“Kenapa saya mau-mau aja ya masuk di jurusan ini?” Pertanyaan seperti ini setidaknya akan muncul satu kali dalam kehidupan seseorang yang merasa salah jurusan. Apalagi ketika mata kuliahnya sangat sulit dipahami karena tidak sesuai dengan minat.
“Lalu kenapa tetap memilih jurusan ini?” Saya sebagai mahasiswa yang bisa dikatakan salah jurusan akan merespon pertanyaan itu dengan jawaban “manut orang tua”. Belakangan saya tahu bahwa saya tidak sendiri. Banyak teman-teman yang merasa salah jurusan karena menuruti keinginan orang tuanya.
Beberapa memang tidak ada pilihan lain selain bertahan. Apalagi tidak semua mahasiswa yang salah jurusan adalah orang berduit yang bisa pindah-pindah seenak jidat. Beberapa memang sudah pasrah demi kesenangan orang tuanya.
Masih banyak orang tua yang menyekolahkan anak-anak sesuai dengan keinginan bukan minat dan bakat dari anak menunjukkan adanya masalah pola asuh di banyak keluarga di Indonesia. Obrolan antara anak-dan orang tua masih berujung pada sikap pemaksaan yang dikemas dalam pepatah “berbakti terhadap orang tua.”
Dua sisi
Melihat fenomena salah jurusan yang berujung pada sambat-sambatan di media sosial, saya teringat pada nasehat seseorang. Ia berkata “kalau ada keinginan, bicarakan dengan orang tua sampai dapat izin dan ridhonya, berapa kali pun, usahakan dulu dan kalau memang tidak diizinkan, pilih sesuai dengan keinginan orang tua. Karena pilihanmu belum tentu baik, tapi manut dengan orang tua sudah pasti baik.”
Nasihat ini menjadi penengah bagi saya yang dulu ingin mengambil jurusan sastra tetapi berakhir pada jurusan tafsir. Saya berjuang selama kurang lebih satu tahun meluluhkan hati orang tua untuk kuliah dengan pilihan saya sendiri. Tapi, berakhir pada pilihan orang tua yang mungkin memang takdirnya. Ada saja kendala saat mau registrasi, pembayaran dan lain-lain. Sebel, tapi tetap saya jalani dengan senyuman.
Perihal tentang pilihan. Orang tua tidak salah dan anak pun tidak salah. Perbedaan zaman menjadi salah satu tembok yang membedakan pemikiran kedua pihak. Seperti hermeneutika Gadamer yang menyatakan bahwa antara penulis dan pembaca memiliki horizon yang berbeda. Keduanya akan memiliki kebenarannya masing-masing. Duh, kok malah ke hermeneutika. Ya pokoknya gitulah. Semangat.
Tiyas Rindah Khofifah
Rembang,
[email protected]