MOJOK.CO – “DPR was an Impostor.” Begitu tudingan dari pemain gim Among Us ketika tahu wakil mereka di Senayan sahkan UU Cipta Kerja.
Karena semua pada marah ke anggota DPR, saya jadi ingat masa pertama kali ikutan nyoblos. Waktu itu, saya bela-belain searching nama calon legislatif (caleg) satu per satu di Google pas hari H. Semata-mata karena sulit mencari nama caleg di internet (terutama untuk caleg di daerah).
Kelakuan saya ini sampai dikatain terlalu rajin alias buang-buang waktu oleh teman-teman saya. Ya maklum, kek biasa, kebanyakan teman-teman saya memilih calon anggota DPR yang paling good looking dan keren namanya.
Tentu saja, saya bukan bermaksud menyoroti pengaruh muka dan keren-kerenan nama terhadap elektabilitas caleg. Walaupun, pada kasus di daerah saya, hal demikian memang kerap terjadi saban pemilihan umum.
Sejak pengalaman pertama saya nyoblos itu, saya terus-terusan mencari bentuk ilustrasi pemilihan legislatif yang ideal. Sampai belakangan, gim Among Us jadi trending di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dan saya merasa gim ini cukup cocok mewakili keresahan saya akan anggota legislatif yang duduk di Senayan sana.
Buat kamu yang belum tahu, gim Among Us secara sederhana memiliki konsep serupa dengan permainan Werewolf, di mana ada 1-3 pemain berperan sebagai “Impostor” (antagonis) di antara 4-10 “Crewmate” (protagonis) dalam satu babak permainan.
Ceritanya, ada 10 astronot yang terjebak di pesawat luar angkasa (ada latar di planet asing juga sih). Nah, pesawat mereka kebetulan rusak, dan mereka harus segera memperbaiki pesawat itu.
Masalahnya ada 1-3 astronot yang merupakan pengkhianat dengan label “Impostor” di antara 10 astronot itu. Nah, tugas Impostor ini adalah melakukan sabotase dan menusuk astronot yang lain sembari tebar fitnah sana-sini agar tidak ketahuan sebagai pengkhianat.
Buat orang awam, Among Us adalah gim buat panen dosa. Terkadang, pemain seenaknya menuduh orang sebagai Impostor tanpa bukti yang jelas. Tidak heran, ada sebuah semboyan nasional di gim ini, “Fitnah aja terus, dosa ditanggung developer!”
Melihat tebaran fitnah yang menjamur di Among Us saya jadi menyadari betapa jahatnya dunia politik betulan. Di gim begini saja masyarakat awam bisa begitu jahat menusuk rekannya, apalagi di Senayan.
Dalam dunia politik, konon ada kredo bahwa jangan percaya siapapun, karena politik tidak mengenal kawan dan lawan abadi. Hal semacam ini juga terjadi di Among Us, tak ada kawan dan lawan abadi di sini.
Masalahnya, suara mayoritas (baca: jatah kursi) merupakan kekuatan yang paling besar pengaruhnya dalam setiap keputusan di Senayan, terutama soal UU baru yang bisa sah atau tidak.
Celakanya lagi, RUU Cipta Kerja yang lagi ramai ini diusulkan oleh pihak yang punya kekuatan mayoritas. Jadi, mau fraksi lain (kayak Demokrat dan PKS) melawan sekuat tenaga juga percuma. Mereka kalah kursi.
Dalam kepentingan UU Cipta Kerja, Demokrat dan PKS mungkin jadi pihak yang berpihak ke masyarakat umum sekarang ini, tapi untuk pembahasan UU yang lain, dua fraksi ini bisa jadi berseberangan. Artinya, perwakilan kepentingan ini juga soal strategi, bukan lahir karena keinginan murni ingin mengadvokasi.
Realitas semacam ini sebenarnya juga digambarkan dengan implisit di gim Among Us. Ada sistem voting dalam gim Among Us untuk menentukan siapa sosok yang harus dibuang dari pesawat luar angkasa. Sosok yang dicurigai sebagai pengkhianat.
