Menanggapi peristiwa demonstrasi di pekan terakhir Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto tanpa teks di depan para wartawan mengeluarkan kembali sebuah diksi yang sekiranya sudah lama punah dalam kamus politik Indonesia kita tercinta ini. Kata itu adalah makar.
Kata makar biasanya ditujukan kepada mereka yang dianggap telah melukai aparat keamanan, membakar fasilitas umum, atau menyerang markas polisi. Dalam konstruksi politik Orde Baru maupun pascareformasi, istilah ini menjadi senjata ampuh untuk menempelkan stigma kepada siapa pun yang berseberangan dengan penguasa.
Kilas balik ke masa lalu, kita pernah menyaksikan momen paling dramatis pada pekan-pekan awal 1974. Kala itu, malapetaka Januari pada 15 Januari, ketika mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan, disusul dengan kerusuhan di kawasan Senen yang menargetkan markas Brimob serta kantor Gegana. Kata makar pun mulai menguat sebagai tuduhan politik.
Jejaknya tidak berhenti di sana. Dua dekade kemudian, menjelang akhir 1990-an, istilah yang sama kembali dipakai. Tahun 1998, dalam gelombang reformasi, tuduhan makar diarahkan pada mahasiswa yang melakukan demonstrasi menolak Sidang MPR di bulan November. Gerakan mereka dianggap upaya menggulingkan pemerintahan yang sah, yakni pemerintahan B.J. Habibie kala itu.
Dengan demikian, kata makar tidak pernah benar-benar hilang dari politik Indonesia. Dari Malari 1974, Kudatuli 1996, hingga Tragedi Semanggi 1998, istilah ini terus dipakai untuk memburu mahasiswa, aktivis, maupun lawan politik. Kini, di era Presiden Prabowo, kata itu kembali menggema.
Lewat episode Jasmerah kali ini, Muhidin M. Dahlan, dokumentator partikelir dan tukang kliping amatir Indonesia, mengajak kita membaca ulang sejarah panjang “makar” sebagai diksi politik: bagaimana ia dipakai untuk membungkam, menakut-nakuti, sekaligus membentuk narasi penguasa.






