Seperti Suzuran yang jadi surga bagi siswa bermasalah, podcast Deddy Corbuzier adalah surga bagi para politisi (yang blunder). Alih-alih menjelaskan program dan kebijakan mereka langsung ke rakyat, sejelas-jelasnya, mereka malah memilih jalur Deddy. Seakan-akan rakyat Indonesia itu ada dua kategori, yaitu Deddy Corbuzier dan bukan Deddy.
Saya lumayan paham jika maksud para politisi, menteri, atau orang penting pemerintahan lebih memilih menjelaskan program mereka ke Deddy. Salah satu alasannya ya podcast Deddy banyak dilihat/didengarkan orang. Selain tak mau capek-capek turun ke akar rumput, tentu saja.
Tapi tidak bisa kita mungkiri, Deddy bergerak di bidang entertainment. Meski membranding podcastnya adalah tempat para smart people, nyatanya smart people beneran mungkin cabut dari menit kedua saat menonton kontennya. Dan bidang entertainment, nggak bisa jauh-jauh dari kontroversi (dan blunder).
Kontroversi yang paling baru adalah pertanyaan Om Deddy kepada bintang tamunya tentang hal yang sungguh pribadi dan rasa-rasanya tidak perlu ditanyakan, yaitu perihal keperawanan. Mulanya, perseteruan ini hanya melibatkan Om Deddy dan Mayden. Kemudian dalam waktu yang nisbi dekat, ia mempertanyakan masalah keperawanan lagi kepada Chateez secara bertubi-tubi. Seolah tak percaya pada jawaban yang diberikan narasumber. Kesalahan itu masih diulangi lagi pada Angela Christy hingga menyenggol Livy Renata.
Coba, smart people mana yang nanyain status keperawanan seseorang? Kalau kalian beranggapan itu smart, baiknya kalian sekolah lagi, dari PAUD.
Kejadian tidak mengenakkan yang disoroti publik ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya di podcast tersebut, Deddy Corbuzier pernah menanyai Widi Vierratale soal kejadian traumatis yang dialami Widi di masa lalu. Walaupun sepertinya sudah ada consent untuk membahas masalah itu, tetap saja itu punya efek yang besar pada Widi. Hingga Cinta Laura dengan sigap mengambil alih untuk menenangkan Widi dan mempersilahkan untuk tidak menjawab jika dirasa tidak nyaman.
Sebelumnya lagi juga ada Yuni Shara yang pasca datang sebagai bintang tamu di podcast tersebut, topik urusan ranjangnya jadi perbincangan di berbagai media.
Amat sangat mencerminkan “smart people”.
Berangkat dari kontroversi tersebut, maka, politisi, menteri, atau orang penting pemerintahan apa pun jabatannya, sebaiknya nggak usah klarifikasi-klarifikasi atau menjelaskan kegegeran program mereka di podcast Deddy Corbuzier.
Begini lho. Tak bisa dimungkiri, podcast tersebut bisa jadi alternatif penyampaian informasi yang efektif untuk rakyat. Digitalisasi memang menuntut segala lini konservatif untuk segera jadi lebih efisien. Ya memang itu tujuannya.
Masalahnya, kok ya harus Deddy gitu lho.
Maksudnya, ini orang bikin kontroversi dan jelas-jelas salah, tapi ngelak. Bukannya belajar, malah diulangin lagi. Kita harusnya belajar dari gegeran pemilu 2014 dan 2019, yang hingga kini memecah belah bangsa. Bahkan saya nggak yakin perpecahan ini akan segera selesai.
Sebagai “smart people”, harusnya Deddy Corbuzier tahu kalau hal kayak gini nggak ada bagusnya. Tapi alih-alih kita dapat kualitas, kita malah disuguhi pertanyaan seksis, kontroversial, dan jenis-jenis lain yang alih-alih bikin pintar, tapi malah bikin kita mundur beberapa langkah dari peradaban.
Penyampaian informasi dengan podcast, saya akui, langkah yang lumayan bagus (meski menunjukkan betapa malasnya pemerintah ngurusi rakyatnya), tapi mbok ya cari tokoh lain yang lebih well gitu.
Saya kok jadi curiga, pemilihan Deddy Corbuzier ini, ya salah satunya karena mereka punya cara pikir yang sama: penting viral, penting rame, esensi belakangan. Kalau beneran pemerintah mikir kek gitu, lambaikan tangan pada Indonesia Emas 2045.
Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kurawa Berkicau, Najwa Shihab Berlalu: Membandingkan Najwa dengan Deddy Adalah Kesia-siaan