Selama ini, sepak bola kerap dilekatkan pada tubuh laki-laki. Ia dianggap keras, butuh kekuatan fisik, dan terlalu berisiko bagi anak Perempuan. Pandangan ini begitu lama beredar, hingga sering diterima sebagai kebenaran tanpa pernah benar-benar dipertanyakan.
Padahal, ia pada dasarnya adalah olahraga. Ia mengajarkan kerja sama, sportivitas dan ketangguhan mental yang tak mengenal jenis kelamin.
Pandangan semacam ini mulai runtuh ketika kita melihat praktiknya di lapangan. Pengalaman siswi SD Negeri 3 Imogiri Bantul menunjukkan hal itu dengan cukup jelas.
Anak-anak putri yang mengikuti Latihan dan dan kompetisi sepak bola tidak hanya belajar tentang Teknik, tetapi juga membangun kepercayaan diri. Mereka belajar focus, bertanggung jawab dan berani mengambil peran di lapangan.
Kekhawatiran orang tua soal cedera, akademik atau stigma sosial memang nyata. Namun SD Negeri 3 Imogiri dapat mengisi kekosongan orang tua itu. Mereka membuktikan bahwa sepak bola justru bisa menjadi ruang tumbuh yang sehat.
Olahraga tidak otomatis mengganggu belajar, ia justru berjalan berdampingan, selama keduanya ditempatkan secara proporsional.
Bagi SD Negeri 3 Imogiri membuka ruang untuk sepak bola putri sejak usia dini bukan sekedar piala atau prestasi. Ia adalah tempat yang memberi kesempatan kepada setiap Perempuan untuk terus beraksi.
Karena pada akhirnya, lapangan sepak bola bukan milik satu gender. Ia milik siapa pun yang ingin belajar, berproses, dan percaya bahwa kegagalan bukan akhir, melainkan sinyal untuk melangkah lebih jauh.









