“Nanti kalau saya udah ndak ada terus piye yo, gimana yo,” kata Megawati di sebuah forum. Kalimat tersebut dicibir banyak orang. Megawati dianggap “berlebihan” karena Indonesia akan baik-baik saja. Masih banyak, kok, yang peduli dengan kondisi negeri ini, salah satunya Nasida Ria.
Nggak cuma kondisi Indonesia, Nasida Ria bahkan peduli dengan perdamaian dunia. Lagu-lagu mereka sudah menjadi etalase terbaik untuk menegaskan bahwa ada sebuah grup dari Semarang dengan kepedulian tinggi.
Diam jadi legenda, bergerak menggemparkan Eropa. Itulah yang terjadi belum lama ini. Sebuah grup legendaris dari Indonesia, yang gaungnya dianggap sudah mulai pudar. Namun, jangan salah, begitu “bergerak”, mereka mengguncang Eropa.
Nasida Ria tampil sebagai pembuka di acara seni akbar kelas dunia bernama “Documenta Fifteen” yang dihelat di Jerman. Baru cek suara saja sudah banyak pengunjung yang terkesima. Beberapa tertangkap kamera sampai bergoyang, meski nggak paham lirik dan corak musiknya.
Iya. Bukan crazy rich, bukan artis yang nikah sama orang asing, bukan selebritis cerdas lulusan universitas kelas dunia. Bukan itu semua yang bisa dengan mudah menyampaikan pesan perdamaian ke penjuru dunia secara langsung. Sebuah kearifan lokal bernama Nasida Ria yang berhasil melakukannya.
Diam jadi legenda, bergerak menggemparkan Eropa. Saya rasa, Ibu Megawati nggak perlu sampai khawatir. Jika, mohon maaf, suatu saat nanti Ibu Mega nggak bisa lagi berkarya untuk Indonesia, sudah ada yang “meneruskan”. Bahkan, sekali lagi maaf, lebih mudah diterima oleh semua golongan.
Kepergian Ibu Mega tentu akan ditangisi oleh Indonesia. Namun, Nusantara bisa dengan mudah move on karena sudah ada yang meneruskan. Mungkin kader PDIP akan sangat kehilangan, tapi jangan terlalu larut karena Indonesia punya kearifan lokal dengan daya pikat luar biasa.
Hebatnya, Indonesia nggak perlu mencari atau menduplikasi “kearifan lokal” dari luar. Nasida Ria, super group yang sudah berdiri sejak 1975 ini bisa diandalkan, kok.
Dulu, di awal 2000an, mereka sempat populer untuk kemudian kehilangan gaungnya. Namun, beberapa tahun terakhir, pesona Nasida Ria ternyata masih kuat. Nama besar mereka masih bersemayam di benak rakyat Indonesia. Dari wong cilik, sampai pembesar.
Buktinya, mereka sampai diundang ke Jerman untuk menjadi pembuka sebuah festival kelas dunia. Mereka, yang beranggotakan Rien Djamain (bass gitar), Afuwah (kendang), Nadhiroh (biola), Nurhayati (biola), Sofiatun (keyboard), Hamidah (seruling), Nurjanah (gitar), Uswatun Hasanah (gitar), Titik Mukaromah (gitar), Siti Romnah (piano), dan Thowiyah (kendang) tidak akan mengecewakan.
Sembilan perempuan hebat ini berani menyuarakan pesan perdamaian di penjuru Eropa. Lagu-lagu mereka, yang dirancang dengan judul menghentak, bakal jadi orasi terbaik. Lewat nomor “Kebaikan Tanpa Sekat”, “Damailah Palestina”, “Dunia Dalam Berita”, hingga “Bom Nuklir”, Nasida Ria berusaha mengingatkan dunia akan pentingnya kasih sayang dan nikmatnya damai.
Oleh sebab itu, dear Ibu Mega yang kata Pak Jokowi aura kecantikannya nggak pernah pudar, Anda nggak perlu khawatir, kok. Sehebat-hebatnya elektabilitas Ibu, karya dan kerja Ibu hanya akan membekas untuk partai saja, tidak untuk seluruh rakyat Indonesia, apalagi dunia.
Bandingkan dengan sembilan emak-emak yang sangat rendah hati dan tidak sombong ini. Di tengah gempuran musik ambyar yang menghiasi gendang telinga masyarakat Indonesia, mereka terus berkarya atas dasar memperkuat kearifan lokal sebagai seruan perdamaian.
Di tengah-tengah konflik yang terjadi di Eropa antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai, gempuran roket maupun rudal yang berseliweran, sembilan emak-emak ini dengan lantang membawakan sebuah lagu “Perdamaian” yang intinya mengkampanyekan pesan damai untuk semua golongan tanpa pandang bulu.
Mereka menutup penampilan memukau dengan “Bom Nuklir”. Mereka menggambarkan betapa bahayanya sebuah senjata pemusnah massal. Bukan hanya tentara yang jadi korban, tapi juga rakyat sipil yang tidak punya dosa dan tidak menghendaki perang.
Atas sepak terjangnya ini, Nasida Ria berhasil menggoyang Eropa dan dunia.
Penulis: Atho Sabili M.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Water Seven dan Pekalongan Itu Sama, Sama-sama Hampir Tenggelam.