Yang abadi adalah perubahan. Kalimat ini menjadi kunci untuk membaca salah satu naskah hukum tertua di Nusantara: Undang-Undang Tanjung Tanah.
Episode Jasmerah kali ini, Rendra mengajak kita melihat masa peralihan besar pulau Sumatra—ketika tradisi siwaistik dan buddhistik mulai bergeser dan islam perlahan masuk ke alam Melayu.
Cerita bermula pada tahun 2002, dimana pada saat itu manuskrip ini pertama kali diperhatikan serius oleh filolog Jerman, Dr. Ulrich Kozok, di wilayah Kerinci.
Naskah yang disimpan sebagai pusaka adat itu tampak sederhana, berbahan dasar deluang namun menyimpan arti besar.
Penelitian karbon pada 2003 menunjukkan usia naskah ini lebih dari 600 tahun, yang menjadikannya memiliki julukan kitab undang-undang melayu tertua yang pernah ditemukan.
Sebelumnya, pada 1941, sarjana Leiden Petrus Voorhoeve sudah mencatat keberadaan naskah serupa di Tanjung Tanah. Ia menyebut teks itu beraksara rencong dan Jawa Kuno, serta mengaitkannya dengan Dharmasraya—wilayah penting dalam sejarah Sumatera.
Dari sinilah kita bisa membaca bahwa Undang-Undang Tanjung Tanah bukan lahir di masa yang tenang, melainkan di tengah perubahan besar.
Menariknya, hukum dalam naskah ini sangat membumi. Ia mengatur berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari, seperti pencurian hingga lenggak dengan sanksi yang diberikan.
Namun hukum tidak hanya mengikat rakyat. Para pejabat dilarang bertindak sewenang-wenang karena hubungan penguasa dan warga diatur timbal balik, bukan hanya sepihak.
Dari undang-undang tanjung tanah, kita dapat melihat dan belajar bahwa gagasan keadilan telah hidup jauh sebelum negara modern lahir. Seperti di ingatkan di awal, perubahan memang abadi. Tetapi perubahan yang baik—sejak enam abad lau hingga hari ini—adalah perubahan yang menjaga rasa adil pada tubuh, masyarakat