Impostor bisa saja bercuap-cuap mengatakan kalau ia bukan pengkhianat pada satu babak permainan, tapi masalahnya di permainan berikutnya bisa saja yang bersangkutan jadi astronot biasa.
Akibatnya, semua orang bisa saling curiga. Karena semua orang pernah punya pengalaman jadi pengkhianat, itu yang membuat gim ini luar biasa berisik. Sebab, kemampuan jual janji, silat lidah, dan mengumbar sumpah adalah kualifikasi utama yang dibutuhkan kalau kamu mau main gim ini.
Dalam satu kasus jadi orang baik, di kasus yang lain jadi orang jahat. Tidak hanya di Among Us, tapi juga di alam politik. Semua tidak pasti, serba-abu-abu. Tergantung pada posisi kepentingan masing-masing “player” di Senayan.
Dari Among Us pula, kita bisa juga belajar bagaimana stereotip warna itu tidak akurat sama sekali. Stereotip yang beredar di Among Us adalah mereka yang berwarna merah, oranye, atau hitam sering jadi pengkhianat. Sementara warna selain itu bersih.
Nyatanya, saya sering juga dibunuh Impostor berwarna putih selama bermain. Warna tidak bisa jadi patokan. Sama seperti warna partai yang tidak bisa jadi patokan. Apakah mereka konsisten membela kebutuhan rakyat banyak, itu semua masih tergantung dengan kepentingan dan “investor” di baliknya.
Di Senayan, warna merah sering lekat sebagai partainya wong cilik, warna kuning sering dilekatkan pada sisa-sisa citra Orba, warna ungu dikaitkan sebagai pemilik framing media, sampai warna hitam-emas yang dikaitkan dengan partai religius.
Toh, pada kenyataannya, partai warna merah yang dulu koar-koar suka belain wong cilik justru jadi yang paling vokal meloloskan UU untuk mengeksploitasi wong cilik. Benar-benar nggak ketebak. Don’t judge by the color pokoknya.
Itulah kenapa, Crewmate harus saling berbagi informasi dan kompak agar bisa mengatasi Impostor di antara mereka. Setiap informasi dan bukti harus ditelaah, bukan hanya karena soal stereotip akan warna atau karena ada orang yang sudah berani bersumpah di bawah kitab suci.
Hal yang sama ketika kita menilai anggota dewan di Senayan sana. Jangan mudah percaya begitu saja, tapi juga jangan tidak percaya sama sekali. Sebab, keterlibatan masyarakat dalam politik menandakan demokrasi yang sehat. Protes-protes di jalanan yang diakomodasi menandakan tirani tidak terjadi di negeri ini.
Jangan sampai karena merasa sakit hati, akhirnya jadi antipati lantas tidak mau terlibat sama sekali. Ini justru bahaya. Sebab, bukan tidak mungkin yang dikeluarkan dari pesawat berikutnya justru kamu sendiri. Dari dianggap musuh bersama, musuh negara, atau bahkan sampai dianggap sebagai musuh Pancasila.
Terakhir, kalau ada yang bilang “developer gim lah yang menanggung dosa fitnah pemain Among Us”, saya sih bisa bilang tidak sepenuhnya begitu dong.
Ini sama saja menuduh, kalau kelakuan wakil rakyat di Senayan yang berdosa, dosanya masak juga dibagi ke pemilihnya? Lah kok enak? Yang bikin salah siapa, kok yang kena yang milih?
Malah, saya ingin berterima kasih dengan gim lucknut ini karena telah memberi gambaran betapa ruwetnya dunia Senayan. Urusan sama 10 pemain aja susah betul, apalagi berurusan dengan 575 anggota DPR yang tidak jelas mana Impostor mana Crewmate. Lebih-lebih, kita tak punya kendali sama sekali atas “permainan” mereka.
Jika saja developer gim Among Us melihat realitas politik di Indonesia, saya ingin memberi saran kepada mereka. Tolong ganti kalimat “there is 1 Impostor among us” di awal permainan khusus untuk wilayah Indonesia.
Bukannya apa-apa, karena pada faktanya, sepanjang kami hidup di negeri oligarki ini, there are always Impostors among us.
BACA JUGA Alasan Mendukung Omnibus Law dan tulisan Vinito Rahmat Febriano lainnya.