RKUHP yang akan disahkan punya pasal yang aneh. Ini kompilasinya
Jagongan dengan bapak-bapak di cakruk atau pos kamling memang selalu seru dan menyenangkan. Terlebih saat membahas isu politik dalam negeri, celetukan-celetukan spontan yang keluar dari tutur mereka kadang lebih gelap dibanding jokes tepi jurang yang kerap dilontarkan para komedian industri. Hal ini yang kemudian membuat saya selalu betah menemani mereka ronda sampai dini hari.
Beberapa waktu lalu, saat saya ikut nimbrung dengan tim ronda, bapak-bapak yang mayoritas berprofesi sebagai tukang bangunan ini tengah asik membahas perkara draf final RKUHP, yang akhir-akhir ini menjadi headline di berbagai media massa. Sebagai kawula ronda yang masih pemula, saya hanya bisa mendengarkan dan sesekali tertawa ngakak saat bapak-bapak ini melempar caci-maki tarkait pasal-pasal RKUHP yang dianggap nyeleneh .
Ya, sebagaimana kita tahu, draf final RKUHP telah memasuki babak akhir dan sebentar lagi akan disahkan oleh Pemerintah dan DPR. Ada beberapa pasal dalam draf RKUHP yang dianggap aneh oleh tim ronda di kampung saya, Gunungkidul, salah satunya, yaitu pasal 252 tentang ilmu gaib atau santet.
Menurut bapak-bapak ronda, pasal mengenai ilmu gaib ini rentan disalahartikan dan tidak menutup kemungkinan bisa membuat warga masyarakat saling tuduh satu sama lain. Hal ini yang kemudian membuat tim ronda cukup khawatir jika draf RKUHP ini disahkan menjadi undang-undang.
Selain itu, masih banyak pasal aneh lainnya dalam draf RKUHP yang dianggap kontroversial, antara lain:
Pasal 218 tentang Penghinaan Presiden
Salah satu pasal aneh yang mendapatkan banyak komentar dan ditentang oleh para mahasiswa serta aktivis adalah pasal 218 tentang penghinaan Presiden. Adapun pasal 218 ayat (1), berbunyi, “setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Ya, pasal ini dinilai bisa menjadi alat pemerintah untuk nggebuki rakyat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakannya. Sebab, pasal ini tidak menjelaskan dengan konkret dan tolok ukur yang jelas seperti apa bentuk penghinaannya yang dimaksud. Tak heran, jika pasal karet ini dianggap sangat subjektif karena bentuk penghinaannya tidak bisa disepakati oleh orang banyak.
Untuk melihat peraturan ini, mari kita coba dengarkan tausiah Pak Wapres, Ma’ruf Amin, yang blio sampaikan pada 2020 lalu saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Dalam tausiahnya, Wapres meminta agar masyarakat Indonesia meneladani sifat atau akhlak Rasulullah SAW. Sekali lagi, Wapres meminta umat muslim mencontoh karakter Nabi yang selalu baik, jujur, dan tidak suka balas dendam dengan orang yang telah menghinanya.
Umat muslim tentu sudah sangat familiar tentang kisah Nabi yang sering dilempari batu dan kotoran binatang saat hendak pergi ke masjid. Alih-alih membalas atau menghukum orang tersebut, Rasulullah justru membiarkan dan bahkan menjenguk serta mendoakan si pelempar batu yang saat itu jatuh sakit.
Bayangkan, seorang Nabi yang notabene adalah utusan langsung dari Allah SWT saja, tidak maruk atau baper saat dihina-dina dengan cara dilempari kotoran. Meski kita tahu beliau adalah makhluk istimewa pilihan Allah, tetapi beliau tidak pernah merasa dirinya hebat atau super, yang berhak menghukum siapa saja yang mencoba mengganggunya.
Lantas, bagaimana dengan akhlak para pejabat di negeri ini, Pak Amin? Jangan-jangan, kawan-kawan bapak ini merasa jauh lebih suci dibandingkan dengan Nabi? Bukankah ini sungguh keterlaluan, ya, Pak? Nauzubillah…
Pasal 240 tentang Penghinaan Pemerintah
Pasal penghinaan tidak hanya berlaku bagi Presiden, tetapi juga untuk instansi pemerintah, termasuk polisi, DPR, BNN, dan lainnya. Peraturan yang tertuang dalam pasal 240 RKUHP, ini dinilai sejumlah pihak terlalu konyol karena para pejabat dengan gamblang ingin mencoba melindungi diri sendiri dari semua kepentingannya.
Selain itu, pasal yang dianggap prematur ini juga seolah menjadi plester untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat dan dijadikan alat kriminalisasi bagi mereka yang tidak sependapat dengan pemerintah. Tak heran, jika banyak yang kemudian mempertanyakan balik, bagaimana jika pihak pemerintah yang menghina rakyat? Apakah mereka juga akan mendapatkan hukuman yang sama?
Pertanyaan tersebut tentu tidak keluar secara ujug-ujug, melainkan track record para pejabat korup yang memang sudah menjadi rahasia umum. Ya, sebut saja kasus korupsi dana bansos, korupsi pengadaan kitab suci Al-Qur’an, dan track record konyol lainnya. Bukankah ini jauh lebih menghina, menginjak-injak, dan merobek-robek harga diri masyarakat Indonesia?
Pasal tentang Demonstrasi
Seolah belum puas membungkam suara-suara kritis dengan pasal penghinaan, Kemenkumham dan DPR juga memasukkan pasal 256 yang mengatur tentang aksi demonstrasi. Ya, dalam pasal 256 tersebut menyebutkan bahwa setiap kegiatan yang bersifat mengumpulkan massa, termasuk demonstrasi, dan menimbulkan keonaran bisa dipidana paling lama enam bulan. Lebih jelasnya, berikut bunyi pasal 256 dalam draf RKUHP:
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”
Banyak pihak terutama para mahasiswa dan aktivis yang kemudian menilai bahwa aturan ini sangat multitafsir. Sebab, dalam pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci terkait definisi “keonaran” yang dimaksud. Maka dari itu, tidak heran para aktivis menilai bahwa pasal ini kelak akan digunakan sebagai alat untuk menghukum mereka yang berseberangan dengan pemerintah.
Selain itu, pasal yang multitafsir ini juga dinilai dapat mengancam demokrasi di Indonesia. Banyaknya aturan-aturan yang membatasi ruang gerak untuk menyampaikan aspirasi ini, tentu bukti bahwa bangsa ini tengah mengalami kemunduran demokrasi. Seperti kata pepatah dari Gunungkidul, ketika istilah “menimbulkan keonaran” atau “mengganggu stabilitas keamanan” sudah muncul di permukaan, tanda kalau masyarakat kita sedang tidak baik-baik saja.
Pasal 429 tentang Gelandangan
Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana dengan denda paling banyak kategori I. Begitu kira-kira bunyi pasal 429 dalam draf RKUHP yang cukup menjadi buah bibir berbagai kalangan. Pasal ini tidak mengalami perubahan dibandingkan draf RKUHP 2019 lalu.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika ada seorang sarjana yang tengah mencari pekerjaan dengan pakaian lusuh dan terpaksa harus tidur di pinggir jalan karena tidak punya duit untuk menginap, tiba-tiba harus diciduk aparat dan didenda Rp1 juta. Saya kira sinetron Indosiar pun tidak mau mengangkat kisah semacam ini. Selain wagu, ya, karena secara logika cukup cacat dan lumayan konyol.
Saya mafhum betul mungkin niat negara membuat pasal 429 ini baik untuk meminimalisir kejahatan jalanan, tetapi kalau semua urusan kehidupan duniawi diatur dalam RKUHP seperti ini, terus apa fungsi lembaga sosial? Bukankah aturan ini justru bisa menghambat rencana kesejahteraan sosial dan penanggulangan kemiskinan, ya, Bos?
Lagian, gelandangan yang dimaksud itu seperti apa sih? Misal gelandangan diartikan orang yang suka di jalan berpakaian kumal yang mengganggu, tentu ini sangat subjektif. Ha wong sekarang ini zaman sudah maju, tidak sedikit gelandangan yang justru pakai pakaian rapi dan berdasi kok. Lihat saja pesta lima tahunan itu, tidak sedikit orang yang tiba-tiba menggelandang di jalan dan mengganggu pemandangan.
Pasal 413 tentang Kondom
Buat kamu yang secara tidak sengaja melihat atau menemukan kondom di pinggir jalan, pastikan tidak buru-buru mengambilnya, ya. Sebab, tidak menutup kemungkinan kamu bisa dituduh mempertunjukkan alat kontrasepsi dan bisa dipenjara, lho. Ya, aturan ini tertuang dalam pasal 413, yang mana menunjukkan kondom bisa dikenai hukuman enam tahun penjara.
Intinya, pasal 413 ini menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa hak mempertunjukan alat kontrasepsi dapat dipidana. Kemudian pada pasal 414 ayat satu menjelaskan bahwa aturan ini hanya berlaku bagi orang awam (bukan petugas yang berwenang). Tentu saja, banyak pihak yang kemudian menganggap bahwa aturan ini dapat mengkriminalisasi masyarakat sipil dan mengancam program Keluarga Berencana (KB).
Selain itu, aturan ini juga cukup bertentangan dengan upaya pencegahan HIV, yang dalam hal ini diatur dalam Permenkes Nomor 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Kebijakan pemerintah yang kontraproduktif ini semakin membuat peraturan-peraturan di negeri ini yang silang sengkarut, asal-asalan, dan bikin pusing umat manusia.
Menurut saya, justru aturan ini bisa menyinggung Pak Jokowi. Ya, kita ketahui beberapa waktu lalu Pak Presiden mengimbau agar ibu-ibu tidak melahirkan setiap tahun. Tentu, masyarakat akan sendiko dawuh melaksanakan perintah bapak-bapak kelahiran Solo ini, ya, salah satunya dengan beli alat kontrasepsi. Lah, gimana ini.
Pasal 416 tentang Kumpul Kebo
Kadang saya suka penasaran, peristiwa atau fenomena seperti apa yang kira-kira menjadi latar belakang tim penyusun punya terobosan-terobosan “brilian” sebelum merancang undang-undang. Salah satu RKUHP yang bikin saya penasaran dengan peristiwa di balik terciptanya peraturan ini adalah pasal tentang kumpul kebo.
Ya, dalam pasal 416 ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan terancam hukuman selama enam bulan. Menanggapi pasal mind blowing ini, tidak sedikit masyarakat yang kemudian menganggap pihak yang merancang undang-undang ini terlalu jeru ngurusin privasi kehidupan manusia yang tentu akan membelenggu kebebasan sipil serta melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Sebagai orang yang tinggal di desa, jujur, saya cukup khawatir dengan isi draft final RKUHP ini. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika ada sepasang kekasih dituduh macam-macam oleh warga kemudian digebuki massa dengan dalih melaksanakan undang-undang. Bukankah hal semacam ini cukup diselesaikan di ranah ketua RT atau RW saja, yang tentu lebih bijak dan berkompeten menyikapi keadaan?
Sebenarnya DPR tidak hanya kali ini saja dianggap berusaha masuk ke ranah privasi masyarakat sipil. Tahun 2020 lalu, sejumlah fraksi di DPR mengusulkan RUU Ketahanan Keluarga. Aturan ini tertulis tentang kewajiban istri terhadap keluarganya. Selain itu, di dalam RUU ini juga mengkotak-kotakan peran suami dan istri. Tentu saja, aturan tersebut mendapat sorotan publik lantaran dianggap terlalu ikut campur kehidupan seseorang, mengabaikan aspek sosio-budaya, dan sangat mendiskriminasi peran kaum perempuan dalam keluarga.
Terlepas dari itu, apa yang susungguhnya isi tempurung kepala para pejabat kita ini, sehingga begitu hobi ngurusi selangkangan dan privasi orang. Masak iya, ide-ide seperti ini didapat habis nonton bokep saat rapat kerja di gedung DPR, sih? Nggak mungkin dong, Pak?
Maksud saya begini, hambok mending ngurus yang pasti-pasti saja, ta, Pak, kayak ngrembug banyaknya jalan gronjal dan minimnya penerangan jalan di Gunungkidul itu. Kalau untuk masalah kriminal, ya, bisa mengatur hukum terkait seringnya adu jotos di gedung DPR itu lho. Genah cetha, ta, ra risiko~
Pasal 252 tentang Dunia Gaib
Tidak hanya peduli urusan selangkangan, pemerintah juga cukup memperhatikan aspek dunia gaib atau persantetan. Ya, di tengah tren revolusi industri 4.0 yang kerap digembar-gemborkan Pak Jokowi, pasal mengenai ilmu gaib masih tercantum di pasal 252 draf RKUHP. Meski ancaman pidana berkurang, dari maksimal 3 tahun menjadi 1,5 tahun, tetapi pasal ini cukup menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.
Bagi yang belum membaca pasal 252, saya kasih tahu. Begini bunyi ayat pertama, ”Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”
Sementara itu, ayat 2 menjelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain.
Menanggapi pasal persantetan duniawi ini, banyak kalangan yang menilai bahwa pasal ini bisa multitafsir dan rentan disalahartikan. Aturan ini juga dianggap prematur, mengingat santet adalah kegiatan yang sulit dibuktikan. Tak heran jika pasal ini dianggap bisa dijadikan bagi masyarakat akar rumput untuk saling tuduh dan akhirnya hanya memperkeruh suasana kehidupan sosial.
Namun demikian, apabila pemerintah tetap kekeh memasukkan pasal ini, alangkah baiknya pihak-pihak terkait, terutama pihak Pengadilan, wajib memiliki semacam ilmu gaib. Jadi, sebelum menjadi hakim, nanti ada tes ilmu gaib agar mumpuni di bidang persantetan. Bukankah ini sangat-sangat revolusi 4.0, Pak?
Itulah kumpulan pasal-pasal RKUHP yang unik (untuk tidak menyebutnya nyeleneh). Jadi, menurut kalian, manakah yang harusnya dihapus? Saya sih, semuanya.
Penulis: Jevi Adhi Nugraha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA RKUHP: Rakyat Menghina Pemerintah Bisa Dipenjara, kalau Sebaliknya, Bagaimana?