Pasar Kliwon Kudus dulu adalah ikon keramaian. Orang berdesakan di lorong sempitnya, menawar kain, sepatu, hingga sembako. Sekarang suasananya jauh berbeda. Para pedagang sering kali hanya duduk menunggu, kadang sampai bosan karena pembeli jarang datang.
Fenomena ini bukan hanya cerita di pusaran warkop. Media lokal dan nasional mencatat keluhan para pedagang. Radar Kudus misalnya, menulis bahwa pedagang sembako di Pasar Kliwon mengeluh sepi pembeli menjelang Lebaran karena orang lebih suka belanja online. Bahkan Antara News sudah menulis sejak 2020, pedagang grosir aksesori menyebut pembeli dari luar kota yang biasanya kulakan besar sampai tidak ada lagi yang memesan barang.
Faktor pandemi memang punya peran besar, tapi tidak sepenuhnya jadi alasan. Pergeseran gaya belanja masyarakat pun berperan. Orang tidak lagi rela berpanas-panasan di pasar. Mereka memilih aplikasi di ponsel yang bisa diakses sambil rebahan. Ditambah, seringkali harga di pasar juga lebih mahal, serta pelayanannya tidak ramah.
Pasar Kliwon yang pernah jadi kebanggaan
Terlepas dari fenomena tersebut, satu hal yang perlu dipahami, Pasar Kliwon bukan sekadar pasar. Situs resmi Pemerintah Kabupaten Kudus menulis bahwa pasar ini adalah pusat grosir terbesar di Kudus, bahkan se-Karisidenan Pati. Lokasinya strategis di Jalan Jenderal Sudirman, tak jauh dari pusat kota. Jumlah pedagangnya ribuan, dengan kios dan los yang berderet rapat, menawarkan segala kebutuhan mulai dari konveksi, tekstil, sepatu, tas, aksesori, peralatan rumah tangga, hingga sembako.
Detik Jateng menyebut ada sekitar 2.500 pedagang yang menggantungkan hidup di sana. Setiap harinya, dulu, ribuan orang bisa datang berbelanja. Besarnya perputaran uang membuat Pasar Kliwon bukan hanya urusan jual beli, tetapi juga denyut nadi ekonomi lokal. Bahkan menurut Republika (2017), pasar ini sempat diproyeksikan jadi obyek wisata belanja.
Semua itu menunjukkan betapa besar nama Pasar Kliwon. Bukan pasar kecil pinggiran, melainkan salah satu pusat perniagaan yang paling dikenal di Kudus. Maka, ketika kabar sepi pembeli berulang kali muncul di media, jelas itu sesuatu yang miris.
Pengalaman yang tak bisa dilupakan
Saya masih ingat pada 2015, sepuluh tahun lalu. Saat itu saya datang ke Pasar Kliwon Kudus untuk membeli sepatu. Suasananya ramai sekali. Saya memilih satu pasang dan membayarnya tanpa banyak tawar-menawar. Pengalaman itu masih terasa lumayan, tidak ada masalah berarti.
Beberapa waktu kemudian saya kembali, kali ini untuk mencari jaket. Saya membayangkan pasar grosir pasti lebih murah. Nyatanya, harga yang saya temui justru mahal sekali. Lebih buruk lagi, pelayanan yang saya terima jauh dari ramah. Saya merasa dianggap remeh hanya karena membeli satu barang. Seakan saya bukan pembeli, melainkan orang yang mengganggu.
Ternyata pengalaman itu bukan hanya milik saya. Dari pelbagai postingan di media sosial, banyak orang menyebut hal serupa. Ada yang menulis penjualnya jutek, ada yang merasa tidak dihargai. Dalam bahasa Jawa mereka bilang ora ngajeni, padahal sama-sama tukang makan nasi, sama-sama butuh jual beli.
Jika pelayanan semacam itu dibiarkan, bukan hal aneh bila pembeli makin menjauh dari Pasar Kliwon kudus. Apalagi sekarang ada marketplace. Di sana pembeli tidak merasa dijutekin, tidak perlu panas-panasan, tidak perlu bayar parkir. Mereka tinggal klik, barang datang.
Refleksi dan harapan
Saya kira, kisah Pasar Kliwon Kudus memberi pelajaran penting. Memang benar persaingan dengan marketplace membuat pedagang pasar tradisional harus bekerja ekstra. Tapi etika berdagang tetap nomor satu. Senyum, sapa, dan penghargaan kepada semua pembeli, entah dia beli banyak atau cuma satu, tetap menjadi kunci.
Anak-anak muda Kudus sebenarnya sudah mulai mencari solusi. Radar Kudus pernah menulis tentang lahirnya aplikasi Mider, yang membantu pedagang pasar menjual barangnya secara daring. Upaya seperti ini patut didukung. Tetapi tanpa perbaikan sikap penjual di lapangan, aplikasi sehebat apa pun bisa berakhir sia-sia.
Selain itu, Pasar Kliwon juga masih punya modal besar untuk tetap berdiri, yakni reputasi, lokasi, dan jumlah pedagang. Namun sekali lagi, modal itu bisa tergerus jika pengalaman belanja terus membekas buruk di hati pembeli. Saya berharap pedagang mau berkaca, pemerintah memberi fasilitas, dan pembeli pun memberi kesempatan.
Jika semua itu berjalan, mungkin saja Pasar Kliwon bisa kembali riuh seperti dulu, bukan hanya tinggal nama di arsip berita bertajuk keluhan.
Penulis: Budi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kabupaten Kudus Memang Layak Dinobatkan sebagai Kabupaten Terkaya di Jawa Tengah, Inilah Alasannya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.



















