MOJOK.CO – Kelahiran Moise Kean dianggap sebagai keajaiban oleh ibunya sendiri. Kini, ia membutuhkan keajaiban selanjutnya supaya sehebat Cristiano Ronaldo.
Jika tidak memproduksi sendiri, Italia merupakan sekolah terbaik bagi para penyerang dunia. Mulai dari mereka yang datang sejak belia, hingga yang sudah berlabel bintang. Datang ke Serie A adalah tentang sebuah perubahan. Kamu harus menjadi yang terbaik untuk sukses di Liga Italia ini. Gagal menjadi lebih baik, kamu tidak akan mendapat tempat selamanya.
Marco van Basten merasakannya. Bulan-bulan awal bersama AC Milan adalah neraka untuk Angsa dari Utrecht itu. Permainannya yang anggun dihancurkan betul-betul oleh barisan bek di Italia, yang ganas, begitu disiplin, dan lebih suka dikartumerah ketimbang kebobolan. Oleh Arrigo Sacchi, van Basten dibentuk ulang. Ia dibuat lebih efisien.
Serie A bukan liga “untuk semua orang”. Tidak semua striker kelas dunia bisa bermain bagus di sini, apalagi berprestasi. Oleh sebab itu, ketika ada pemain muda yang bisa langsung mengambil panggung, namanya akan terus disebut dan disayang media. Ia akan dibingkai dalam pemberitaan yang manis, dibumbui cerita-cerita masa lalu yang inspiratif dan menggugah.
Nama terakhir yang sedang menjadi media darling di Serie A adalah Moise Kean. Striker milik Juventus itu masih berusia 19 tahun ketika ia mencetak gol pertamanya untuk timnas Italia. Striker kelahiran Pantai Gading itu dianggap punya masa depan cerah. Ia dipandang sebagai “berlian yang masih kasar”.
Moise Kean memang datang dengan keajaiban menyelimutinya. Bahkan kelahirannya ke dunia pun dianggap sebagai sebuah keajaiban. Dahulu, Isabelle, ibu Moise Kean sudah divonis tidak bisa punya anak lagi. Dokter yang menjatuhkan vonis itu.
“Apakah Anda tahu mengapa kami memanggilnya Mose [Musa] di rumah? Karena kelahirannya sendiri merupakan keajaiban. Doktor telah memberi tahu bahwa saya tak bisa lagi memiliki anak. Saya menangis dan berdoa. Giovanni (kakak Kean) juga meminta saya seorang adik kecil. Pada suatu malam saya memimpikan Moses, dia datang membantu saya dan, empat bulan kemudian, saya hamil lagi,” tutur Isabelle kepada Tuttosport.
Sebagai pemain belia yang sudah akrab dengan “keajaiban”, Moise Kean bakal dihadapkan di depan tantangan selanjutnya; memenuhi ekspektasi. Berat karena media, dengan segala manis narasi dan pemberitaan, terbiasa memberi beban tidak perlu kepada pemain muda. Enggak di Italia, enggak di Inggris, sudah biasa terjadi.
Apalagi ketika si pemain muda, dalam hal ini Moise, berkembang di bawah pengawasan Cristiano Ronaldo. Merasakan pengalaman berlatih bersama pemain terbaik di dunia tentu sebuah “kelas kehidupan” yang tidak bisa dinikmati banyak pemain muda. Moise sendiri mengakui bahwa dirinya belajar langsung dari kapten timnas Portugal itu.
Moise Kean sendiri mengakui di depan jurnalis bahwa setiap hari ia belajar bersama Cristiano Ronaldo. Salah satu trait Ronaldo yang sepertinya sudah ditunjukkan oleh Kean adalah efektivitas di depan gawang. Menit bermain Kean sangat terbatas. Ia baru empat kali bermain, tapi sudah bisa membuat dua gol. Bagi penyerang 19 tahun, itu catatan yang lumayan bagus.
Ketika mencetak dua gol ke gawang Udinese, jika kamu memperhatikannya secara cermat, Kean menunjukkan pergerakan yang efektif. Ia rajin menekan lawan dan cukup prima membaca situasi. Ketika Ronaldo berevolusi, kemampuan membaca ruang dan penyelesaian peluang yang berkembang paling pesat.
Saat masih bocah dan bermain untuk Sporting Lisbon, dan beberapa tahun bersama Manchester United, Ronaldo adalah penyerang sayap dengan segala keindahan menggiring bola. Usia mudanya ia terjemahkan dari caranya bermain, yang meledak-ledak.
Namun menginjak usia 30 tahun, Ronaldo berubah. Ia tak lagi seorang penyerang sayap yang lihai mengincar gawang dari jarak 30 meter. Ronaldo menjadi predator di dalam kotak penalti. Langkahnya semakin terbatas, namun pandangannya justru semakin luas. Ia mengandalkan kecepatan berpikir, alih-alih kecepatan berlari.
Ia seperti seorang maestro samurai, yang menyelesaikan duel dalam satu gerakan. Kesederhanaan, yang kembali saya tegaskan, membuat Real Madrid, dan Ronaldo di dalamnya, semakin berbahaya. Kesederhanaan itu pula, yang menjadi kekuatan utama Ronaldo ketika berburu banyak rekor ketika masih bermain untuk Madrid.
Kean butuh ratusan jam di lapangan latihan dan ribuan menit pertandingan untuk bisa menyamai level Ronaldo saat ini. Ia tidak hanya butuh dedikasi, namun kerja super berat supaya bisa berkembang sempurna. Beruntungnya, ia bernapas begitu dekat dengan kerja Ronaldo hari-hari. Ia, seharusnya, bisa menyerap segala kebaikan dari sisa-sisa ketajaman Ronaldo.
Moise Kean disertai keajaiban ketika lahir. Ia akan butuh keajaiban selanjutnya untuk bisa sehebat mentornya. Ia berdiri di antara dua keajaiban. Satu sudah paripurna, satu sudah menanti. Masa depan, ditentukan oleh seberapa jauh ia berlari, seberat apa ia mampu menahan tekanan menjadi “anak ajaib”.