MOJOK.CO – Jika ada sebuah tim yang punya modal untuk mendekati “dunia sempurna” Arsenal 2003/2004, tim itu adalah Liverpool 2019/2020.
Saya selalu skeptis ketika ada yang bilang ada sebuah klub yang bisa menyamai “dunia sempurna” Arsenal musim 2003/2004. Menyelesaikan satu musim penuh tidak kalah itu sungguh pekerjaan yang teramat berat. Namun, menarik juga membayangkan ada sebuah klub yang bisa mengejar dunia itu di masa sekarang.
Sebagai gambaran, pada musim 2003/2004, Arsene Wenger, pelatih Arsenal kala itu, memandang ada 4 klub yang bisa menjadi rival klub asuhannya untuk mempertahankan gelar juara Liga Inggris. Mereka adalah Newcastle United, Liverpool, Chelsea, dan Manchester United. Klub-klub di luar itu adalah klub yang bisa dikalahkan, atau paling tidak akan sulit mengalahkan Arsenal.
Bandingkan dengan masa sekarang. Kita ambil contoh Manchester City yang baru saja kalah dari Norwich City. Untuk bisa menjadi juara saja, mereka perlu berhati-hati dengan banyak klub. Mulai dari Liverpool, Spurs, Chelsea, Manchester United, Everton, Wolves, Leicester City, West Ham United, hingga Crystal Palace. Lima klub terakhir bukan tim papan atas, tetapi punya rekam jejak selalu menyulitkan tim jagoan juara.
Liga Inggris kini lebih sulit diarungi, apalagi bisa menggenggam status tak terkalahkan sampai akhir musim. Besarnya pemasukan dari hak siar dan sponsor membuat tim-tim semenjana bisa membeli pemain bagus. Salah satu aspek yang membuat tim papan atas tidak bisa menang dengan mudah setiap minggunya.
Nah, hingga pekan ke-5, ada satu klub yang, di mata saya, punya modal mengejar dunia sempurna Arsenal. Mereka adalah Liverpool.
Pertama-tama yang terbayang di benak saya adalah determinasi dan stamina. Kemauan keras untuk tidak kalah dari siapa saja justru menjadi modal pertama, bukan cara bermain. Stamina tidak hanya soal kekuatan fisik untuk terus berlari selama 90 menit. Stamina yang saya maksud adalah kekuatan mental yang mengiringi determinasi.
Kamu bisa melihatnya ketika Liverpool come back ketika melawan Newcastle United. Sebelum laga, Jurgen Klopp memilih menggunakan Divock Origi alih-alih Roberto Firmino. Klopp ingin The Reds punya keunggulan udara di dalam kotak penalti, mengingat Newcastle pasti bertahan cukup dalam. Penguasaan bola hingga 80 persen di babak pertama cukup menjadi gambaran.
Skenario ini tidak berjalan dengan lancar. Selain tertinggal lebih dulu, Origi malah cedera. Firmino, yang dianggap kurang memberikan keuntungan di duel-duel udara justru menjadi penentu kemenangan. Determinasinya untuk turun dan merebut bola, kecerdasannya menjadi playmaker, berujung dua asis untuk Sadio Mane dan Mo Salah.
Arsenal musim 2003/2004 berulang kali melewati situasi yang sama. Mereka cukup sering tertinggal lebih dulu dan harus bermain dengan skuat yang tidak ideal. Misalnya ketika tandang ke Anfield, The Gunners tidak bisa memainkan Sol Campbell, Patrick Vieira, dan Roy Parlour. Sementara itu, Thierry Henry berduet dengan Jeremie Aliadiere.
Arsenal kebobolan terlebih dahulu di menit 11, sebelum akhirnya menang dengan skor 1-2. Selepas laga, Oliver Kay, jurnalis The Times menulis:
“Pengalaman mengajari mereka untuk lebih mementingkan isi ketimbang gaya. Cara bermain ini mungkin menjadi tidak menarik bagi fans militan mereka, tetapi pendekatan baru dengan bermain lebih keras ini justru membuat Arsenal lebih menakutkan. Musim lalu, mereka memproduksi sepak bola yang megah, yang belum pernah terlihat di negara ini atau tempat lain. Musim ini, mereka bisa mendapatkan hasil dengan efisiensi yang sulit dipahami.”
Liverpool, dua musim terakhir, menunjukkan kecenderungan yang sama. Mereka sangat efektif memanfaatkan kesempatan memegang bola. Ketika inferior dalam duel-duel udara, Liverpool bermain efektif ketika counter-pressing mereka sukses. Hebatnya, lewat corak kemampuan individu tridente di depan, permainan cantik bola-bola bawah, The Reds sukses membungkus liatnya determinasi mereka.
Liverpool musim ini juga punya kesamaan dengan Arsenal 2003/2004 dalam soal kedalaman skuat. Kedua tim ini sama-sama punya skuat yang ramping. Banyak yang memandangnya sebagai kekurangan, tetapi penegasan Wenger bisa menjadi gambaran:
“Kami sudah bermain bersama selama beberapa tahun dan kami punya pengalaman juara sebelumnya. Ketika ditantang, kami justru semakin bersatu.” Musuh terbesar bagi skuat ramping adalah cedera. Namun, ketika performa back-up player bisa mendekati pemain tim utama, klub tersebut tidak perlu risau.
Arsenal sangat fleksibel ketika harus mencadangkan Freddie Ljungberg dan Vieira untuk memainkan Edu dan Parlour. Pemain utama berganti, tetapi kualitas tetap ada. Liverpool juga demikian ketika Xherdan Xhaqiri dan James Milner punya standar tinggi yang selalu mereka tawarkan ketika dibutuhkan.
Maka, ketika berada dalam keadaan tertinggal, kesiapan untuk “win ugly”, dan pemain cadangan yang berkualitas, membuat Liverpool siap menghadapai lawan jenis apa pun. Arsenal 2003/2004 berbeda dengan musim 2019/2020 di mana kini mereka lebih stylish, manja, dan belum sepenuhnya bersatu. Keakraban yang terlihat sering hanya menjadi berharga menjadi konten Instagram atau kanal Youtube klub.
Determinasi di atas lapangan yang kini justru ditunjukkan Liverpool. Bahkan fans The Gunners paling militan pun tak akan bisa membantah argumen ini. Imbang dengan Spurs menggambarkan kekurangan itu. Kesalahan individu masih rutin mereka lakukan.
Musim 2019/2020 masih sangat panjang. Liverpool masih mungkin kalah, mengingat “kutukan” mereka di liga masih saja terjadi. Kutukan itu seperti tembok yang sulit untuk dipanjat. Namun, musim ini, mereka lebih matang dan siap sebagai sebuah tim.
Maka, izinkan saya membuat prediksi lebih dini. Jika ada sebuah tim yang punya modal untuk mendekati “dunia sempurna” Arsenal 2003/2004, tim itu adalah Liverpool 2019/2020. Jika gagal lagi, The Reds bisa jadi tak akan mendapatkan kesempatan kedua. Ingat, Liga Inggris sangat dinamis dan makin sulit ditaklukan.
BACA JUGA Liverpool Menjadi Manusia Unggul Bersama Jurgen Klopp atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.