[MOJOK.CO] “Bersama Barcelona, Bayern Munchen, dan saat ini Manchester City, Pep Guardiola (hampir) selalu mendominasi. Apa rahasianya?”
Unggul 16 poin dari Manchester United di peringkat kedua setelah mengalahkan Arsenal, tim yang nampaknya sudah masuk kategori amatir, Manchester City semakin sukar dikejar lawan-lawannya. Sungguh sulit membayangkan City tumbang setidaknya empat kali di sisa musim ini. Tak terkecuali ketika menjamu Chelsea di Etihad Stadium pada hari Minggu (4/3) nanti.
Di musim keduanya menukangi The Citizens, Pep Guardiola secara telak mampu mendominasi Liga Primer Inggris. Seperti yang sudah-sudah, manajer asal Spanyol tersebut (hampir) selalu bisa mendominasi liga bersama tim yang ia tukangi. Mulai dari Barcelona, Bayern Munchen, dan tentu saja, Manchester City.
Pertanyaannya adalah bagaimana bisa? Mengapa? Mojok Institute melakukan penelusuran. Setidaknya ada lima alasan mendasar yang membuat Guardiola menjadi sangat sulit ditandingi.
1. Kepercayaan penuh dari manajemen
Kepercayaan adalah salah aspek esensial di sepak bola, terutama ketika Anda mendapatkan mandat melatih salah satu keluatan besar di dunia, Barcelona. Dan dari sinilah, Pep Guardiola selalu mendapatkan kuasa penuh dari setiap manajemen klub tempat ia melatih.
Saat itu, kandidat kuat pelatih anyar Barcelona mengerucut kepada dua nama, yaitu Jose Mourinho dan Pep Guardiola. Mourinho sukses besar ketika ia menukangi FC Porto. Mou membawa Porto meraih gelar Liga Champions ketika menyandang status kuda hitam. Sementara itu, Guardiola “hanya sukses” bersama Barcelona B di liga kasta kedua. Melihat rekam jejak saat itu, Curriculum Vitae Guardiola jelas kalah harum.
Namun, manajemen Barcelona pada akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Guardiola. Kenapa? Karena ketika bertatap muka dengan Mourinho, manajemen Barcelona tak mendapatkan impresi yang kuat. Mourinho banyak menggunakan kata “aku”, sedangkan Guardiola memilih kata “kita” untuk menggambarkan visi dan misinya.
Kesuksesan di mata Guardiola adalah kesuksesan yang menyeluruh, berkembang bersama. Sementara di mata Mourinho, kesuksesan adalah semata pengakuan. Tak ada yang salah dari pandangan dua pelatih elite tersebut. Namun bagi Barcelona, sesuai kalimat sakti mereka “lebih dari sebuah klub”, Guardiola adalah pilihan yang ideal.
Dari situ, kedua tangan Guardiola penuh ada di kemudi Barcelona, dan setiap klub yang ia tukangi. Guardiola membuktikan janjinya. Klub yang ia latih selalu naik satu level, menunjukkan cara bermain yang tak hanya modern, namun juga begitu efektif. Enam gelar dalam satu tahun adalah pencapaian tertinggi Guardiola bagi Barcelona.
Prestasi yang membuat semua manajemen bisa tidur nyenyak di setiap malam lantaran tahu bahwa klub mereka sudah berada di tangan yang tepat.
2. Punya nyali besar
Melatih tim besar, dengan dana operasional yang juga besar membutuhkan nyali yang tak kalah besar. Salah satunya adalah ketika Pep Guardiola harus berani memangkas pemain-pemain yang tak sesuai dengan visi dan idenya.
Dahulu, Yaya Toure, Seydou Keita, bahkan Ronaldinho di Barcelona pernah merasakan pancaran hati Guardiola yang bisa sedingin es. Toure, Keita, dan Alexis ia tendang lantaran sudah tak sesuai dengan ide besar Guardiola.
Demi mengakomodasi Sergio Busquets, Toure dan Keita dijual. Ronaldinho, yang tak bisa mengontrol berat badan dan terlalu sering berpesta di klub malam, dijual ke AC Milan. Dan yang paling epik adalah ketika Guardiola juga memangkas Zlatan Ibrahimovic yang dirasa tak cocok dengan cara bermain Barcelona, dan terutama, di hati Guardiola.
Keempat pemain di atas adalah pemain dengan kaliber besar. Mereka para bintang yang dari segi teknis, jelas dibutuhkan Barcelona.
Namun, meski bisa bersikap sangat kejam, Guardiola juga bisa menunjukkan perhatian sehangat “bapak kandung yang baik hati”. Ia sangat telaten membantu perkembangan Lionel Messi, hingga memberi kesempatan Pedro Rodriguez untuk mentas bersama tim utama.
Ketika melatih Bayern Munchen, Guardiola membantu Joshua Kimmich menemukan posisi ideal untuk mengeluarkan kemampuan terbaik. Saat dipercaya melatih Manchester City, pemain-pemain seperti Raheem Sterling dan Fabian Delph yang diremehkan, disulap menjadi pemain penting.
Jangan lupakan juga keberanian Pep Guardiola menaikkan kelas Phil Folden dan Oleksandr Zinchenko, dua pemain muda dari akademi City. Perlu penegasan di sini bahwa sebelumnya, City sangat kental dengan membeli pemain dan melupakan pemain-pemain akademinya. Di tangan Guardiola, semuanya menjadi lebih seimbang.
