MOJOK.CO – Hingga pekan ke-8 Liga 1, sudah ada beberapa klub yang perlu mengiris dana operasional hingga ratusan juta demi membayar denda. Berikut uraian singkat untuk memahami denda Liga 1 yang merepotkan itu.
Jumlahnya yang cukup besar membuat tudingan miring dialamatkan kepada PSSI dan PT. LIB. Keduanya dianggap memanfaatkan denda Liga 1 untuk mendapatkan keuntungan semata.
Sebuah klaim yang tentunya bernada sangat keras. Pertanyaannya, benarkah demikian? Benarkah dengan Liga 1 memang alat mengumpulkan uang semata? Untuk mencoba menjawabnya, pembaca Mojok yang baik perlu memahami terlebih dahulu seluk-beluk denda Liga 1 yang merepotkan banyak klub ini.
Mojok Institute menyusun data ini dari hasil wawancara dan studi pustaka. Kajian pendek ini diharapkan bisa memberi alternatif literatur terkait denda Liga 1. Maklum, narasi yang banyak ditulis di media lain, lebih banyak, menyorot besarnya denda dan sebabnya. Belum banyak tulisan yang berusaha memberi jalan terang memahami denda Liga 1.
Denda Liga 1, antara PSSI dan PT. LIB
Untuk memahami alur denda Liga 1, langkah pertama adalah memahami siapa yang berhak menjatuhkan dan mengumpulkan denda tersebut. Terkait denda, pembaca juga perlu memahami posisi PSSI selalu pemilik perangkat liga dan PT. LIB yang bertindak selaku operator Liga 1. Begini gambarannya.
PSSI adalah sebuah organisasi (federasi) yang memiliki segala perangkat yang berhubungan dengan pertandingan. Mulai dari wasit, Komisi Disiplin, klub, dan segala aturan-aturan yang mengatur sepak bola Indonesia yang tertuang dalam Laws of the Game.
Namun, sebagai sebuah federasi, PSSI tidak boleh memutar roda kompetisi. Kerja PSSI hanya boleh sampai di tahap pembinaan dan mengatur kompetisi amatir saja. Oleh sebab itu, untuk menjalankan kompetisi profesional, PSSI perlu menggandeng operator khusus. Maka, sebuah bidding digelar.
Ada beberapa pihak yang mengikuti proses bidding ini. Mulai dari Mahaka hingga PT. LIB. Setelah proses seleksi, PSSI memutuskan menggandeng PT. LIB sebagai operator liga. Untuk memahami posisi dan kerja PT. LIB, analogi mudahnya seperti ini:
PSSI ibarat sebuah keluarga yang hendak menggelar hajatan kawinan. Sebagai “pihak keluarga”, PSSI punya perangkat yang dibutuhkan untuk hajatan itu. Mulai dari mempelai, penghulu, hingga tamu undangan. Nah, untuk mengurusi tamu undangan sekaligus menyelenggarakan hajatan, PSSI menggunakan jasa wedding organizer (WO) bernama PT. LIB.
Berbeda dengan hajatan kawinan biasanya di mana keluarga membayar jasa WO, untuk kasus Liga 1, “WO yang membayar keluarga yang punya hajat”. Jadi, WO membayar sejumlah uang untuk “menggunakan” mempelai, penghulu, dan para tamu undangan. WO sendiri mendapatkan keuntungan dari menjual “video pernikahan”, dalam hal ini hak siar pertandingan.
Sebagai WO, PT. LIB juga mendapatkan keuntungan dari sponsor yang ingin nama mereknya terpampang di video pernikahan tersebut. Tugas PT. LIB selanjutnya adalah menyediakan subsidi ke klub-klub di bawah PSSI yang terdaftar secara resmi untuk mengikuti liga. Setelah nilai penawaran disepakati, maka kontrak ditandatangani.
Sebagai operator liga, PT. LIB berhak menggunakan Laws of the Game yang disediakan oleh PSSI. Bahkan, PT. LIB juga berhak melakukan perubahan pada aturan-aturan yang disesuaikan dengan situasi dan kodisi. Maka, lahirlah regulasi liga. PSSI bertugas mengawasi penerapan regulasi yang sudah disepakati tersebut.
Jadi, kesimpulannya, PT. LIB bertugas membayar subsidi ke klub peserta liga, mengatur pembagian uang hak siar, menjalankan liga, dan membayarkan hadiah sesuai jumlah yang sudah ditetapkan. Sementara itu, PSSI yang menerima uang di awal bertugas mengawasi liga dan menerima uang denda (dan sanksi) yang ditetapkan oleh Komisi Disiplin.
