Putra Pra Ramadhan atau Putceh sangat berhak untuk marah. Penggebuk drum band metal terbesar di Indonesia, Burgerkill, tentu tak mau lagunya yang berjudul “Tiga Titik Hitam” di-cover menjadi dangdut koplo. Melalui cuitannya d Twitter, Putceh mengatakan “haram jadah” jika sampai lagu “Tiga Titik Hitam” di-cover menjadi dangdut koplo.
Semuanya berawal dari sebuah tangkapan layar kolom komentar di YouTube RC Music, kanal yang kerap menampilkan penampilan dangdut koplo. Di video tersebut, Happy Asmara tampil menyanyikan lagu berjudul “Serana” dari For Revenge, yang tentunya diaransemen (di-cover) menjadi dangdut koplo. Lalu ada komentar yang meminta RC Music untuk memainkan lagu “Tiga Titik Hitam” dari Burgerkill. Tentu permintaan ini ditanggapi dengan kalimat “ditunggu ya” oleh RC Music.
Tangkapan layar komentar ini lalu muncul di Twitter. Ada salah satu warganet yang mengunggah tangkapan layar ini untuk membalas unggahan akun Twitter @GhibahNaqMetal. Tak lama, Putceh, drummer Burgerkill, mengutip cuitan (yang berisi tangkapan layar) itu dan menuliskan, “Hadeuh… haram jadah”, bentuk ketidaksukaan dan ketidaksetujuan.
Tak hanya Putceh yang marah dan tak suka. Banyak warganet juga menunjukkan ketidaksukaan. Bukan, ini bukan soal sentiman antargenre, setidaknya menurut saya. Ini adalah soal bagaimana sesama musisi menghargai karya. Ini soal bagaimana etika dalam meng-cover lagu orang lain, yang nyatanya masih saja menjadi masalah struktural dalam skena musik dangdut koplo.
Sebelum masuk ke etika, mari kita sedikit bahas lagu “Tiga Titik Hitam” dari Burgerkill. Bagi para Begundal (fans Burgerkill) dan pecinta musik metal pada umumnya, lagu “Tiga Titik Hitam” ini adalah lagu yang sakral. Terutama bagi Burgerkill, “Tiga Titik Hitam” ini sudah seperti anthem bagi mereka, yang nyaris selalu dibawakan di mana pun Burgerkill manggung.
Maka tak heran jika Putceh sebagai salah satu bagian dari tubuh Burgerkill tak sudi lagunya di-cover, apalagi jadi dangdut koplo. Selain akan merusak kesakralan dan marwah lagu, peng-cover-an ini mungkin akan membuat lagu “Tiga Titik Hitam” ini akan jadi nggak enak. Saya, sebagai seorang Begundal, juga sama dengan Putceh, tak rela lagu “Tiga Titik Hitam” di-cover jadi dangdut koplo. Saya tak bisa membayangkan, dan tak mau membayangkan.
Oke, mari kita masuk ke permasalahan sesungguhnya. Soal etika dan batas. Bagaimana etika meng-cover lagu dan apa saja batas-batas ketika meng-cover lagu orang? Inilah yang menjadi masalah di dalam skena dangdut koplo. Dangdut koplo yang (akui saja) tumbuh dari kultur bajakan, nyatanya masih mempertahankan kultur bajakan di era sekarang, era yang sudah tidak zaman lagi melakukan pembajakan. Dan meng-cover lagu orang tanpa izin itu sama dengan membajak.
Inilah etika dasarnya: izin. Sebagai pelaku musik yang ingin meng-cover lagu orang lain, langkah pertama yang harus dilakukan adalah meminta izin kepada pihak yang mempunyai lagu. Ibaratnya, izin ini merupakan gerbang pertama dalam proses cover lagu. Jika izin sudah didapat, langkah kita untuk meng-cover lagu sudah bisa dikatakan mulus. Namun jika tidak dapat izin, ya jangan sekali-kali mencoba nekat untuk meng-cover lagu jika tak mau urusannya jadi panjang.
Etika cover lagu juga tak hanya meminta izin, meski izin saja sebenarnya sudah cukup. Ada juga soal pencantuman kredit pencipta dan penampil (musisi yang pertama kali membawakan atau yang punya hak) lagu, yang mana ini juga tak boleh disepelekan. Ada juga nanti hitung-hitungan royalti jika lagu yang di-cover akan dikomersilkan. Itu sebenarnya ranahnya label.
Dari sini kita sebenarnya bisa memahami mengapa Putceh tak setuju dan tak senang jika lagu “Tiga Titik Hitam” di-cover menjadi dangdut koplo oleh RC Music. Saya menduga (dan sepertinya benar), pihak RC Music belum meminta izin kepada Burgerkill sebagai si empunya lagu. Izin cover lagu aja nggak dapat, kok ya masih pede mau cover.
Lalu soal batas, apa saja batas-batas dalam meng-cover lagu orang? Sebenarnya nggak ada batas-batasnya, sih. Maksudnya, batas itu tidak terlalu berlaku ketika kita sudah mengantongi izin dari label atau si empunya lagu. Kalau izin sudah dikantongi (beserta semua persyaratan cover lagu lainnya), maka kita sebenarnya bebas mau mengaransemen lagu orang dengan berbagai macam genre atau berbagai macam gaya. Bebas, tapi tergantung kesepakatan.
Namun, tetap ada yang harus diperhatikan. Selain soal pencantuman pencipta atau si empunya lagu dalam kredit, cover lagu sebaiknya tak mengubah esensi lagu (terutama lirik). Tentu kita masih ingat bagaimana geramnya Is Pusakata (ex Payung Teduh) ketika lagu “Akad” diganti liriknya. Lirik yang seharusnya “kuingin kau menjadi istriku” kerap diubah menjadi “kuingin kau menjadi temanku/pacarku”. Ini jelas mengubah esensi lagu, dan ini adalah batas yang sebaiknya jangan dilanggar.
Satu lagi yang harus diperhatikan adalah tentang monetisasi. Sebaiknya, ketika kita meng-cover lagu orang dan mengunggahnya di YouTube, tak perlu lah dimonetisasi. Apalagi kalau kita hanya sekadar izin saja tanpa ada perjanjian komersil dengan label. Mending jangan, daripada nanti diklaim oleh penyanyi asli dan jadi panjang masalahnya.
Itulah etika dan batasan ketika kita meng-cover lagu orang. Ini juga bisa jadi kritikan untuk skena musik dangdut koplo yang masih saja mengabaikan soal etika dan batas ketika meng-cover lagu orang. Kalau meng-cover lagu dangdut yang lain mungkin masih bisa dimaafkan dan dimaklumi. Namun, kalau sudah meng-cover lagu orang dari genre lain, ya sebaiknya etika dan batasan ini diperhatikan.
Sayang aja kalau etika dan batasan ini tidak diperhatikan. Skena musiknya sudah bertumbuh dan berkembang, tapi urusan etika cover lagu kok ya masih terbelakang.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kultur Cover Lagu di Kafe dan Minimnya Pengetahuan Soal Performing Rights