Saya adalah seorang ibu rumah tangga lulusan Sarjana Keperawatan dengan satu orang anak. Kebetulan menjalani hubungan rumah tangga jarak jauh dengan suami. Saya di Indonesia sedangkan suami berkerja di Qatar.
Setelah lulus kuliah dulu saya pernah bekerja di salah satu Puskesmas. Akan tetapi menggunakan sistem kontrak dan setelah kontrak selesai tidak ada perpanjangan. Seperti rutinitas ibu rumah tangga pada umumnya. Kegiatan sehari-hari tak lepas dari bersih-bersih rumah, mencuci, masak dan tentunya mengurus anak yang kini sudah berusia dua tahun.
Sebagai ibu rumah tangga tunggal yang suaminya bekerja jauh, tentunya membuat saya harus merelakan untuk tidak bekerja demi mengurus anak. Walaupun sebenarnya hasrat hati ingin seperti teman-teman yang lain menjadi wanita karier dan itu cukup membuat saya iri. Ya, iri dengan pecapaian teman-teman, sementara saya masih begini-begini saja.
Tidak berakhir di situ, beban di hati semakin bertambah karena saya tinggal di desa yang orang-orangnya sangat kritis dengan keadaan sekitar. Dan akhirnya saya pun jadi bahan gunjingan para tetangga.
“Apa tidak sayang, sudah kuliah mahal-mahal tapi cuma ngurus anak dirumah,” itu salah satu contoh kalimat yang saya dengar dari mulut tetangga.
Ada lagi yang bilang, “Kakak-kakaknya yang kuliah bisa kerja kok adiknya cuma terima ngurus anak di rumah.” Kebetulan saya tiga bersaudara dan sarjana semua, hanya saya sendiri yang tidak bekerja.
“Kalau ujung-ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga, kenapa dulu kuliah, buang-buang uang.”
“Lulusan sarjana kok di rumah, emangnya gak masukin lamaran kerja.”
Mungkin pembaca ada yang bertanya, “Emangnya nggak bisa gitu anaknya dititipin neneknya atau pembantu?”
Baca halaman selanjutnya…
Saya ibu rumah tangga yang pilih temani anak daripada menitipkannya