Ini uneg-uneg saya soal tempat wudu bagi perempuan di tempat umum. Bicara tentang uneg-uneg selalu saja terbesit kegelisahan di dalamnya. Sebenarnya apa yang ingin saya tuliskan di sini belum pernah berani saya keluarkan menjadi topik tongkrongan atau sekedar celetuk berkeluh kesah dengan teman.
Alasannya sepele, saya tidak mau hanya sekadar membagi kegelisahan. Kesimpulan pertama, uneg uneg yang saya tulis disini barangkali tidak hanya menjadi wacana yang butuh tempat pembuangan, saya rasa ini butuh perhatian.
Saya ingat betul, kapan pertama kali saya memikirkan hal ini, “kenapa masih banyak tempat umum yang menyediakan tempat wudhu terbuka bagi perempuan?”
Tepatnya, beberapa tahun lalu di event bazar buku terbesar di Jogja, tidak perlu saya sebutkan tempatnya. Waktu itu saya pergi dengan teman-teman untuk membeli buku. Seperti biasa, memilih bagi perempuan seringkali menjadi bagian tersulit.
Saya datang sejak pukul sembilan pagi dan baru keluar bazar sekitar jam dua siang, dengan dua buku yang saya pilih berjam-jam dan tidak saya khatamkan sampai sekarang.
Mengingat waktu yang cukup menjadi akhir waktu salat zuhur, saya dan teman-teman bersegera mencari musala di tempat bazar tersebut. Setelah beberapa menit mencari, saya menemukan kerumunan orang yang sepertinya memiliki hajat yang sama seperti saya, salat zuhur.
Tapi malangnya, tempat wudu yang disediakan sangat terbuka. Hal ini membuat saya melihat kebanyakan perempuan di sana seperti memiliki kegelisahan memikirkan cara agar auratnya tetap terjaga saat wudu.
Kejadian itu sempat memunculkan ide di otak saya untuk menulis sebuah esai tentang hal ini. Tapi, esai itu tidak pernah jadi. Barangkali sekarang, fitur Mojok ini menjadi wasilah dalam mewujudkan keinginan saya membahas hal ini.
Sebenarnya tak hanya itu, seringkali saya temukan tempat nongkrong atau cafe yang menyediakan musala alakadarnya, tempat wudu yang sangat terbuka padahal dihias sedemikian rupa. Menjagat ata letak ruang dan keindahan seolah menjadi hal terpenting dibanding menjaga fungsi dari didirikannya ruang tersebut.
Sebenarnya hal ini masih bisa menemukan solusi, cukup bagu perempuan yang sulit untuk wudu di tempat terbuka agar wudu di kamar mandi, tapi perlu di garis bawahi, di era sekarang ini banyak tempat umum yang menyediakan kamar mandi dengan wc duduk dan seperangkat keran airnya yang saya rasa cukup sulit diberdayakan untuk berwudu.
Mirisnya lagi, pernah saya temui tempat wudu di sebuah swalayan yang sama sekali tidak membatasi ruang wudu antar laki-laki dan perempuan.
Bukan soal tidak bersyukur, barangkali ada yang berpikir “mending-mending disediakan tempat wudu dan salat, daripada tidak sama sekali?” Tapi saya rasa hal ini perlu menjadi perhatian. Fungsi dari tempat wudu dan salat perlu dipukul ratakan, tidak hanya sekadar menyediakan. Toh, saya pikir dari kebanyakan tempat yang saya temukan masih bisa “diakal-akali” untuk menjadi tempat yang tertutup dan ramah bagi perempuan.”
Clara Satria Krapyak, Bantul
[email protected]