LIB sendiri tentunya tak ingin rugi terkait pemasukan dari denda. Oleh sebab itu, mulai musim ini, PT. LIB juga berhak menerima uang denda dari beberapa pelanggaran yang sudah ditetapkan lewat regulasi yang baru. Pelanggaran yang dimaksud adalah jenis pelanggaran yang terjadi di luar pertandingan seperti tidak tersedianya mobil ambulans ketika latihan atau pertandingan, manajer tidak hadir di bangku pemain cadangan, pelatih tidak hadir ketika konferensi press, dan lain sebagainya.
Subsidi yang disediakan oleh PT. LIB, konon jumlahnya mencapai 7.5 miliar rupiah. Terkait subsidi, masih banyak yang salah mengartikan bahwa denda yang diterima oleh klub LANGSUNG dipotongkan dari subsidi. Padahal, sebenarnya tidak begitu. Denda Liga 1 benar-benar ditanggung oleh klub, di mana dananya diambil dari dana operasional bukan subsidi.
Perlu diketahui, sebuah klub memang bisa menggunakan dana subsidi untuk membayar denda. Namun, tidak semua klub melakukannya. Ada klub yang memaksimalkan pemasukan dari tiket pertandingan. Tentu, tidak semua klub bisa melakukannya karena nominal pemasukan tiket berbeda satu dengan lainnya.
Pun, setiap klub punya kebijakan masing-masing terkait denda. Misalnya, Bali United mengharuskan pemain membayar denda sendiri untuk pelanggaran individu seperti memukul wasit.
Mengapa begitu? Karena yang memberikan subsidi adalah PT. LIB. Sementara itu, yang berhak menentukan nominal denda adalah PSSI lewat putusan Komisi Disiplin (komdis). Nah, jika sudah begitu, apakah PSSI menggunakan denda untuk menambah pundi-pundi kasnya? Ya betul. Denda digunakan PSSI untuk pembenahan sepak bola Indonesia.
Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria mengungkapkan bahwa denda yang masuk akan digunakan untuk mendukung jalannya program-program PSSI. Saat ini, PSSI sedang dalam tahap menuju kemandirian.
Ragam denda Liga 1
Nah, setelah mengetahui asal denda liga 1, siapa yang berhak menjatuhkan, dan ke mana uang tersebut mengalir, pembaca juga perlu mengetahui ragam denda yang diderita peserta Liga 1.
“Tahun lalu (2017), Persib Bandung diharuskan membayar total denda lebih dari 1 miliar untuk pembayaran denda ke Komdis PSSI, dan rata-rata denda itu terkait pasal Tanggung Jawab Klub Terhadap Perilaku Suporter,” kata Fajar Rahman, Digital Content Manager Persib. Totalnya secara angka, denda yang diderita Persib mencapai Rp1,025,000,000. Atau satu miliar lebih satu Vespa matik.
Jika dirata-rata, 80 persen denda tersebut merupakan tanggungan klub akibat ulah suporter. Sekali lagi, akibat ulah suporter. Mulai dari menyalakan flare, pelemparan botol, invasi ke dalam lapangan, membandel menggunakan atribut ketika masa hukuman, pemukulan, melemparkan smoke bomb, tetap hadir ke stadion ketika mendapat hukuman tanpa penonton, pengerusakan, dan lain sebagainya.
Ngomong-ngomong, denda di atas belum mencakup denda kedisiplinan pemain, seperi misalnya hukuman kartu kuning dan kartu merah. Uang denda tersebut ditransfer secara langsung ke rekening PSSI.
Oleh sebab itu, mengingat 80 persen denda berasal dari ulah suporter, ada baiknya kamu-kamu semua yang suka menonton langsung ke stadion untuk belajar menahan diri. Ketika tangan kananmu sudah hendak melempar botol, ingat kembali bahwa klub yang akan menanggung biaya atas tindakan bodohmu. Gantilah botol itu dengan senyuman. Lebih sejuk.
Atau jika emosi sudah tidak bisa dikontrol, lebih baik memaki saja. Contoh makian yang elegan dan artisktik ada banyak. Misalnya: “Bodoh dipiara, kambing dipiara bisa gemuk!”, “Dasar IQ Jongkok”, atau “Dasar Monyet Bau, Kadal Bintit, Kecoak Bunting, Muka Gepeng, Babi Ngepet, Dinosaurus, Brontosaurus, CIH!”.
Niscaya, makian-makian tersebut masih tidak kena denda dan menularkan kelucuan. Membuat orang lain tertawa itu berkah. Itu!