Timnas Israel dipastikan lolos Piala Dunia U-20 setelah Serbia gagal mengkudeta posisi kedua Grup B Piala Eropa U-19 pasca menelan kekalahan 2-3 atas pemuda-pemuda Austria. Hasil ini memang terdengar biasa-biasa, sampai kita sadar, bahwa Piala Dunia U-20 diselenggarakan di Indonesia. Yap, tim asuhan Ofir Haim tersebut akan melawat ke tanah air pada untuk hajat olahraga 20 Mei hingga 11 Juni 2023 mendatang.
Menurut saya, ini adalah masalah yang cukup serius. Apalagi, topik bahasan soal Israel dan Palestina merupakan bahasan yang sangat sensitif bagi publik +62. Bukannya apa, sejarah, dan sikap publik selama ini selalu miring ke Palestina. Pemerintah Israel telah menginjak-nginjak filosofi bangsa kita dengan mempersekusi Palestina 24/7. “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”
Namun, lewat tulisan ini saya tidak bermaksud untuk membahas soal konflik itu, tapi lebih ke arah kesiapan PSSI dan Pemerintah sebagai tuan rumah. Isu kedatangan Timnas Israel sangat sensitif dan perlu perhatian ekstra. Apalagi sepak bola kita punya spesifikasi keamanan yang patut dipertanyakan. Bukankah kemarin kita baru saja kehilangan dua nyawa supporter di dalam stadion?
Soal kedatangan Timnas Israel, kalau dilihat dari respons pejabatnya sih, terkesan normatif dan menyepelekan.
Pakdhe Zainuddin Amali, bilang kalau perkara ini sudah dibahas sejak 2019. “Semua negara yang lolos Piala Dunia U-20 dipersilakan untuk bermain”. Hal yang sama diutarakan oleh Om Yunus Nusi, “Siapapun yang lolos bisa datang.” Termasuk Timnas Israel. Tidak ada pertimbangan soal bola panas yang terus menggelinding di tengah-tengah publik awam kayak kita-kita ini.
Bukannya paranoid atau apa, terakhir kali pemangku kebijakan bersikap kayak gini, Indonesia digulung pandemi setahun lebih.
Kedatangan Timnas Israel memang bikin Indonesia kalang kabut bukan main. Di satu sisi, sudah kewajiban sebagai tuan rumah untuk menyambut siapapun yang lolos. Di sisi lain, menerima bisa dianggap sebagai kontradiksi dengan sikap kita terhadap Israel selama ini.
Dari segi operasionalnya, Timnas Israel main di venue utama, GBK misalnya, bisa dianggap mendukung Zionis dan nggak pro Palestina. Disuruh main di tempat lain untuk alasan keamanan bisa dianggap anti-semit. Haduh, serba salah.
Kontroversi kedatangan Timnas Israel ini merupakan salah satu tanda kalau kita nggak siap dan nggak akan pernah siap menjadi tuan rumah event olahraga dunia. Selain harus bikin infrastruktur megah, banyak faktor lain, seperti geopolitik dan opini publik yang nggak kalah penting untuk dipertimbangkan.
Berkaca dari pengalaman yang sudah-sudah, masalah ini jadi pekerjaan rumah bersama yang njlimet. Masih ingat Misha Zilberman, pebulutangkis Israel yang kesulitan masuk ke Indonesia sampai-sampai BWF harus turun tangan? Bambang Rudyanto, petinggi PBSI, sampai curhat di Twitter betapa merepotkannya ketika pemain Israel tersebut datang dan bermain di Istora. Hadeh.
Nah pertanyaannya, apakah PSSI dan Kemenpora sudah mempertimbangkan cerita dari PBSI tersebut sejak jauh-jauh hari, sebelum mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20? Kalau dari gesturnya sih, kok kayaknya meragukan kalau mereka sudah mengantisipasi.
Apa pun keputusan yang diambil, saya cuma bisa berharap pejabat konsekuen dengan keputusan yang diambil. Kalau mau menerima ya, silakan dipersiapkan segala tetek bengeknya, khususnya keamanan, karena sekali lagi, kedatangan Timnas Israel itu sangat sensitif dan mengakar kuat di masyarakat. Kalau mau mengambil opsi lain, ya harus konsekuen juga dengan segala resiko yang harus ditanggung.
Benar-benar deh. Kayak nggak ada win-win solution untuk situasi ini. Oh iya, Timnas Israel apa nggak mau mengundurkan diri saja? Turu wae, ra risiko xixixi.
Penulis: Nurfathi Robi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina