Semester ganjil ini saya masih harus melanjutkan studi Sarjana dari rumah akibat pandemi yang tak kunjung usai. Karena studi saya memasuki tahun akhir dan saya berencana lulus dalam tujuh semester, kemungkinan besar saya tidak akan merasakan lagi pembelajaran secara tatap muka di kampus dan tahu-tahu lulus. Hal ini tentu menyedihkan karena banyak hal yang akan saya rindukan, salah satunya adalah bus kuning, yang biasa disebut “bikun UI” di lingkungan Universitas Indonesia.
Jika membaca balada “odong” di Unpad yang diceritakan oleh Mas Dzulfikar Firdaus di Mojok, mungkin kalian membayangkan bahwa bikun kami sangat nyaman. Diceritakan bahwa sebagian besar berukuran besar, berpendingin udara, dan memiliki konfigurasi tempat duduk menyamping. Baiklah daripada kalian terus-terusan membayangkan, mari saya jelaskan.
Rute perjalanan si bikun UI
Seingat saya, bikun berlogo UI jumlahnya sekitar belasan unit dan itu pun dibagi dalam dua rute, jalur biru dan jalur merah. Akan tetapi, sehari-hari kami lebih senang membedakannya menjadi “bus FH” untuk jalur merah dan “bus FT” untuk jalur biru. Semua bus mengawali perjalanannya dari asrama, melewati halte Menwa sebagai tempat mereka yang sebelumnya menumpangi TransJakarta koridor 4A (rute Stasiun Manggarai – Universitas Indonesia PP) atau D21 (rute Lebak Bulus – Universitas Indonesia PP), dan sampailah di Stasiun KRL Universitas Indonesia.
Selama kurang lebih lima setengah semester menjadi penikmat setia bikun UI, bus pertama tiba di Stasiun UI sekitar pukul 07.10 WIB. Pada awalnya, saya selalu senang karena tidak banyak penumpang yang tiba sebelum pukul 07.30 WIB dan saya bisa memilih tempat duduk dengan nyaman. Sayangnya bikun kadang penuh sesak dengan mahasiswa yang ingin berangkat lebih awal padahal kelasnya masih pukul 08.00. Sesaat sebelum study from home, ada teman saya yang selalu terlambat hingga setengah jam dan bukan karena dia kesiangan, melainkan bus selalu penuh.
Memang ada lajur khusus untuk perhentian bikun. Tetapi sopir tidak selalu berhenti benar-benar di titik yang sama. Kitalah yang harus pandai-pandai menebak kapan bus mengerem dengan sempurna dan di mana pintunya terbuka. Salah-salah, kita tidak bisa naik meski telah mengantre lebih dulu. Oh iya, ketika rush hour, budaya dorong-dorongan tidak bisa lepas dan dorongan itu terasa keras sekalipun oleh mereka yang tidak gemuk.
Ada bikun UI, ada pula bikun PNJ
Berdasarkan kepemilikannya, ada bikun yang dimiliki oleh UI dan juga Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Ya, di dalam kompleks UI, ada sebuah politeknik yang diakses dari kompleks sarana olahraga. Bikun PNJ ini memang diutamakan untuk mengantar mahasiswa PNJ karena mereka tidak terjangkau oleh bikun UI, tetapi mahasiswa UI yang berkuliah di FH, FK, FKG, FKM, FIK, FMIPA, dan Fakultas Farmasi bisa menumpang untuk rute dari dan ke Stasiun Pondok Cina serta Stasiun UI itu sendiri. Tidak selamanya bikun UI hanya berisi mahasiswa UI.
Tidak semua bikun UI merupakan bus besar
Bikun UI kebanyakan berupa bus besar dengan tempat duduk menyamping (selain lima orang yang duduk di barisan paling belakang) berbahan fabric berwarna biru. Dilihat dari fisiknya, bisa ditebak bahwa bus ini dulunya digunakan sebagai bus pariwisata. Knob lubang AC di atas kepala sudah tidak ada sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa ketika kedinginan, demikian pula dengan lampu kecil di atas kursi yang sudah tidak berfungsi.
Bus besar ini menjadi andalan utama dan selalu dimaksimalkan kapasitasnya. Jangankan penumpang berdiri yang berhadapan dengan penumpang duduk, ada saja penumpang yang berdiri tepat di depan pintu dan belakang bus. Untunglah, kedua pintu ini bisa dibuka dan ditutup secara otomatis. Bus besar ini lebih cocok untuk mereka yang menumpang tanpa teman dan/atau ingin mengenal orang-orang baru. Di antara seluruh bus besar, ada dua unit di antaranya yang selalu terngiang di kepala. Bus yang satu cukup unik karena terdapat boneka Boots (ya, Boots di serial Dora The Explorer) di kaca depan dan satunya lagi dengan pendingin udara yang mati plus kaca jendela tidak bisa dibuka sehingga panasnya luar biasa.
