MOJOK.CO – Stan Kroenke enggan keluar uang demi Arsenal? Persetan, sembari menggemakan Kroenke Out, jangan lelah mendukung tim ini di atas lapangan hijau.
Marah itu memang mudah. Tak harus ketika tensi dan emosimu terpancing. Marah adalah cara paling mudah untuk mengekspresikan diri ketika kamu terjebak dalam ketidaktahuan. Marah, adalah menutup dirimu sendiri dari informasi baru. Atau yang paling berbahaya, dari sudut pandang yang berbeda.
Fans Arsenal sedang marah. Begitu mudah marah. Saya pun juga demikian. Kita semua marah. Sangat mudah terpantik. Kekesalan yang bertumpuk sejak musim lalu, ketika Arsenal membuang banyak kesempatan untuk masuk empat besar, hingga kalah secara menyakitkan dari Chelsea dengan Olivier Giroud mencetak gol.
Kekesalan itu merembet hingga paruh akhir Juni 2019, ke tengah usaha Arsenal mendapatkan pemain baru dan menjual mereka yang tidak lagi masuk dalam rencana jangka panjang. Klub ini dihubungkan ke banyak pemain. Hampir sepanjang satu bulan penuh berita dengan narasi “sedikit lagi”, “hampir mendapatkan tanda tangan”, “sudah hampir setuju”, dan “bakal mendapatkan” mewarnai lini massa fans The Gunners.
Mengapa tidak segera diresmikan? Banyak Gooners yang bertanya seperti itu. Banyak jawaban yang bisa saya berikan. Salah duanya adalah menunggu terjualnya pemain lawas sehingga membebaskan beban gaji, dan menunggu peresmian Adidas sebagai sponsor baru. peresmian ini baru bisa dilakukan pada 1 Juli 2019. Sungguh tidak lucu kalau pemain baru Arsenal tidak diresmikan mengenakan seragam baru klub untuk musim depan.
Gregetan, kesal, melihat klub lain dengan ringan membelanjakan uang, fans Arsenal menjadi mesin pengeluh. Mereka seperti baru dua musim saja mendukung klub ini. Pada titik tertentu, fans Arsenal bisa menjadi “bayi tua” yang merengek karena gula-gula di tangan mereka habis karena mencair.
Lalu, di sana berdiri Stan Kroenke.
“Bayi besar” lainnya yang asyik bermain, mempermainkan perasaan fans Arsenal yang tetap setia membeli tiket terusan demi merasakan pukulan di ulu hati dan tamparan di gendang telinga setiap minggunya. Stan Kronke berdiri di sana, tapi ia sebenarnya tidak ada.
Sejak dua tahun yang lalu, saya sudah dengan tegas berdiri di garis mendukung Stan Kroenke untuk angkat kaki dari klub ini. Namun, jika pilihannya hanya Alisher Usmanov, saya juga dengan tegas berkata: Jancok!
Namun, mereka yang baru berkenalan dengan @arsenalskitchen enggan mencari tahu, setidaknya bertanya “kenapa”. Mereka lebih suka, seperti yang saya tulis di atas: marah!
Tangan terkepal fans Arsenal
Mundur lima tahun ke belakang, ketika Arsenal tampail payah di atas lapangan, ada dua sosok yang menjadi pusat caci-maki. Mereka adalah Arsene Wenger dan Stan Kroenke. Begini porsinya: 30 persen salah Wenger dan 70 persen salah Stan Kroenke. Ketika banyak fans tukang marah itu gagal memahami alasan Arsenal tampil buruk di atas lapangan, yang paling mudah dijadikan argumen adalah: klub ini tidak punya pemain mahal seperti tim juara lainnya.
Stan Kroenke memang punya dosa. Namun, ia tidak menentukan pemain mana yang harus bermain dan berapa striker yang harus dipasang. Ia bukan Don Silvio Berlusconi di AC Milan yang bisa “memaksa” pelatih bermain dengan dua striker. Itu ranah Wenger dan Stan Kroenke tak pernah ikut campur. Ia hanya seorang “bayi besar” yang bermain monopoli dengan keuangan klub ini yang terbukti sehat.
Setelah lelah mencaci Wenger, yang biasanya tidak berlangsung lama, mereka mengubah haluan kepada Stan Kroenke. Menggunakan argumen bahwa Arsenal tidak mau boros belanja pemain, klub ini pelit, dan keuntungan dinikmati pemilik saja memang lebih mudah ketimbang bersama-sama mendiskusikan mengapa kompaksi tim ini tidak konsisten sepanjang pertandingan atau mengapa klub ini payah betul menghadapi serangan balik lawan.
Sekali lagi, Stan Kroenke jelas punya dosa. Dan di mata saya, beliau tak termaafkan lagi ketika memutuskan tidak mau ikut susah payah terbang ke Baku, Azerbaijan, untuk mendukung klub miliknya berlaga di pertandingan terpenting dalam satu dekade terakhir. Entah beliau pelit atau sugar daddy, tak datang mendukung klub di fase terpenting adalah dosa tak terampuni.
Mengurangi pikiran bebal tentang “bayi besar” bernama Stan Kroenke
Untuk menjadi catatan, Stan Kroenke bisa saja menyuntikkan dana pribadinya ke Arsenal. Apakah berpotensi kena FFP? Betul. Namun, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Ada celah dalam aturan FFP yang bisa dimaksimalkan. Saya menyarankan kamu semua untuk membaca tautan tentang kemungkinan itu di sini. Baca perlahan dan pahami.
Stan Kroenke suka dengan model bisnis klub seperti Arsenal. Ia tak perlu chip in lagi dengan membeli saham ketika ingin menambah modal belanja. Ia pemilik tunggal. The Gunners, bersama Manchester United, Tottenham Hotspur, dan Swanse City menjadi klub di Liga Inggris yang bisa hidup dengan “uang di kas” tanpa melibatkan uang dari pemilik.
Model bisnis ini berbeda dengan Manchester City dan Chelsea yang mengandalkan uang pemilik. Model bisnis The Gunners adalah model bisnis yang dipikirkan FIFA ketika menyusun FFP. Sehat dan mandiri. Bukankah kita harus bangga dengan kemandirian itu? Ya, karena City dan Chelsea bisa saja ambruk setiap saat ketika para pemilik mereka sudah lelah main-main di sepak bola.
Investor bisa pergi kapan saja, atau ketika mereka tersandung skandal. Seperti misalnya kisruh Milan dan Yonghong Li atau City dengan Thaksin Sinawatra yang terjerat kasus korupsi. Ketika bencana itu terjadi, model bisnis seperti Arsenal, United, dan Spurs yang akan bertahan.
Lalu, mengapa Stan Kroenke enggan merogoh kantong pribadinya untuk Arsenal? Isi hati orang lain tak mungkin kita ketahui secara pasti. Namun, kalau beliau memang pada dasarnya pelit, kita pun tak bisa berbuat banyak kecuali menjaga tagar Kroenke Out tetap bergema.
Nah, di sini, mari kita sama-sama melonggarkan kepalan tangan. Buka lebar telapak tangan kalian untuk menerima informasi dan pemikiran yang baru atau berbeda.
Ketika Stan Kroenke belum angkat kaki, yang bisa dilakukan Gooners adalah kembali ke lapangan hijau. Clive dari Arsenal Vision Podcast menganggap Unai Emery sebagai seorang “cleaner”. Ia bisa dengan “dingin” meminggirkan pemain yang tak cocok atau melepas pemain tanpa harus drama, sentimentil, berbeda dengan Wenger yang “hangat” kepada “wonderkid sepanjang masa” seperti Theo Walcott, misalnya.
Emery akan membentuk ulang klub ini, mulai dari cara pandang di atas lapangan, hingga model gaji. Inilah ranah di mana Gooners harus bersabar mendukung. Bukankah ketika semua pemain sehat, Arsenal bisa bersaing di empat besar bahkan juara? Musim ini buyar dimulai ketika Rob Holding dan Hector Bellerin cedera.
Stan enggan keluar uang? Persetan, karena kita tak bisa memaksanya secara langsung. Sembari menggemakan tagar Kroenke Out, jangan pernah lupa dan lelah untuk mendukung Arsenal yang berada di tempat semestinya: lapangan hijau.