MOJOK.CO – Tingkat ujaran kebencian di Merseyside menurun berkat keberadaan Mohamed Salah. Benarkah demikian? Bagaimana sebaiknya kita membaca fakta ini?
Keberadaan idola itu bisa mengubah manusia. Idola akan disejajarkan dengan kebutuhan primer. Idola adalah kegiatan bernapas. Idola adalah asupan yang diidamkan tubuh manusia. Pada titik tertentu, idola mengubah identitas seseorang tanpa ia sadari sepenuhnya. Persis seperti Mohamed Salah “menenangkan” manusia-manusia busuk di Liverpool sana.
Februari 2018, Liverpool menang besar atas FC Porto. Skornya 5-0. Pemain yang bermain paling menonjol malam itu adalah Sadio Mane. Ia mencetak tiga gol. Satu lagi dicetak Roberto Firmino dan bintang kita, Mohamed Salah, mencetak satu yang lain. Meski hanya membuat satu gol ke gawang Porto, musim itu, 2017/2018, kita tahu, Raja Sepak Bola Mesir adalah protagonisnya.
Fans Liverpool memujanya. Sebuah chant pun diciptakan.
If he scores another few
Then I’ll be Muslim, too
If he’s good enough for you
He’s good enough for me
Sitting in a mosque…
That’s where I wanna be
Dan lagi…
Mohamed Salah
A gift from Allah…
He’s always scoring
It’s almost boring
So please don’t take
Mohammed away
Gita puja di atas adalah sesuatu yang unik. Orang Inggris tidak terbiasa menyanyikan sebuah pujian dengan titik berat di agama seseorang. Penonton sepak bola di Inggris belum terbiasa menonton seorang pemain merayakan golnya dengan sebuah “aksi sujud”. Mohamed Salah melakukannya. Sebuah selebrasi yang bahkan direkam oleh game FIFA 2019 dan dimainkan oleh jutaan orang di dunia.
Mohamed Salah adalah person yang mudah dicintai. Salah satu pundit di Inggris memandang Salah sebagai gambaran muslim yang mudah diterima. Gambaran yang menjelaskan banyak hal, salah satunya Islamofobia. Sebuah istilah kontroversial yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan muslim. Inggris mengidap Islamofobia sejak dulu dan terjadi eskalasi setelah peristiwa 11 September 2001.
Sejak Mohamed Salah resmi menjadi pemain Liverpool, orang Inggris, terutama warga Kota Liverpool mulai akrab dengan “Islam yang bersahabat dan mudah diterima.” Mereka menjadi akrab lewat menonton laga, wawancara setelah pertandingan, video promosi dari klub, dan banyak konten media sosial yang diproduksi oleh Salah.
Para fans yang sebelumnya hanya peduli dengan tendangan melengkung Mohamed Salah dari sisi lapangan, mulai tertarik dengan kehidupan seorang pemeluk Islam. Mereka melihat cara beribadah pemeluk Islam, fans belajar soal ritme ibadah Ramadan; berbuka puasa, misalnya.
Fans yang mungkin terpapar oleh Islamofobia jadi tahu kalau Makka, puteri Salah, namanya diambil dari nama salah satu tempat suci umat Islam. Performa yang ia tunjukkan, dan kehidupan muslim yang sederhana membuat prasangka kepada Islam berkurang cukup signifikan.
Ujaran kebencian menurun berkat Mohamed Salah
Seperti yang tertulis di atas, Islamfobia semakin kental di Inggris sejak peristiwa 11 September. Sebuah survei dari YouGov menunjukkan bahwa sebagian besar warga Inggris, pada kurun waktu 2015 hingga 2018, meyakini bahwa ada perbedaan yang fundamental antara Islam dan nilai-nilai yang berlaku di antara warga Inggris.
Data dari pusat statistik buruh di Inggris menunjukkan bahwa laki-laki muslim punya peluang tidak diterima kerja hingga 76 persen. Kalikan empat untuk mencari tahu peluang kerja bagi wanita muslim. Sebuah laporan dari pemerintah Inggris menyimpulkan bahwa pemeluk Islam adalah kelompok yang paling dirugikan secara ekonomi di antara masyarakat British secara keseluruhan. Semuanya berasal dari prasangka yang melahirkan ujaran kebencian, dan berujung kepada kekerasan.
Para peneliti dari Stanford University dan ETH Zurich melakukan sebuah survei terkait pengaruh keberadaan Mohamed Salah kepada tingkat ujaran kebencian. Mereka membuat kesimpulan awal bahwa ujaran kebencian tidak selalu dilakukan oleh ekstrimis. Ujaran kebencian juga sebuah aksi yang dilakukan oleh “orang biasa”. Para peneliti mengajukan sebuah petisi bernama Freedom of Information (FOI) guna mendapatkan informasi dari semua kantor polisi di Inggris pada April 2018 tentang kasus ujaran kebencian.
Data yang dicari adalah kasus ujaran kebencian dari tahun 2015 hingga 2018, termasuk detailnya seperti tanggal terjadinya kejahatan, lokasi, motivasi, dan peta demografik pelaku. Untuk daerah Merseyside, di mana kandang Liverpool berada, diperlakukan khusus. Daerah ini dinilai berdasarkan tanggal bergabungnya mantan pemain AS Roma itu.
