Bung Tomo, begitu kita sering menyebut tokoh pahlawan yang bernama asli Sutomo ini. Ia lahir di Surabaya, 3 Oktober 1920, dan sangat terkenal karena perannya dalam membangkitkan semangat rakyat untuk melawan kembalinya penjajah Belanda. Perjuangan ini berakhir dengan pertempuran 10 November 1945, yang hingga saat ini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Walau tidak menyelesaikan pendidikan formalnya, Bung Tomo bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) pada tahun 1937. Di sini, ia seolah mendapatkan pendidikan pengganti pendidikan formal. Ia pun memperoleh kesadaran nasionalisme dan perjuangan dari kegiatan kepanduan ini. Selain aktif di kepanduan, ia juga terlibat dalam dunia tulis menulis.
Dalam dunia tulis menulis, ia pernah menjadi jurnalis lepas Harian Soeara Oemoem, redaktur mingguan Pembela Rakyat, jurnalis dan penulis pojok harian berbahasa Jawa, Ekspres. Tak hanya itu, ia juga bekerja di kantor berita Antara.
Bung Tomo tumbuh menjadi sosok yang punya karakter dapat berbicara dengan terus terang, penuh semangat, serta senang bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Ia bukanlah pemuda yang hanya bermodal nekat, namun seorang yang menggunakan otak. Sebagai pemuda yang pernah sebentar mengenyam bangku sekolah kolonial, ia mengenal teknologi bernama radio. Maka, lewat mikropon dan pancaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), tersiarlah pidato-pidatonya yang penuh emosi dan menjaga semangat arek-arek Suroboyo.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bung Tomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata, Menteri Sosial Ad Interim, serta sebagai anggota DPR. Kariernya di kancah perpolitikan Indonesia timbul tenggelam. Terkadang ia mesra dengan penguasa, namun kadang bersebrangan. Karena merasa tidak bahagia, ia pun menghilang dari panggung politik.
Awal tahun 1970, ia kembali dan memiliki pandangan yang berbeda dengan pemerintahan Orde Baru. Ia berbicara keras mengenai program-program yang dijalankan oleh Soeharto. Pada akhirnya, ia dipenjara karena Pemerintah Indonesia khawatir dengan kritik-kritik kerasnya tersebut. Setahun kemudian, ia dilepaskan. Walau semangatnya tidak hancur, Bung Tomo nampak tidak lagi berminat untuk bersikap vokal. Ia lebih berkonsentrasi untuk keluarga dan anak-anaknya, serta berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikan.