Saya kerap heran, mengapa orang mempunyai kecenderungan untuk menganggap orang lain mentalnya—dalam menonton Joker—lebih lemah darinya?
“Kamu nggak akan kuat melihat film Joker. Apalagi kamu memiliki gangguan anxiety. Ambrol brol nanti mentalmu. Berat, biar aku saja”
“Mosok?”
“Ndak usah ngeyel, nanti kamu akan semakin cemas dan mlotrok jiwa ragamu. Mendengar ketawanya Joker yang hadir mengintimidasi memenuhi otak di saat orang seharusnya takut atau menangis. Belum mimik mukanya yang bertransformasi dari bego tersiksa ke bengis. Itu bisa membuatmu membenarkan segala kegilaan yang mendorong munculnya supervillain”
Kesel!
Bagaimana tidak. Tanpa melihat Joker, banyak orang endonesa tuh sudah keji. Tau dari mana? Gampang, lihat kolom komen berita kejahatan. Di sana banyak tunas-tunas yang kalo dipupuk akan jadi Joker yang subur.
“Hukum mati saja”, “rebus saja!”, “bakar!”
Kalo soal pengaruh, orang Endonesa sebenarnya sudah terlatih mendengar tertawa yang lebih mengerikan. Suara Bu Asriyati yang memerankan Mak Lampir jauh lebih membawa perasaan kita tidak punya peluang selamat sama sekali kalau harus berhadapan dengannya. Mati, pasti mati kalo ketemu Mak Lampir.
Ada juga hantu Trinil yang membuat anak-anak di masa sandiwara radio itu diputar tidak percaya diri lagi bahwa doa bisa mengusirnya. Mereka percaya kalau tidak Godril saja yang diburu kepalanya oleh hantu tersebut, tapi juga yang mendengarnya.
Bagaimana anak-anak generasi radio tersebut keadannya sekarang? Baik-baik saja. Tidak kemudian kalo berjalan malam serasa dikuntit Trinil.
Saya bukan hendak meremehkan para psikolog atau psikiater. Justru malah memahami bagaimana mereka mampu merumuskan satu gangguan mampu mendorong orang untuk melakukan hal di luar batas. Tidak ada faktor tunggal yang membuat orang kemudian menjadi #terJoker.
Jadi penyakitnya Joker itu apa? Kalau saya baca dari berbagai review, disebutnya “pseudobulbar affect”. Satu kondisi dimana manusia begitu ambyar dan pedot. Nggak nyambung sama sekali antara pikiran dan swasana hati seperti yang saya sebut di atas.
Ya, manifestasinya kalau nggak nangis kenceng ya tertawa tidak terkendali. Lucu enggak mengerikan iya. Tentu saja tidak tepat memandingkan ketawanya Mak Lampir yang jelas ala dhemit dengan Joker yang jelas manusia.
Tetapi begini, akhir-akhir ini justru malah berkembang kalau pesan moral film ini tidak bagus, “Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Frasa itu konon untuk menggiring opini bahwa di titik tertentu kita harus memahami kejahatan. Omong kosong!
Film tetaplah film. Ada film horor orba G 30 S PKI yang sengaja dipergunakan sebagai propaganda untuk membuat kita membenci komunisme dengan segala manifestasinya sekaligus glorifikasi orba. Toh, cepat atau lambat orang tersadar selama pikirannya terbuka.
Berapa juta anak SD di medio 1980 yang digiring untuk melihat film itu? Sangat masif! Bagaimana keadaannya sekarang? Ya campur-campur. Ada yang sampai mati meyakini komunis itu pasti keji, ada yang tidak.
Berapa anak yang mendapatkan pengetahuan dan bimbingan memadai sebagai penyeimbang brainwashing nasional tersebut? Sangat sedikit!
Masalah pelik berikutnya, orang-orang yang melarang ini juga lupa apa yang mereka perbuat di masa lalu. Mereka mendapatkan banyak pengetahuan film sebelum usia matangnya. Bisa kita ajukan pertanyaan untuk diri kita.
Kapan pertama kali nonton G30SPKI? SD!
Kapan pertama kali nonton bokep? Sebelum umur 17 tahun!
Kapan pertama kali nonton film dengan rating dewasa? Saat SMP!
Apakah saat itu didampingi orang tua? Tidak!
Nah herannya, dilanisme justru malah menghinggapi orang-orang yang di masa lalunya banyak menabrak aturan. Generasi ini adalah generasi yang merasa secara mental maupun moral lebih kuat dari generasi sesudahnya.
“Busyet, kurang ajar bener orang tuanya. Ngajakin anak lihat film dewasa. Eug rasanya marah bener. Orang tuanya sakit!”
Lha masih mending orang tuanya ngajakin. Artinya orang tua berani mengambil tanggung jawab. Jangan pernah meremehkan kemampuan orang lain dalam mendidik anaknya lho. Sampai film aja membuat begitu ketakutan.
Ryan Jombang tanpa harus lihat Texas Chain Massacre bisa melakukan serial pembunuhan. Demikian juga Siswanto si robot gedek. Juga Sumanto tanpa harus kenal Hanibal Lecter langsung doyan makan daging manusia.
Tapi nggak salah-salah amat sih jika ada orang yang melarang orang dengan kondisi tertentu menonton film dengan rating R. Selain akan memicu gangguan kecemasan juga dapat memunculkan ketakutan baru.
Dulu saat mendengar suara “krek krek” di dalam lemari, kabinet atau balik kaleng, saya langsung waspada kalau itu kemungkinannya tikus atau ular. Setelah nonton The Ring, seriyes, muncul gangguan tambahan! Jangan-jangan Sadako…???
BACA JUGA Joker VS Joker: Membandingkan Joker Rekaan Todd Phillips dengan Versi Tim Burton dan Nollan atau tulisan Haryo Setyo Wibowo lainnya. Follow Facebook Haryo Setyo Wibowo.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.