3. Cara bermain yang menginspirasi, bahkan merevolusi
Praktis, Pep Guardiola hampir selalu satu langkah di depan para kompetitornya. Sebuah kondisi yang mengizinkan setiap klub yang latih hampir selalu mendominasi.
Jika dahulu Arsenal punya Arsene Wenger yang merevolusi cara bermain, Barcelona, Bayern, dan City merasakannya pengalaman yang sama ketika dilatih Guardiola. Boleh dikata, Pep Guardiola adalah murid terbaik Johan Cruyff. Dari legenda Belanda tersebut, Guardiola menyerap banyak ilmu. Salah satu yang ia pegang teguh ketika melatih adalah soal eksploitasi ruang dan waktu.
Ilmu yang ia populerkan disebut juego de posicion (JdP) atau dalam Bahasa Inggris disebut positional play. Salah satu rumus JdP adalah mengeksploitasi (memenuhinya dengan pemain – numerical superioriy) satu sisi lapangan lalu memindahkan bola ke sisi lainnya dalam sekejap sehingga pemain di sisi lain lapangan akan terbebas dari kawalan lawan.
Meski terlihat mudah ketika dinarasikan di dalam artikel, penerapan JdP sangat kompleks. Sebuah klub yang mempraktikan JdP harus fasih dalam hal penguasaan bola dan menerapkan pressing yang berkelanjutan. Salah satu cara untuk mencapai dua hal tersebut adalah bermain dengan dengan garis pertahan tinggi dan mengandalkan umpan-umpan pendek cepat untuk menggerakkan blok pertahanan lawan.
Umpan-umpan pendek cepat, oleh jurnalis, disebut “tiki-taka”, sebuah istilah yang bahkan dibenci oleh Guardiola sendiri. Maka perlu diingat, tiki-taka bukanlah taktik, melainkan sebatas ekspresi dari perpindahan bola dari kaki ke kaki yang cepat (tik dan tak). Sebuah istilah yang secara kacau digunakan oleh pundit-pundit di Indonesia (bahkan dunia) untuk menggambarkan sebuah taktik.
Ide bermain dari Guardiola ini menginspirasi banyak pelatih muda. Mulai dari Brendan Rodgers ketika melatih Swansea City, Eddie Howe pelatih Bournemouth, Julian Negelsmann pelatih muda potensial dari Hoffenheim, bahkan Tite pelatih timnas Brasil. Pada titik tertentu, Guardiola sudah menjadi guru bagi para pelatih visioner yang akan mengubah wajah sepak bola di masa depan.
4. Niat untuk selalu belajar
Inilah kunci keberhasilan pelatih, yaitu niat untuk belajar demi perkembangan kualitas diri. Pep Guardiola adalah seorang “murid” yang tekun.
Ketika hendak mendapatkan mandat melatih tim utama Barcelona, Guardiola menempuh lebih dari 11 jam demi “perjalanan ziarah” menuju Argentina untuk bertemu dengan Marcelo Bielsa. Pelatih yang mendapat julukan el loco atau si gila ini adalah pelatih terbaik di dunia di mata Guardiola. Konon, diskusi kedua memakan waktu semalam suntuk. Guardiola belajar kembali dasar-dasar melatih sepak bola dari Bielsa.
Namun, yang membantuk filosofi Guardiola sendiri adalah pengalaman belajarnya di bawah asuhan Juanma Lillo.
Saya bertaruh, tak banyak pembaca Mojok yang kenal dengan nama Juanma Lillo, sosok pelatih tak terkenal yang disebut Guardiola sebagai salah satu pelatih terbaik di dunia bersanding dengan Bielsa dan Arsene Wenger. Ya, Anda tak salah baca. Guardiola mengagumi dan “mengkopi” filosofi Wenger.
Di penghujung kariernya sebagai pesepak bola, Guardiola bermain selama lima bulan untuk Dorados de Sinaloa, di bawah asuhan Juanma Lillo, di Liga Meksiko. Lillo banyak mengajarkan Guardiola tentang pentingnya pemosisian pemain.
Sebuah dasar yang membantu Guardiola menerapkan ide besarnya, yaitu menggerakkan semua pemain untuk satu tujuan, yaitu mencetak gol. Guardiola ingin semua pemain terlibat, mulai dari kiper, hingga striker, semuanya menyentuh bola dan terlibat. Dasar yang juga menjadi dinamo JdP seperti yang dijelaskan di atas.
Tak hanya dari pelatih senior, Guardiola juga belajar dari pemain. Ketika melatih Bayern, secara terbuka, Guardiola mengakui bahwa dirinya bisa belajar banyak dari Philipp Lahm. Guardiola menyebut Lahm sebagai pesepak bola paling cerdas yang pernah ia latih.
Niat belajar yang tak berkesudahan adalah modal besar untuk selalu menaikkan batasan diri. Ketika berhenti belajar, Anda bisa melihat akibatnya lewat performa Arsenal 10 tahun terakhir.
5. Sebenarnya Pep Guardiola hanya beruntung saja
Pada akhirnya, Pep Guardiola hanya beruntung saja. Karier kepelatihannya mentereng, dari Barcelona, Bayern Munchen, lalu Manchester City. Coba bayangkan jika ia melatih Salernitana atau Racing Santander. Mau juara Liga Champions? Terhindar dari degradasi pun bisa-bisa kesulitan.
**
Berkaca dari lima alasan di atas, Pep Guardiola bersama Manchester City masih terlalu sulit untuk dijinakkan Chelsea di akhir minggu nanti.
Prediksi Mojok Institute? Manchester City 3-1 Chelsea!