MOJOK.CO – Mikel Arteta, pelatih Arsenal, positif virus corona. Sebuah kejadian yang membuat otoritas sepak bola Inggris gagap. Mirip seperti yang tengah terjadi di Indonesia.
Pagi yang malas menjelang akhir pekan disentak oleh sebuah kabar buruk. Pelatih Arsenal, Mikel Arteta, positif virus corona. Kabar ini tidak berjarak terlalu lama dari keputusan resmi otoritas Liga Inggris untuk tetap menggelar pertandingan lanjutan musim 2019/2020. Sebuah keputusan yang sungguh aneh.
Tidak sampai satu jam kemudian, akun Twitter resmi otoritas Liga Inggris mengumumkan kalau mereka akan menggelar rapat darurat. Sebuah pertemuan untuk merespons kabar Mikel Arteta, pelatih Arsenal, yang positif virus corona. Sebuah kejadian yang sangat absurd. Menggambarkan dengan jernih betapa jahatnya manusia.
Keputusan untuk menggelar lanjutan pertandingan Liga Inggris menunjukkan kalau otoritas liga tidak mengindahkan peringatan WHO. Kamis (12/03), WHO resmi menetapkan virus corona sebagai pandemi. Artinya, virus corona sudah menjadi masalah internasional dengan penyebaran yang belum bisa dicegah atau dikontrol secara penuh.
Peringatan ini saja seharusnya sudah cukup untuk membuat semua otoritas liga-liga di dunia untuk menghentikan kompetisi selama beberapa bulan. Setidaknya, kalau death rate dan kecepatan penularan masing rendah, liga dihentikan selama dua minggu penuh. Intinya adalah mencegah akan selalu bernilai ketimbang mengobati.
Otoritas Liga Inggris seharusnya punya akal sehat. Tidak perlu menunggu ada seorang public figure yang positif virus corona. Kebetulan, yang positif corona adalah Mikel Arteta. Sebagai pelatih Arsenal, namanya bermakna “konsumsi global”. Dikenal oleh dunia.
Bagaimana kalau korbannya hanya seorang pemuda tak kerja dari London Timur? Sebuah daerah yang pernah dikenal sebagai daerah miskin? Saya yakin, Liga Inggris akan tetap bergulir. Demi sponsor, demi uang dalam jumlah besar yang sudah kadung disuntikkan oleh “orang-orang dalam kelompok kecil” yang menguasai “sesuatu”. Atau, hanya demi sebatas gengsi dan ego orang-orang Inggris Raya yang memang tinggi itu?
Ketika sumber ekonomi sebuah institusi terancam, sebuah “perlawanan” akan dilakukan. Bukan melulu soal fisik, tetapi penolakan akan kenyataan. Italia bagian utara sudah mengalai lock down. Ligue 1 Prancis sudah memutuskan pertandingan digelar tanpa penonton. Liga Inggris, dengan sangat jemawa berkeinginan tetap menggulirkan liga.
Pandemik, ditambah angka kematian yang sangat cepat menanjak tidak mampu menembus hati nurani Boris Johnson dan orang-orang tua yang berkuasa itu. mereka baru gagap. Tergopoh-gopoh. Menggelar rapat darurat setelah Mikel Arteta, pelatih Arsenal, positif virus corona. Sebuah wujud sikap tidak bijak yang ada di penjuru dunia, terutama di Indonesia.
Beberapa hari yang lalu, Jogjakarta dengan sangat “gagah” mendaku diri bebas corona. Jogja mengajak wisatawan untuk datang berkunjung dan menghabiskan uang di sini. Saya yakin, ketika peristiwa yang menimpa Mikel Arteta terjadi di sini, kegagapan yang sama akan terjadi. Bahkan mungkin akan terjadi kepanikan karena edukasi yang terlalu minimal, untuk menyebutnya tidak ada.
Apa yang akan terjadi, jika dalam beberapa minggu ke depan, ada pelatih atau pemain dari salah satu klub di DIY yang positif virus corona? Rapat-rapat darurat baru akan terjadi. Pernyataan-pernyataan bodoh dari aparat pemerintah, yang sudah sering kita konsumsi, bakal terdengar.
Ketika mengajak wisatawan untuk datang ke Jogja, apakah pemerintah setempat sudah menyiapkan alat serta tempat untuk pemeriksaan corona? Toh sampai saat ini, hanya Jakarta yang punya alat serta tempat untuk menguji virus corona. Pemerintah konon menyebut ada 10 tempat yang sudah bisa menguji virus corona. Namun, ternyata, semua itu baru sekadar wacana.
Kejadian yang menimpa Mikel Arteta dan Arsenal seharusnya menjadi peringatan paling jelas. Tolong dicatat kalau Mikel Arteta tidak tertular virus corona dari pemilik Olympiakos, klub Yunani yang menjadi lawan Arsenal di Liga Europa. Dari mana Arteta tertular? Belum ada yang tahu. Arsenal sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait asal penularan Arteta.
Mereka, di sekitar Arsenal, hanya bisa berdoa tidak menjadi korban selanjutnya karena peta wilayah penularan belum dibuat. Sama persis, bukan, dengan Indonesia yang belum mau membuka peta wilayah terdampak.
Kegagapan pemerintah membuat warganya menderita. Jujur, saya tidak ikhlas. Kekhawatiran dan rasa takut, bahkan virus corona itu sendiri, layak kalau diderita oleh mereka yang berkuasa, tetapi gagap bekerja. Maafkan saya kalau terdengar terlalu jahat.
Tolong dicatat, angka kematian Indonesia karena virus corona mencapai 2,94 persen. Angka ini cukup tinggi meski baru satu orang yang meninggal. Satu pasien positif virus corona dilaporkan meninggal pada Rabu (11/03). Tepat sembilan hari setelah pengumuman kasus positif pertama oleh Joko Widodo.
Jika dihitung, angka kematian Indonsia memang masih di bawah tingkat kematian global sebesar 3,67 persen per 12 Maret 2020. Namun, tingkat kesembuhan berada di angka 14,7 persen, jauh di bawah tingkat kesembuhan global, 54,08 persen. Mencegah, akan selalu lebih manusiawi, ketimbang kelak gagap untuk mengobati.
Sudah saatnya menghentikan semua aktivitas sepak bola global. Saya tidak akan lelah untuk mengingatkan kalau nyawa manusia itu tidak ternilai. Kamu tidak akan mati ketika tidak menonton sepak bola selama beberapa bulan. Kamu bisa “mati” kalau tertular virus corona dan tidak mendapatkan penanganan terbaik.
Hentikan dulu kebodohan orang-orang berpengaruh di sepak bola ini. Virus corona sudah menjadi pandemi. Pengaruhnya global dan belum bisa dikendalikan.
BACA JUGA Pandemi Virus Corona di Antara Juventus dan Kekalahan Liverpool atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.