Pertanyaan “kapan nikah?” atau “kapan punya anak?” mungkin hanya pertanyaan basa-basi bagi yang mengajukannya. Namun, pernahkan kalian terpikirkan bahwa pertanyaan itu bisa diartikan lebih bagi yang ditanyai.
Saya meyakini rezeki, jodoh, dan maut adalah urusan Tuhan yang Maha Kuasa. Sebagai manusia biasa, tidak perlu lah repot-repot ikut mengurusnya juga. Jadi, tolong stop melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Sebelum menikah, saat usia saya belum genap 25 tahun, pertanyaan semacam itu kerap kali dilontarkan dari orang sekitar. Mungkin bagi mereka, perempuan di atas 20 tahun dan masih jomblo itu sebuah kelainan. Padahal saya yang menjalaninya nyaman dan merasa wajar saja.
Pada saat itu saya merasa masih muda dan ingin menikmatinya dengan mengejar mimpi dan cita-cita. Namun mau tidak mau, semua itu harus saya kubur karena tekanan pertanyaan “kapan menikah” yang menyerang orang tua saya. Akhirnya saya menikah karena pertimbangan usia, bukan hal-hal lain.
Tak pernah berhenti
Setelah menikah, serangan pertanyaan ternyata tidak kunjung berhenti. Saya kembali diburu pertanyaan “kapan memiliki anak?” karena tidak kunjung diberi keturunan hingga usia pernikahan menyentuh angka satu tahun.
Hampir setiap orang yang saya temui melontarkan pertanyaan itu. Kebanyakan pertanyaan itu berasal dari orang tua. Padahal menurut saya, mereka seharusnya lebih paham kalau kehamilan itu bukan sepenuhnya usaha manusia. Ada campur tangan yang Maha Kuasa untuk meniupkan roh kepada jabang bayi.
Jujur, hati ini sakit setiap kali mendengar pertanyaan itu. Apalagi beberapa orang mengira saya tidak bisa memiliki anak. Bingung bagaimana harus menjawabnya karena dalam lubuk hati ini sebenarnya sangat menginginkannya, tapi tidak bisa berbuat apa-apa selain berusaha. Puji Syukur, setelah mencoba berbagai macam cara termasuk program alternatif hingga pijak alternatif, seorang anak dipercayakan pada usia pernikahan ke-2 tahun.
Stop lontarkan pertanyaan
Belum selesai sampai di situ. Pernikahan saya kandas setelah memiliki seorang putra. Salah satu penyebabnya, mungkin karena keputusan menikah yang terburu-buru. Kami belum saling memahami sifat masing-masing, sehingga timbul ketidakcocokan yang tak dapat dipersatukan lagi. Siapa yang jadi korban di sini? Ya anak kami. Bukan mereka yang dulu terus menekan dengan pertanyaan “kapan nikah?”
Cerita yang mirip terulang ke adik perempuan saya. Ia juga menikah setelah diserang pertanyaan “kapan menikah?” ketika usianya memasuki 25 tahun. Sama seperti saya, pertanyaan yang menyerang setelahnya adalah “kapan punya anak?” padahal pernikahannya baru berjalan tiga bulan.
Menerima pertanyaan yang sama hampir setiap hari membuatnya tertekan. Setiap pulang kerja dia menangis. Adik saya mempertanyakan kenapa setiap orang harus menanyakan hal yang sama, bahkan untuk sekedar basa-basi? Sebegitu hinakah orang belum menikah dan tidak kunjung hamil?
Tolong stop melontarkan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Kalian cukup mendoakan agar mereka yang belum menikah agar mendapat jodohnya. Begitu juga dengan mereka yang sudah menikah tapi belum hamil, doakan saja agar segera menjadi orang tua.
Siti Nurlaela
Grand Cendana Residence No.507 Kab. Bandung
[email protected]
Keluh kesah dan tanggapan Uneg-uneg bisa dikirim di sini