Kampus juga menyediakan beberapa unit bus berukuran sedang dengan tempat duduk menghadap depan dan konfigurasinya 2-3. Pintunya terletak di bagian depan dan tengah serta tidak bisa dibuka-tutup secara otomatis, sehingga mereka yang berdiri di dekat pintulah yang harus melakukannya secara manual. Kursinya kini berbahan kulit sintetis dengan warna beige sehingga tampak lebih terang dan mewah. Di setiap baris tersedia stopkontak listrik yang sayangnya tak lagi berfungsi. Jika bus besar cocok bagi mereka yang menumpanginya sendirian dan/atau ingin mengenal orang baru, bus sedang ini lebih cocok bagi mereka yang bepergian dalam kelompok atau pasangan bucin.
Lika-liku mahasiswa FMIPA pulang-pergi ke Jakarta yang memilih naik bikunÂ
Ketika saya masih menjadi maba tiga tahun lalu, tertulis di dinding halte bahwa bikun dijadwalkan lewat 12 menit sekali untuk setiap rutenya. Akan tetapi, waktu tunggu antarbus bisa jauh lebih lama dari ini, atau sebaliknya dua bus malah datang bersamaan dan dengan rute yang sama.
Melihat rute bikun UI, FMIPA terletak di tengah-tengah sehingga waktu tempuh untuk rute Stasiun UI – FMIPA pulang pergi relatif tidak berbeda antara menumpangi “bus FH” atau “bus FT”. Dengan demikian, jika kedua bus datang dengan selisih waktu yang tidak lama (apalagi bersamaan) dan keterisiannya kurang lebih sama, tentu sangat dilematis hendak memilih yang mana untuk ditumpangi.
Setiap pagi, saya selalu turun KRL di Stasiun UI agar memiliki lebih banyak pilihan bikun yang baru diisi oleh penghuni asrama dan mereka yang naik dari halte Menwa. Jika saya turun KRL di Stasiun Pondok Cina, satu-satunya pilihan adalah menumpangi bus FH dan seringkali kapasitasnya sudah penuh sampai tidak bisa lagi dimasuki oleh satu orang baru sekalipun. Memilih bus selalu merupakan dilema besar, mengapa demikian?
Ketika bus pertama yang tiba di depan saya adalah bus FH, dia bukan merupakan pilihan ideal. Dengan menumpanginya tentu saya bisa segera tiba di kelas, tetapi saya harus menyeberang setelah turun bus. Jika tak lama setelah bus ini pergi datanglah bikun PNJ ber-AC, pastilah bus yang berikutnya lebih adem. Ditambah lagi, dengan ukurannya yang lebih kecil, bisa jadi bus PNJ akan tiba duluan karena tidak butuh waktu lama untuk menaikturunkan penumpang di setiap haltenya dan juga ukuran lebih kecil berarti gerakan lebih lincah.
Dibandingkan terhadap bus FT, tetap saja bus FH kalah. Memang, bus FT bisa jadi memiliki waktu tempuh sedikit lebih lama jika banyak anak kos Kutek dan Kukel yang menumpanginya. Tetapi itu hanya berselisih hitungan detik dan saya tidak perlu menyeberang setelah turun bus. Sepenuh-penuhnya bus FT, saya masih punya peluang untuk memperoleh tempat duduk di pertengahan jalan dari FEB ke FT. Sedangkan, jika saya tidak mendapatkan kursi di bus FH ketika naik, bisa dipastikan saya tetap terus berdiri sampai akhirnya turun di FMIPA.
Dilema itu belum seberapa dibandingkan ketika saya hendak pulang. Sekalipun bus FT jauh lebih cepat sampai di halte Balairung dan jarak halte tersebut ke Stasiun Pondok Cina begitu dekat. Semua itu tidak ada artinya jika banyak orang turun bersamaan dan saya ada di barisan belakang sampai-sampai ketika tiba di stasiun, keretanya sudah terlanjur berangkat. Bisa jadi ketika saya naik bus FH yang sepi dan mengarah ke Stasiun UI, saya bisa menumpang kereta tersebut dan pulang lebih cepat. Hal yang sama terjadi ketika bus FH datang lebih dulu, berapa lama kemudian bus FT datang?
Kurang lebih, begitulah cerita bikun UI. Kami sangat bersyukur sudah terbantu sekian lamanya dengan kehadiran transportasi ini dan kami juga berterima kasih kepada para pengemudi. Kenangan bersama bikun UI tidak akan terlupakan. Akan tetapi, tentunya ada momen-momen yang tidak kalah menyebalkan untuk dikenang.
Yang jelas, jika kalian berpikir bahwa bikun UI sangat nyaman itu salah. Banyak kenangan yang menyenangkan sekaligus menantang yang akan selalu bikin rindu.
Sumber gambar: anakui.com
BACA JUGA Oppo A53 dengan Snapdragon 460 Pertama di Dunia? Hm, Realme 6 Aja deh! dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.