Gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Saya kira, tak ada ungkapan yang lebih tepat untuk menggambarkan PHK 240 karyawan imbas dari Pemda DIY mengambil alih Mal Malioboro dan Hotel Ibis. Mereka tak bertarung, sebenarnya. Tapi, ketika dua “balung gedhe” punya urusan dan kroco yang jadi imbas, apalagi ungkapan yang lebih tepat?
Secara singkatnya, gegeran ini bermula ketika PT YIS yang sebelumnya menjadi pengelola dua tempat ini tidak bisa memperpanjang kontrak kembali. Maka dengan masa habisnya kontrak, dua unit yang jadi landmark Jalan Malioboro ini dimiliki Pemda Jogja.
Ini sesuai dengan janji Sultan, bahwa tak akan ada kemiskinan di sumbu filosofi Jogja. Sebab, orang miskinnya disuruh pergi dari sumbu filosofi.
Sejak malam sebelum PHK 240 karyawan, sudah banyak suara ketakutan. Beberapa viral melalui Twitter. Saya sendiri menerima kabar ini dari salah satu karyawan Malioboro Mall yang mengaku akan di-PHK. Dan benar, pagi harinya ia menandatangani surat PHK.
Saya akan melompati urusan alih kepemilikan ini. Selain ruwet, nanti endingnya juga akan dilelang. Saya ingin bicara tentang pengorbanan 240 orang kelas pekerja ini. Mereka layak mendapatkan penghormatan lebih. Sebab, 240 korban PHK ini adalah harga yang harus dibayar demi “kemuliaan” Pemda Jogja.
Pemda Jogja akan memiliki aset besar yang bisa dilelang pengelolaannya. Atau jika dikelola lewat BUMD, bisa terbayang berapa banyak pendapatan Kota Jogja. Di mata rakyat, Pemda Jogja terlihat menang melawan pihak swasta. Apalagi Malioboro Mall adalah simbol Kota Jogja. Saya yakin, besok akan banyak akun paijo (baca: buzzer romantisasi Jogja) yang akan merayakan “kemenangan” ini.
Tapi, ada 240 pencari nafkah yang menjadi korban. Orang ini tak peduli swasta vs kraton, yang orang ini pedulikan adalah makanan yang harus tersedia, uang jajan anak, listrik yang harus menyala. Orang-orang ini, punya pertarungan yang lebih nyata.
Memang ada janji bahwa korban PHK ini menjadi prioritas ketika rekruitmen karyawan di bawah manajemen baru. Tapi apakah “janji” dan “prioritas” adalah yang mereka harapkan?
Dalam satu malam, ada mimpi dan rencana masa depan direnggut. Dalam satu malam, mereka menjadi pengangguran. Tanpa sempat ada perlawanan maupun mediasi. Bicara perlawanan, siapa sih yang berani melawan keputusan ini. PT AMI yang akan mengelola Ibis Malioboro Hotel dan Malioboro Mall adalah BUMD Daerah Istimewa Yogyakarta. Ada citra dan kharisma Sri Sultan HB X di sana.
Sebenarnya Sultan punya banyak cara untuk menunjukkan kedigdayaan. Termasuk melakukan intervensi dari PHK massal ini. Sultan adalah figur yang dinantikan welas asih dan pengayomannya, karena memang itulah yang diharapkan dari seorang pemimpin: tangan yang tak berhenti menolong dan memberi kedamaian. Begitulah idealnya.
Namun, dunia ini, selalu jauh dari ideal.
Janji “tidak ada kemiskinan di sumbu filosofi” menjadi tanda tanya. Apakah demi mencapai kejayaan itu, ada warga Jogja yang harus dikorbankan? Terutama warga Jogja yang bertahun-tahun hidup dan mencari nafkah di Ibis Malioboro Hotel serta Malioboro Mall? Apakah PHK 240 orang ini, mencerminkan kesejahteraan di sumbu filosofi?
***
Martir, selalu diromantisasi sedemikian rupa. Dilepas dengan penuh penghormatan, dijadikan epos, dan dijadikan suri tauladan. Namun, jika Anda mau sedikit curiga, orang yang kerap meromantisasi martir adalah orang-orang yang berada di tangga sosial teratas. Dan siapa yang diuntungkan oleh adanya martir?
Tepat, orang-orang yang berada di tangga sosial teratas.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Gubernur Baru Jogja: Semoga Lebih Baik ya, Pak!