi susu dan obrolan ringan, sudah menjadi rekonsiliasi.
Terkadang, cinta terbaik itu tak perlu diucapkan, tetapi cukup dengan mendengar dan berbagi gelas kopi susu.