Katanya, Yogyakarta itu kota pendidikan. Isinya sekolah-sekolah negeri favorit. SMP ada SMPN 8 dan SMPN 5. SMA? Jangan ditanya, SMAN 3, SMAN 1, dan SMAN 8 anteng saja di deretan teratas. Konon, kalau bisa masuk ke sekolah favorit ini, otomatis kamu dapat cap “calon orang sukses”. Soal angka, akademik, disiplin, dan prestasi? Sudah tak perlu diragukan. Tapi coba kalau kamu kebetulan anak seni. Mungkin rasanya seperti acar di nasi goreng. Ada atau tidak ada juga tak terasa, alias kamu tidak dianggap.
Saya pernah merasakan bangku salah satu SMA negeri favorit di Yogyakarta. Katanya, tempat ini menampung anak-anak terpilih dari berbagai sudut kota dan kabupaten. Dulu, waktu diterima, senangnya bukan main. Sudah terbayang lingkungan yang mendukung integritas. Sudah terbayang juga nama saya dipajang sebagai siswa berprestasi, dan tentu saja, imajinasi liar jadi murid kebanggaan guru karena berhasil mengharumkan nama sekolah. Tapi, saya salah. Semua imajinasi itu terpatahkan, bahkan setelah saya berhasil mengharumkan nama sekolah di tahun pertama.
Daftar Isi
Apresiasi yang tidak mengena di hati
Di sekolah saya, tiap Senin itu semacam parade prestasi. Bukan cuma karena upacaranya yang panjang, tapi hampir tiap minggu ada saja siswa yang dipanggil ke depan untuk diberi selamat atas kemenangan mereka. Tapi sebagai seseorang yang berprestasi di bidang seni, saya menyadari satu hal: tak semua kemenangan diperlakukan setara.
Di tahun kedua, saya ikut kompetisi Musabaqah Tilawatil Qur’an Nasional cabang Nasyid. Sebuah cabang seni yang erat kaitannya dengan nilai-nilai keagamaan. Lawannya se-Indonesia Raya. Saya mewakili daerah, terbang jauh ke Makassar, dan bawa pulang gelar juara satu. Sebuah pencapaian yang menurut saya, tidak kalah penting dibanding lomba akademik.
Tapi apa bentuk apresiasi yang saya dapat? Dipanggil ke depan saat upacara. Lalu, selesai.
Sementara siswa yang meraih medali emas dalam lomba sains prestisius, disambut dengan pengalungan bunga dan sorakan. Disebut dalam pengumuman sekolah, dipuji guru-guru, bahkan namanya ditulis besar-besar di papan informasi.
Saya tidak iri pada pencapaiannya. Saya justru salut. Tapi saya jadi bertanya-tanya: kenapa bentuk perjuangan yang berbeda harus dibedakan juga perlakuannya? Mungkin kalian tidak percaya, tapi semakin banyak prestasi yang saya torehkan, semakin banyak pula ujaran kebencian yang saya terima. Bukan soal iri dan dengki, melainkan “melawan ajaran agama”. Lucunya, lomba saya adalah nasyid, yang jelas-jelas di ranah religi, tapi justru dijadikan bahan tuduhan bahwa saya menistakan agama.
Alasannya? Karena saya perempuan. Katanya, perempuan enggak boleh bernyanyi. Katanya, suara perempuan itu aurat.
Diabaikan, dilupakan
Padahal yang saya lakukan bukanlah kejahatan atau tindakan kriminal. Saya hanya menjuarai lomba nasyid resmi tingkat nasional. Diselenggarakan oleh lembaga yang sah. Dengan juri yang kompeten. Dengan pesan-pesan dakwah. Tapi tetap saja, ada yang merasa berhak menghakimi.
Lebih menyakitkan lagi, saat sebagian besar guru pun memilih diam. Tak ada yang mencoba memberi dukungan moral secara terbuka, atau sekadar menunjukkan bahwa saya tidak salah mengambil jalan ini. Beberapa guru hanya bertanya sekenanya, “Kamu ikut lomba itu?”, tanpa ada kelanjutan diskusi atau bentuk empati.
Bahkan ketika saya lolos lomba menyanyi tingkat nasional dan berhak maju ke Jakarta, saya sempat konsultasi ke BK karena tak punya dana untuk berangkat. Tapi sekolah tidak mau memberikan sponsor, dan akhirnya saya harus merelakan kesempatan itu hilang begitu saja. Padahal untuk bisa sampai ke tahap nasional, saya sudah mengalahkan puluhan peserta dari seluruh Indonesia. Rasanya seperti mimpi yang direnggut diam-diam, hanya karena bidang yang saya perjuangkan bukanlah “prioritas” di mata sekolah.
Seni sering kali dianggap sebagai pelengkap, bukan prestasi utama. Padahal, proses saya menuju kemenangan lomba itu penuh perjuangan, latihan hingga larut malam, pengorbanan waktu, tekanan mental, serta biaya pribadi. Sama beratnya dengan mereka yang berjibaku dengan teori dan eksperimen. Bahkan saya juga harus menyeimbangkan “angka” akademik. Tapi tetap saja, penghargaan yang saya terima seolah-olah hanya formalitas.
Prestasi anak seni tidak dianggap oleh sekolah
Di sekolah saya dulu, ada semacam hierarki tak kasat mata soal prestasi. Akademik, terutama sains dan penelitian, berada di puncak. Di bawahnya, mungkin ada olahraga atau debat. Di bawahnya lagi, seni, yang sering dianggap sebagai “hobi” dan bukan kompetensi.
Saya tidak menyesal memilih jalan seni. Tapi saya sedih, karena di tempat yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, penghargaan hanya diberikan untuk hal-hal yang masuk kategori “serius” versi mereka sendiri. Padahal, tanpa seni, takkan ada panggung megah untuk wisuda. Takkan ada mars sekolah yang dinyanyikan penuh bangga. Tak ada mading menarik yang membuat lorong terasa hidup. Tak ada video dokumentasi yang bisa dikenang, tak ada musik penyemangat saat OSIS bekerja. Semua akan terasa sunyi.
Pahit getir di masa sekolah
Saya yakin banyak anak seni di sekolah-sekolah favorit yang merasakan hal serupa. Bahwa mereka diperlakukan seperti figuran dalam cerita besar bernama “prestasi akademik”.
Di akhir masa sekolah, saya membawa kenangan manis dan getir. Saya bangga dengan apa yang saya capai, tapi juga kecewa dengan sistem yang belum sepenuhnya adil. Saya hanya ingin suatu hari nanti, ketika ada anak seni lain berdiri di podium nasional, mereka tidak hanya diberi upacara, tapi juga tepuk tangan yang sama meriahnya.
Tenang, saya tidak berharap semua orang mendadak paham seni. Tapi saya berharap sekolah-sekolah yang katanya favorit bisa mulai membuka mata. Bahwa ada banyak bentuk kecerdasan, banyak wujud kehebatan, dan banyak cara untuk mengharumkan nama sekolah. Selama ini, anak-anak seni sudah terlalu sering dikesampingkan, padahal merekalah yang diam-diam menjaga semangat, warna, dan rasa di tengah kerasnya tekanan akademik. Sudah saatnya apresiasi tak lagi eksklusif untuk angka dan medali, tapi juga untuk makna dan keberanian.
Penulis: Bilqista Ratu Jini
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Calon Orang Sukses di Jogja Biasanya Pernah Belajar di Sekolah Favorit