Pagelaran wayang, sebuah pertunjukan yang unik karena ada banyak peralatan yang terlibat di dalamnya. Ada peralatan utama maupun yang bersifat penunjang. Peralatan utama adalah boneka-boneka wayang, kotak, gedhog atau cempala, keprak, kelir atau layar, debog atau batang pohon pisang, blencong atau pelita, dan gamelan. Adapun peralatan pendukung ada tata lampu, sound system, panggung, dan sebagainya. Bahkan, kemajuan teknologi digital juga ada video streaming sebagai pelengkapnya.
Setiap peralatan pagelaran memiliki fungsi berbeda-beda menurut tujuan digunakannya. Umumnya, peralatan ini digunakan secara bersamaan dan saling melengkapi sehingga tercipta kesan estetis dalam setiap pertunjukan wayang kulit. Karena bersifat estetis, peralatan utama pagelaran wayang tentu memiliki makna atau nilai. Untuk mengulas bagaimana bisa peralatan pagelaran bisa menandai kehidupan dalam wayang, salah satunya kita bisa menyimak dari janturan sang dalang.
Janturan atau prolog adalah pembacaan sinopsis cerita dan disertai dengan pesan-pesan simbol kepada penonton. Saat janturan ini, dalang juga menjelaskan hakikat wayang dan pagelaran sebagai gambaran kehidupan manusia. Dalam setiap pagelaran, selalu mengisahkan tentang kebaikan dan keburukan tokoh wayang. Dari kebaikan dan keburukan ini, diharapkan penonton mampu memetik hikmahnya.
Sebelum merujuk pada perangkat yang dijelaskan dalam janturan, penulis teringat dalam satu webinar yang disiarkan oleh Pura Pakualaman yang membahas tentang wayang. Dalam webinar tersebut, diterangkan oleh Pak Rudy Wiratama bahwa boneka wayang adalah satu kesatuan utuh. Kita tidak bisa mencirikan atau meniru tokoh A maupun B, tetapi secara universal semua dalam kotak wayang adalah gambaran watak manusia. Artinya, ada kemungkinan manusia berbuat baik dan juga sebaliknya.
Dalam janturan yang pernah penulis simak dalam pagelaran wayang kulit Ki Manteb Soedharsono bahwa kelir yang digelar diumpamakan sebagai dunia yang dihamparkan (kelir ginelar pindhane jagad gumelar), blencong sebagai penerang dunia (blencong minangka oboring jagad), gedhog-keprak sebagai detak jantung boneka wayang (gedhog-keprak ibarat keteging jejantung), gamelan dan tembang pengambaran suka duka kehidupan manusia (pradangga lan tembang dadi gegambaraning urip bungah-susah), dan sebagainya.
Pertama, kelir sebagai gambaran alam atau jagat. Secara fisik, kelir adalah kain putih yang direntangkan sebagai layar pertunjukan. Hal unik dari kelir adalah warna putih yang melambangkan sesuatu yang bersih, suci, dan sebagainya. Harus disadari bahwa alam ini juga bersifat bersih dan suci. Adanya bayang-bayang hitam dalam kelir karena adanya kehidupan wayang. Artinya, segala sesuatu terjadi di dunia ini, baik yang membangun atau merusak, disebabkan karena ulah manusia.
Kedua, blencong sebagai penerang dunia. Dalam pagelaran wayang, blencong adalah komponen penting kedua dalam pagelaran. Pada zaman dahulu saat pagelaran wayang masih menggunakan nyala api sebagai penerang, seorang panyimping atau asisten dalang juga bertugas menjaga api blencong tetap menyala selama pagelaran. Sampai saat ini, apabila blencong padam maka pagelaran wayang pun dijeda sampai blencong menyala kembali.
Secara kontekstual terhadap makna blencong ini adalah manusia membutuhkan sumber cahaya. Tidak hanya manusia saja, tumbuhan, hewan, dan organisme lain pun juga membutuhkan cahaya. Penafsiran dan fungsi cahaya inipun bermacam-macam menurut sudut pandang pembahasannya, bisa bermakna konotasi sebagai petunjuk kehidupan atau bermakna denotasi sebagai sumber energi atau penerang.
Ketiga, gedhog-keprak sebagai detak jantung. Secara biologis, makhluk dikatakan hidup apabila jantung masih berdetak. Detak jantung yang terjadi dalam setiap organisme akan membentuk sebuah ritme. Gedhog dan keprak dikatakan sebagai detak jantung karena mengatur tingkat ritme gerak wayang maupun ritme dalam iringan gamelan. Semakin cepat ketukan dalam gedhog dan keprak, semakin cepat pula ritme dalam iringan dan gerakan wayang yang dimainkan.
Kita sadari atau tidak ritme kehidupan akan terus berjalan seiring perputaran dunia itu sendiri. Alunan keprak dan gedhog tetap berjalan selama pagelaran wayang berlangsung. Dilema yang mungkin muncul dari ritme kehidupan dan “pagelaran” dunia ini adalah bagaimana manusia merespon ritme kehidupan yang terus mengalir. Apakah biasa saja, kaget, atau antisipatif?
Keempat, gamelan dan tembang sebagai penggambaran susah-senangnya kehidupan. Dalam pagelaran wayang, ada sulukan dan gendhing. Dalam sulukan ini, masih dibagi lagi menjadi beberapa jenis seperti ada-ada untuk adegan perang atau marah, sendhon untuk adegan sedih, dan pathetan untuk awalan adegan seperti biasanya. Dalam gendhing pun sama, ada beberapa iringan yang memiliki makna-makna tertentu.
Makna yang bisa kita ambil dari hal ini adalah kesenangan maupun kesedihan di dunia itu tidak ada yang abadi. Dengan kehidupan yang berdinamika ini, manusia dituntut untuk berfikir lebih mendalam tapi tidak mbateg. Apapun bentuk nikmat dan ujian kalau dijalani dengan setulus hati, pasti akan menjadi sebuah kenikmatan tersendiri dalam hidup. Pikiran jernih, hati pun bersih.
Peralatan dalam pagelaran tidak hanya sekadar benda saja. Ternyata, ada makna yang sangat tinggi dalam setiap bagiannya. Wajar saja jika UNESCO mengakui bahwa wayang adalah karya agung warisan budaya dunia sebab ada banyak nilai-nilai filsafat dan edukasi dalam seni budaya, dan salah satu yang terkadang luput dari pandangan kita dalam dunia pewayangan adalah peralatannya itu sendiri.
BACA JUGA Gunungan: Penanda Waktu Pagelaran Wayang dan Simbol Kehidupan dan tulisan Mukhammad Nur Rokhim lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.