Perlu kamu ketahui, rata-rata kasus ujaran kebencian di Merseyside sangat tinggi. Tercata, rata-rata kasus ujaran kebencian di daerah ini lebih tinggi dari 19 daerah lain dari total 24 daerah yang dianalisis.
Hasilnya, sebagaimana dipaparkan dalam laporan riset bertajuk “Can Exposure to Celebrities Reduce Prejudice? – The Effect of Mohamed Salah on Islamophobic Behaviors and Attitudes”, terdapat korelasi keberadaan Mohamed Salah dengan penurunan prasangka buruk terhadap muslim dan Islam di Merseyside.
“Kami menemukan fakta bahwa di Merseyside terjadi penurunan kasus ujaran kebencian hingga 18,9 persen setelah Salah bergabung, dibandingkan dengan data jika ia tidak bergabung dengan Liverpool,” ungkap penelitian itu. Riset ini juga menemukan bahwa jumlah tweet bernada anti-muslim dari suporter Liverpool juga menurun dari 7,2 persen menjadi 3,4 persen.
Mengapa tingkat ujaran kebencian di daerah Liverpool bisa berkurang?
Hanya karena bermain apik?
Bisa jadi begitu. Riset di atas menegaskan bahwa popularitas Mohamed Salah juga menentukan. Ia menjadi populer karena bermain bagus. Performa luar biasa yang ditunjukkan Salah mulai dari akhir 2017 hingga saat ini membuat kultur fandom tercipta. Sekali lagi, ini soal idola.
Sepak bola adalah ranah hukuman yang ketat. Mereka yang bermain bagus akan selalu selalu terlihat “bercahaya” dan memukau. Tambahkan sifat yang sederhana dan humble, kamu akan mendapatkan seseorang yang mudah dicintai. Oleh sebab itu, segala atribut yang ia bawa akan terlihat menyenangkan dan mudah dipahami.
Prasangka datang karena ketidaktahuan. Banyak orang Inggris yang tidak memahami Islam secara utuh. Sepotong-sepotong informasi soal Islam tersebar di mana-mana. Tentang Islam yang ganas dan pendendam. Sangat terbatas informasi tentang Islam yang terbuka, rendah hati, bersahabat, dan mudah dipahami.
Mohamed Salah membawa identitasnya, sama seperti manusia pada umumnya. Identitas melekat dan sangat terlihat. Semain menawan ketika kamu fans Liverpool dan setiap minggu disuguhi performa yang surgawi.
Tidak adil kepada Mesut Ozil dan Karim Benzema
Seindah apapun pengaruh Mohamed Salah kepada tingkat ujaran kebecian di Merseyside, sebagai manusia, kita akan selalu mengecewakan orang lain dengan begitu sempurna.
Sepak bola adalah ranah hukuman yang ketat. Tolong ini dicatat baik-baik. Penurunan tingkat ujaran kebencian karena Salah adalah kabar baik. Namun, kita tak pernah bisa adil sejak dalam pikiran.
Mudah mencintai Salah karena ia bermain bagus. Apalagi, ia baru saja membantu Liverpool menjadi juara Liga Champions untuk keenam kalinya. Lantas, apakah kita bisa berlaku adil kepada para pemain muslim yang sedang tidak bermain bagus? Mesut Ozil dan Karim Benzema adalah dua dari banyak contoh.
Ozil pernah berkata begini: “Jika aku bermain bagus, maka aku dianggap orang Jerman. Jika bermain buruk, aku hanya seorang imigran di mata banyak orang.” Kalau Benzema begini: “Kalau aku rajin mencetak gol, aku dipandang sebagai orang Prancis. Kalau aku bermain buruk dan mandul, aku itu dianggap sebatas orang Arab saja.”
Ozil berderma untuk 1000 orang lebih di hari pernikahannya. Benzema adalah sumber kreativitas Real Madrid musim lalu yang akan selalu dibandingkan dengan ketajaman Cristiano Ronaldo. Apakah kita adil kepada mereka? Apakah mereka tidak cukup menginspirasi kamu sebagai manusia altruistik?
Pada akhirnya, keberadaan Mohamed Salah bisa dianggap sebagai sebuah jembatan yang rapuh. Ia mengenalkan Islam yang bersahabat secara tidak langung lewat performa di atas lapangan. Bagaimana jika kelak, di sisa kontrak kerja bersama Liverpool, Salah bermain sangat buruk?
Apakah orang Merseyside akan tetap bisa menahan diri untuk tidak berprasangka lagi? Atau mereka akan kembali dikuasai oleh fanatisme buta kepada sepak bola? Selama Mo Salah dan Islam tidak dipahami sebagai identitas yang mulia, secara manusiawi, orang-orang busuk itu akan selamanya busuk.
Dan sampailah kita di tengah jembatan yang rapuh itu. Untuk menantikannya runtuh dan koyak. Jembatan yang hanya ditopang oleh kesenangan semata, karena gol dan eloknya giringan bola Mohamed Salah. Jembatan itu akan tetap rapuh, selama toleransi yang utuh dan penghargaan terhadap keberadaan sesama tidak pernah jujur.
Tabik!