Tahun 2023 lalu, pihak UI (Universitas Indonesia) bersama PT Beam Mobility Indonesia mulai menyediakan sepeda listrik Beam Rover di lingkungan kampus UI Depok. Program ini bertujuan mempromosikan gaya hidup sadar lingkungan dan mengurangi emisi karbon di wilayah kampus UI. Terdapat 450 unit sepeda listrik Beam yang tersebar di 42 titik shelter di seluruh kampus UI.
Sepeda dengan warna ungu yang khas ini dilengkapi dengan helm. Memakainya pun cukup mudah. Tinggal mengunduh aplikasi Beam di HP, lalu memindai (scan) kode QR di sepeda listrik yang ingin digunakan. Setelah kode QR dipindai dan pembayaran sudah diselesaikan, baru helm bisa dicopot dari tempatnya dan sepeda listrik bisa dipakai.
Memang kedengarannya cukup praktis. Selain itu, sepeda listrik ini diatur dengan rapi oleh petugas-petugasnya. Ada shelter sepeda listrik Beam dekat halte bikun (bus kuning) di tiap-tiap fakultas UI, jadi mengambil dan mengembalikannya juga tidak boleh sembarangan.
Akan tetapi saya merasa bahwa masih banyak aspek yang menjadikan sepeda listrik Beam ini kurang efektif. Soalnya kebanyakan mahasiswa UI seperti saya adalah kaum mendang-mending. Dengan kata lain, target market-nya bukan kami.
Daftar Isi
Sewa sepeda listrik UI lama-lama bikin boncos
Salah satu hal yang dikeluhkan banyak mahasiswa UI mengenai moda transportasi satu ini adalah harganya yang mahal. Biaya sewa sepeda listrik Beam adalah Rp1.750 ditambah Rp700 per menit. Jadi, kalau misalnya saya menyewa sepeda listrik ini selama sepuluh menit, total biaya yang harus dikeluarkan adalah Rp1.750 + (10 x Rp700) = Rp8.750.
Kalau dilihat dari harganya saja, memang cukup menggiurkan. Namun, jika dibandingkan dengan jarak yang ditempuh, banyak mahasiswa UI yang merasa sayang dan nggak tega mengeluarkan uang segitu untuk jarak yang dekat. Apa lagi kalau setiap hari menggunakan sepeda listrik ini. Sedikit-dikit lama-lama menjadi bukit. Bisa boncos juga.
Soalnya, kebanyakan mahasiswa UI menggunakan sepeda listrik Beam untuk bepergian dari satu fakultas ke fakultas lain, atau pergi ke fakultas lain di wilayah kampus. Kadang, ada saja orang yang menggunakan sepeda listrik Beam untuk wara-wiri keliling kampus UI. Biasanya ini mahasiswa baru atau orang yang sekadar berkunjung karena ingin melihat-lihat.
Banyak juga mahasiswa UI yang memiliki mindset mendang-mending sehingga akan berpikir, “Ah, dari sini ke situ mah ngapain naik Beam, jalan kaki aja,” karena toh hitung-hitung hemat duit.
Hal lain yang bikin kesal adalah sistem pembayaran sepeda listrik ini. Sebelum bisa dipakai, pembayaran harus dilakukan dengan cara top-up saldo di aplikasi Beam, lalu menyetor nominal tertentu. Jadi, bukan pakai dulu, baru bayar di akhir. Makanya, sering terjadi insiden Beam tiba-tiba mogok di tengah jalan saat sedang dipakai karena saldonya sudah habis.
Nggak cocok dikendarai di area kampus UI
Aspek kedua yang cukup merisaukan adalah sepeda listrik Beam ini kurang cocok dengan medan kampus UI yang cukup membahayakan. Bayangkan, UI itu punya banyak jalan berkelok-kelok dan tanjakan-tanjakan curam.
Patut disyukuri sebenarnya bahwa sepeda listrik Beam memiliki kecepatan maksimal 25km/jam dan bisa diatur seperti sedang naik motor biasa. Namun, banyak juga mahasiswa yang menyepelekan sepeda listrik ini, jadi mengendarainya malah ugal-ugalan.
Sepertinya masih banyak orang yang belum menyadari bahwa safety hazard menggunakan sepeda listrik Beam cukup tinggi. Ditambah dengan medan kampus UI yang cukup “ekstrem” di beberapa titik, kendaraan ini sebenarnya rawan menyebabkan kecelakaan.
Banyak pengguna sepeda listrik Beam tidak bisa mengendarai motor biasa, padahal caranya kurang lebih mirip. Banyak juga yang mengendarainya samping-sampingan dengan teman atau pacar sambil cekikikan, jadi malah lelet dan menghalangi jalan orang. Hal lain yang kerap luput dari perhatian mahasiswa adalah bahwa sepeda listrik Beam tidak bisa dipakai berboncengan.
Sosialisasi mengendarai sepeda listrik di kampus UI perlu digalakkan
Di UI, fenomena bonceng tiga (ada yang menyebutnya boti atau cenglu) sudah marak terjadi. Sering sekali dari arah kampus Fakultas Teknik ada satu motor yang isinya bisa 3 bahkan 4 orang mahasiswa. Jadi, sepeda listrik Beam ini kurang bisa beradaptasi dengan budaya mahasiswa UI, kecuali ia menerapkan inovasi produk berupa ukuran jok yang diperbesar.
Kalaupun nekat mau boncengan dengan sepeda listrik Beam, hasilnya ditanggung sendiri. Saya merupakan salah satu korban tipu daya Beam ini. Gara-gara memaksakan diri berboncengan dengan seorang teman suatu malam di depan kampus FEB, saya jatuh terjengkang dan mengalami cedera di bagian perut dan lutut.
Sakitnya, sih, bisa ditahan. Malunya itu, lho. Soalnya jam segitu masih banyak aja pengendara motor yang lewat terus melihat, mana pakai acara nanya, “Nggak papa, Neng?” Ya lihat sendiri aja apa, menurut Bapak memangnya saya nggak papa?
Intinya, sebenarnya ini masalah kurang sosialisasi saja, sih. Memang terkadang ada sosialisasi cara mengendarai sepeda listrik Beam dengan aman di kampus UI. Namun kegiatan-kegiatan seperti ini biasanya hanya disertai dalam rangkaian ospek atau dalam acara besar tertentu yang sifatnya tidak wajib. Jadi, mahasiswa kurang berminat untuk menghadiri dan memperhatikan pemaparan tentang keselamatan diri saat mengendarai sepeda listrik.
Seharusnya sosialisasi aturan-aturan saat mengendarai sepeda listrik Beam perlu digalakkan dengan cara yang lebih mudah dipahami oleh mahasiswa UI dan pengguna sepeda listrik lain. Kalau bisa, malah adakan sanksi khusus bagi pelanggar aturan. Hal ini penting karena banyak juga mahasiswa UI yang mengandalkan sepeda listrik Beam sebagai sarana berkeliling.
Nggak cocok dengan cuaca Depok
Aspek selanjutnya yang jadi pertimbangan adalah kenyamanan. Pertama, Depok itu panasnya setengah mampus. Walaupun kampus UI bisa dibilang cukup rindang dan sejuk karena ada banyak danau, tetap saja, sinar matahari Depok itu sudah kayak di Padang Mahsyar.
Buat naik motor yang cepat dan satset saja, kami masih sering mengeluh. Apa lagi kalau harus jalan kaki atau pakai sepeda listrik. Sudah terbuka, panas lagi.
Nah, giliran sedang hujan, sepeda listrik ini juga tidak bisa digunakan. Sudah kehujanan, jalannya licin pula. Serba salah, deh.
Walaupun sepeda listrik Beam ini sudah memiliki shelter tersendiri di kampus UI, kadang ada pengguna tidak bertanggung jawab yang asal parkir di sembarang tempat. Bahkan ada juga yang meninggalkannya begitu saja dan kabur karena sepeda listriknya tiba-tiba mati atau ia tidak tahu bagaimana menonaktifkannya setelah selesai digunakan.
Kadang-kadang, ada aja sepeda listrik yang nyasar sendiri. Ini lumayan mengganggu estetika lingkungan kampus.
Melihat contoh kasus kenapa sepeda listrik memang tidak cocok bagi mahasiswa mendang-mending UI
Dari penjabaran faktor-faktor di atas, mari kita lihat contoh kasusnya.
Misalnya A ingin menggunakan sepeda listrik untuk pergi dari FISIP ke FEB UI. Di Google Maps, jarak antara kedua fakultas ini adalah 1 km. Dengan kecepatan maksimal 25 km/jam, jarak ini bisa ditempuh sekitar 2-3 menit paling cepat. Tapi karena medan di depan FEB cukup ekstrem, tidak mungkin ngebut. Jadi, si A mengendarai sepeda listriknya dengan agak lambat. Alhasil, biaya yang harus dibayar semakin tinggi.
Itu belum mempertimbangkan teriknya matahari Depok atau kemungkinan sepeda listrik tiba-tiba mati di tengah jalan.
Karena keburu malas, akhirnya si A memutuskan untuk naik bikun (bus kuning) saja. Gratis, adem, cepat, dan dapat diandalkan. Memang, si A—dan banyak mahasiswa UI lainnya, termasuk saya—adalah kaum mendang-mending yang cenderung memilih hal lain yang lebih “rasional”. Namun, bukannya begitu hakikat manusia sebagai makhluk ekonomi?
Penulis: Dinar Maharani Hasnadi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bus Odong Unpad Perlu Banyak Belajar dari Bus Kuning UI.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.