MOJOK.CO – Hati ini seperti teriris pedih ketika tahu Mas Herman Polres Purworejo tidak pernah menservis Honda Pitung selama tiga tahun. Katanya sayang, kok begitu.
Konon katanya, seberapa baik memperlakukan barang kesayangan adalah cerminan seberapa baik diri kita. Apalagi untuk barang-barang klangenan, berusia tua, dan butuh perawatan yang lebih intens ketimbang barang lain yang usianya lebih muda.
Risikonya tentu saja lebih mudah rusak, apabila tidak mendapatkan perhatian yang sebagaiman mestinya. Misalnya kendaraan bermotor, mau mobil, mau motor, yang berusia tua, memerlukan perawatan yang lebih rutin, lebih “ribet” ketimbang keluaran tahun muda. Maka sangat bisa dimaklumi, merawat kendaraan tua bisa bikin pengeluaran membengkak, jauh melebihi ketika kita merawat kendaraan yang lebih muda.
Oleh sebab itu, ketika menyuntuki video Mas Herman Polres Purworejo, hati saya menjadi sangat ngilu. Adegan beliau menjatuhkan motor itu terasa menyesakkan dada ini. Gedubrak jatuh motor itu bergaung di dalam diri saya. Sampai-sampai, saya bisa merasakan kesedihan yang pastinya juga dirasakan oleh Honda Pitung yang tidak dirumat secara baik itu.
Saya sih tahu kalau video Mas Herman dan Polres Purworejo itu cuma lucu-lucuan saja. Mungin tujuannya sebagai video promosi Polres Purworejo. Namun, di mata saya, sebagai mantan die hard Honda Pitung, video itu sungguh bikin hati saya nggrantes. Silakan tonton video di bawah ini dulu:
Yess @Google, nde mai motor is is ded..?
Seberapa berat tugas yang diemban, laksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Matur suwun Mas Herman Polres Purworejo, kami tunggu karya selanjutnya.@DivHumas_Polri@humasjateng@kominfo_jtg pic.twitter.com/u6lZpkeY5p
— Polda Jateng (@poldajateng_) April 27, 2019
Video dimulai dengan sebuah scene di mana Mas Herman ditelpon oleh Komandan. Ingin segera meluncur, Mas Herman ngeslah motornya. Motor Honda Pitung berwarna dasar merah dengan aksen putih yang klasik itu. Namun, apa daya, motor itu mogok, nggak mau nyala.
Selanjutnya, polisi muda itu mencoba meminta bantuan Google untuk mencari keberadaan bengkel motor terdekat. Nah, di sinilah kelucuan dari cerita mulai berusaha dibangun.
“Ahhh…Denok…Denok…pake mogok segala,” kata Mas Herman sambil menepuk motornya perlahan. Mas Herman memberi nama Denok untuk motor. Nama yang identik dengan perempuan itu dipilih tentunya diposisikan sebagai seorang perempuan yang dekat di hati. Kesayangan, istilahnya.
“Halo…Google…”
“Hi Herman, Can I help you?”
“Yesss Google, nde mai motor….is dead.”
“Motormu kurang perawatan tur kasih sayang.”
Diibaratkan Google bisa berbincang dengan sang polisi muda itu, bukan cuma memberikan informasi soal posisi bengkel. Video itu coba dilucukan dengan logat medok Mas Herman dan Google yang bisa berbincang menggunakan Bahasa Jawa.
Nah, mulai scene inilah penistaan kepada Honda Pitung dilakukan oleh Mas Herman. Google tahu betul kalau motor itu tidak pernah lagi di-servis selama tiga tahun dan dua bulan tidak dicuci. Mas Herman menjawab dengan: “Ahh…cerewet.” Ini tentu bukan jawaban yang baik dari sosok seorang pak polisi yang seharusnya menjadi contoh.
Itu baru soal cara menjawab. Mas Herman ini tentunya bukan orang yang peduli dengan “sebuah kesayangan”–yang dibuktikkan dengan pemberian nama Denok. Padahal, seperti yang saya kasih tahu di awal, motor tua jelas butuh perawatan yang lebih baik. Lha ini, Honda Pitung itu malah tidak pernah lagi di-servis selama tiga tahun! Sungguh khayal.
Lha bagaimana tidak, saya pernah punya motor Honda Pitung, kelahiran tahun 1974. Satu bulan saja tidak di-servis, mogok jadi semacam hobi. Busi motor cepat ngambek, apalagi kalau kena hujan. Busi jadi mlepek, dan sulit dislah. Busi perlu dikeluarkan, ditiup-tiup, dan dipukul-pukul kepalanya, baru dipasang lagi. Sebuah tutorial memperbaiki busi yang ambek ala pengendara amatir.
Honda Pitung itu sebuah masterpiece dari Honda, lho. Bodi yang seksi, imut, dan tahan banting jika dirawat sepenuh hati. Gimana nggak tahan banting, selama dua tahun, Honda Pitung saya berusaha sangat keras menahan berat badan saya yang saat itu hampir satu kwintal. Masih sering juga saya pakai untuk membonceng ibu saya yang beratnya 11-12.
Shock Pitung yang ori sangat pengertian dan tahan banting betul. Ditumpaki dua orang “berat”, ia akan naik dan turun dengan lembut. Sangat memanjakan dua pantat lebar yang duduk berimpiran di jok yang mungil itu. Joknya sendiri cukup tebal. Malah lebih tebal ketimbang motor matic zaman sekarang yang bikin bokong kram kalau lama berkendara.
Honda 74 saya juga sangat bijaksana. Ia tak pernah mau diajak ngebut ugal-ugalan, apalagi trek-trekan. Lha wong giginya saja cuma tiga. Ia motor yang sangat nJawani, patuh dengan pepatah bijak: “Alon-alon waton kelakon.”
Pitung 74 itu juga sangat berjasa menemani masa-masa SMA. Saya punya motor bebek lain di rumah. Namun, kebetulan, saya sekolah di sebuah SMA swasta di mana tempat parkirnya semungil lubang hidungmu. Kecil sekali. Namun, lantaran body-nya yang semampai dan langsing, Pitung saya bisa ndlesep secara ceria, tanpa perlu takut ndak dapat tempat parkir.
Kepala Sekolah, seorang bruder yang gualaknya minta ampun, ketika upacara pernah bilang di depan semua murid SMA. Beliau bilang begini: “Itu anak-anak yang pakai motor besar perlu mencontoh anak-anak yang pakai Pitung. Sudah parkir sempit kok masih pakai motor sebesar itu.”
Saat itu lagi booming motor Kawasaki Ninja da Tiger 2000. Beberapa anak bawa motor itu dan bikin tempat parkir yang sempit jadi makin sesak. Saya, dan beberapa teman, pakai Pitung dan bisa parkir di mana saja asal ada ruang dua meter. Luwes. Inilah bentuk pengertian tertinggi dari sebuah Pitung. Ketika jalanan Yogyakarta makin padat oleh kendaraan roda dua, body Pitung yang kecil mudah beradaptasi. Ia juga nggak mau ngebut, alon-alon, bikin nyaman berkendara, jauh dari kata ugal-ugalan.
Ketika dirawat mesinnya, dimandikan secara rutin, Pitung menjadi kawan yang setia. Sangat jarang mogok, pengkuh, irit bensin, dan tepa selira–jalan pelan untuk memberikan jalan kepada orang lain yang sedang diburu waktu.
Oleh sebab itu, ketika melihat Mas Herman tidak pernah menservis Pitungnya selama tiga tahun, hati ini seperti teriris. Memori masa lalu seperti terpanggil kembali. Masa-masa menikmati shock Pitung yang membal penuh kasih sayang. Ketika Mas Herman menjatuhkan motornya begitu saja, apalagi di depan bengkel rosok, ingin rasanya mengadopsi Pitung itu ketimbang terbuang di masa tuanya.
Dear Mas Herman, videomu nggak lucu blas.