MOJOK.CO – Inter Milan vs Juventus ini memang belum akan menentukan juara. Namun, kemenangan yang berhasil dijala bisa menjadi penanda sebuah era. Antara kejatuhan penguasa Serie A atau kebangkitan La Beneamata.
Saya masih ingat betul kelebat Luigi Di Biagio ketika menyambar umpan sepak pojok. Pemain bertubuh kecil itu bergerak paling cepat untuk menanduk umpan sepak pojok ke tiang dekat. Kiper Lazio, Angelo Peruzzi terhalang rekannya sendiri yang sudah berdiri di tiang dekat. Ia tak bisa berbuat banyak selain menyaksikan bola meluncur deras ke dalam gawangnya. Tandukan itu membuat Inter Milan unggul 1-2 atas Lazio.
Di Biagio merayakannya golnya dengan penuh suka cita. Ia membuka baju, berlari ke arah suporter Inter Milan yang memadati pojok Stadion Olimpico. Unggul 1-2 membuat Inter Milan melewati Juventus di klasemen Serie A musim 2001/2002. Saat itu pekan terakhir dan gelar Scudetto setelah puasa gelar selama 13 tahun sudah terbayang di mata Inter Milan.
Di tempat lain, Juventus unggul 2-0 atas tuan rumah Udinese lewat gol David Trezeguet dan Alessandro Del Piero. Kemenangan yang tidak akan berarti banyak lantaran Inter Milan sudah dalam posisi unggul. Unggul 2-1 atas Lazio seperti asupan oksigen ke dalam paru-paru Inter setelah sebelumnya sesak lantaran hanya memetik 2 kemenangan di 4 giornata terakhir. Catatan yang bikin Juventus bisa mendekat dan mengancam.
Saya sering berujar di Twitter kalau sepak bola adalah aliran sejarah yang berulang. Dan musim panas itu, rekam sejarah menenggelamkan Inter Milan. Il Biscione tidak pernah menang atas Lazio dalam 11 pertemuan terakhir di Serie A!
Sebuah tangan kokoh muncul dari portal masa lalu. Tangan yang sangat kokoh bernama sejarah itu menarik Inter Milan. Menarik mereka ke dalam kehampaan.
Tidak bertahan lama keunggulan Inter Milan atas Lazio. Hanya dalam kejapan mata, Lazio berhasil menyamakan kedudukan. Karel Poborsky, kereta cepat dari Republik Ceko menyambar tandukan Vratislav Gresko, bek Inter, yang mencoba mengembalikan bola ke pelukan Francesco Toldo. Tidak hanya Olimpico yang bergemuruh, Stadio Friuli, kandang Udinese juga bergetar. Sorakan Juventini membahana, menertawakan nestapa La Beneamata di Olimpico, kota Roma.
Nestapa Inter Milan berlipat ganda ketika Diego Simeone dan Simone Inzaghi menambah jumlah gol Lazio. Menit 80, di bangku cadangan, Ronaldo Nazario menangis. Pujangga penulis elegi tak akan betah menggambarkan air mata Ronaldo sore itu. Ia akan ikut menangis, ikut menundukkan kepala dan merenungi betapa sejarah itu sangat kejam.
Sang pujangga tak akan kuat menulis, apalagi ketika di kandang Torino, AS Roma menang dengan skor 1-0 berkat gol Antonio “Peter Pan” Cassano. Kekalahan dari Lazio dan kemenangan Roma atas Torino membuat Inter Milan terlempar ke posisi tiga, kehilangan posisi puncak yang sudah lama mereka dekap. Juventus berpesta di ujung Serie A, meninggalkan luka yang selamanya akan terus menganga.
Serie A 2001/2002 seperti menjadi penanda sebuah era bagi Juventus. Setelah musim yang dramatis itu, hingga saat ini, mereka sudah 12 kali merengkuh Scudetto. Tentu saja saya memasukkan 2 gelar Scudetto mereka yang dicopot Lega dan diberikan kepada Inter Milan karena ontran-ontran Calciopoli.
Scudetto 12 kali, berbanding 4 yang diraih Inter Milan sudah menggambarkan dominasi Si Nyonya Tua atas Serie A. Scudetto musim 2001/2002, di ujung awal milenia menggambarkan kekuatan Juventus atas lawan-lawannya. Konsistensi adalah kekasih sejati dan lo spirit Juve yang melambari kekuatan itu.
Bahkan ketika mereka dilempar ke Serie B. Bahkan ketika mereka harus menjadi semenjana ketika kembali ke Serie A satu tahun kemudian. Empat musim mereka menyaksikan Inter Milan merayakan kemenangan. Empat musim mereka memeram kekuatan; memperbaiki manajemen, menyusun ulang skuat, hingga membangun stadion.
Seorang pemenang tahu caranya mengalahkan lawan, tetapi tidak berarti “selalu bisa”. Namun, sang juara, akan selalu punya cara untuk menundukkan lawan secara paripurna. Sebuah permainan kata-kata yang saya rasa cukup tuntas untuk menggambarkan potensi Juventus. Apalagi jika kamu tengok 8 musim ke belakang di mana Si Nyonya Tua menjuarai semuanya.
Giornata 7 Serie A 2019/2020, Inter Milan menjamu Juventus. Musim ini, bersama Antonio Conte, Inter menjadi kekuatan besar. Mulai dari cara bermain, komposisi pemain, determinasi, berkombinasi sangat serasi. Di mata saya, inilah saatnya mendongkel Juventus. Saatnya membunuh asa, saatnya membangun sebuah era.
Momennya sangat pas. Juventus sudah mulai menemukan komposisi dan cara bermain paling ideal di bawah asuhan Maurizio Sarri. Ketika sudah menemukan titik pijak, ditambah kondisi mental terbaik, Si Nyonya Tua bakal sulit dihentikan.
Oleh sebab itu, Inter Milan tidak boleh membuang kesempatan. Jangan sampai generasi sekarang mengulangi lagi kesalahan pendahulu mereka yang dibikin malu di musim 2001/2002. Keyakinan penuh harus dipegang teguh. Ingat, sejarah selalu berulang. Jangan sampai, roda sejarah yang diputar oleh Conte adalah sejarah buruk ditikung di tikungan terakhir.
Derby d’Italia ini memang belum akan menentukan juara. Namun, kemenangan yang berhasil dijala bisa menjadi penanda sebuah era. Antara kejatuhan penguasa Serie A atau kebangkitan La Beneamata.
BACA JUGA Titik Lo Spirito Juventus: Fleksibilitas Sarri dan Kebangkitan Aaron Ramsey atau artikel Yamadipati Seno lainnya.