Hampir tiap jenjang pendidikan, baik itu dari SD hingga kuliah, makian dari fans Manchester United adalah makanan pokok saya. Bukannya mbebeki atau nangis, saya heran, kok demit macam mereka ini ada di mana-mana.
Ketika menengok catatan sejarah, saya sebagai fans Liverpool garis kenyal hanya bisa legowo. Beberapa dekade terakhir adalah milik mereka.
Hampir semua fans Manchester United yang saya kenal dan terlibat adu mulut, tidak pernah ujung-ujungnya ngadu piala ketika kalah debat. “20 EPL buos,” atau “EPL terbanyak, buos,” hampir tidak pernah. Mereka selalu mengandalkan keberdaan Wayne Rooney hingga Cristiano Ronaldo ketika masih merumput bersama mereka. Dan itu adalah sebuah kewajaran. Pol mentok, belakangan ini, nama Sir Alex Ferguson selalu dibawa-bawa. Itu juga nggak masalah.
Tiba-tiba, ketika sedang asyik bercocok tanam karena saya berjanji akan menanam Gelombang Cinta ketika Liverpool juara liga, ada sebuah artikel di Mojok berjudul “5 Alasan Mengapa Manchester United Pantas Dibenci Banyak Suporter Bola”. Saya sudah mengira tulisan ini akan memuat twist yang enak dibaca dan membuat saya mengangguk-angguk semisal keluar dari pakem kick and rush kala itu.
Ternyata isinya tak lebih dari sekadar terma-terma anak SD ketika sedang debat semisal “piala” dan “terbanyak”. Saya tidak menyalahkan, memang itu kan faktanya. Namun, fans Manchester United yang saya kenal lebih suka berargumen soal cara bermain (di masa Sir Alex) dan membombardir managemen sendiri yang sedang keropos (setelah zaman Sir Alex).
Saya membaca argumen Mas Alif ini lalu kemekelen sambil mengingat masa SD saya. Bukan apa-apa, terakhir fans Manchester United yang berdebat ujung-ujungnya ke jumlah piala ya hanya ketika SD saja. SMP saja bahasan fans MU sudah ke regenerasi lini serang atau pencarian kiper hebat. “MU itu jeli, beli De Gea. Sedangkan Liverpool ancur-ancuran, kan?” itu adalah contoh “bullying” yang terhormat, Mas Alif.
Setelah saya telusuri lebih jauh, ternyata Mas Alif juga menulis tentang “Liverpool yang Juara, Kenapa MU yang Dihina? Norak!”. Asal Mas Alif tahu, ya, karena saat ini adalah waktu yang tepat untuk counter-attack memberi argumen macam “Liverpool itu jeli, beli Van Dijk. Sedangkan pertahanan MU ancur-ancuran, kan?”.
Kecuali kalau argumen Anda macam “punya piala Liga Inggris terbanyak”, ya jelas kami jadi kalap karena konteksnya saja nggak masyok. Ada Kopites kenalanmu yang bilang “Udah 6 UCL belum?” Itu keluar karena mencoba mengibangi konteks adu bacot Anda yang levelnya masih membenturkan dua hal bernama piala dan jumlah.
Untuk tulisan Mas Alif yang pertama, ketika mengatakan, “Kenapa harus ada yang dihina setelah Liverpool juara? Dan kenapa lagi-lagi harus Manchester United?” saya bisikin sesuatu, pengakuan itu membosankan, Mas.
Fans Manchester United yang saya kenal, menerima semua kowar-kowar dengan tabah asal dasarnya ngenyek-nya jelas. Dan bahkan ada yang neraktir kawan Kopites-nya sebagai sarkas buka puasa piala liga. Itu sebuah sindiran yang lebih elegan, bukan? Itulah fans MU yang saya kenal. Yang setidaknya mengerubungi circle pergaulan saya. Semisal di sosial media beringas, ya saya nggak tahu. Nggak ngurus juga.
Perihal saling ejek, jika boleh beragumen, persaingan Manchester United dan Liverpool itu tidak membutuhkan pengakuan siapa yang paling kuat dari masing-masing pihak. Jika itu terjadi, di mana lagi esensi serunya North-West derby? Jika di stadion bisa adu chants, semisal di layar kaca bagaimana selain debat-debat unyu, Mas?
Pengakuan dan memberikan selamat itu berbeda maknanya. Sejak jaman Pelabuhan Liverpool menjadi tulang punggung industri Kota Manchester, sampai Margaret Thatcher jadi orang penting di tanah Britania, sepak bola layar kaca ya hanya bisa mengandalkan adu bacot saja.
Mas Alif yang baik, saya bukan bermaksud melanggengkan tensi kekerasan karena budaya Hooligan dan sub-sub kulturnya kebanyakan stigma seperti itu. Kita batasi hanya sampai kowar-kowar dan adu bacot pendukung layar kaca saja. Pun kowar-kowar punya makna yang beragam selain adu bacot tok lho. Ada tata krama yang harus dijunjung termasuk tidak melibatkan fisik dan sara. Nggak tahu, kan? Sekali-sekali masuk ke alam liar debat di kolom komentar grub Facebook. Jangan Cuma lihat adu bacot di Extra Time saja.
Kalau bilang “persaingan hanya 90 menit saja,” bakal digeguyu sak stadion, Mas Alif. Suporter sana menyiapkan chants, koreo dan gerakan, demi hari H pertandingan. Persaingan tetap ada dan selalu ada, baik itu belum, selama dan pasca 90 menit. Tiga hal tersebut menjadi kisah, tensi dan makna tersendiri. Kalau untuk kita, suporter layar kaca, 90 menit juga nggak cukup. Buat apa ada orang modelan Justin kalau sepakbola dianggap hanya satu pertandingan saja.
Kalau suporter di Inggris berteriak di stadion, ya kita bisa apa selain berdoa disertai usaha? Usahanya ya apa lagi selain adu debat. Mau trek-trekan muter ringroad pakai jersey Liverpool sebagai perayaan? Bukannya dikira pendukung Liverpool, yang ada malah dikira PDIP lagi kampanye. Paling nalar ya bersyukur, pestanya ya meriuhkan kolom sosial media.
Katanya, “Kebanyakan yang pada nyerang Manchester United itu cuman orang-orang iri yang merasa “puas” karena akhirnya juara.” Terus kalau habis juara setelah itu diem aja, gitu? Basis suporter MU dan Liverpool itu besar. Kalau mau diem-dieman ya rival-an saja sama anak orang kaya saudagar minyak Timur Tengah.
Mau mengajukan kontrak sosial agar kedua kubu tidak saling berdebat? Mbok sing nggenah. Duh, ngelus dodo aku. Kopites nggak ngenyek fans MU, pun sebaliknya, sehari saja deh, itu rasanya ada yang kurang. Sekecil-kecilnya lingkup persaingan, semisal dengan teman yang berbeda dukungan, saling ngenyek adalah tingkat tertinggi dari sebuah persahabatan.
Pekewuh, Mas Alif, semisal bilang “alig, alig, 20 gelar, keren kowe, dap!” terus ditimpali, “kowe juga, bos. 6 champions. Wah, aku harus berusaha lebih baik lagi untuk mengejar kamu.” Saling menjilat itu wagu. Di tongkrongan, hal ini biasanya dilakukan oleh orang yang baru kenalan. Sedangkan MU dan Liverpool ini ibarat ketua OSIS dan ketua Tonti sedang saingan bribik cewek yang sama.
Bandingan dengan seperti ini, “yang membuat saya yakin menang itu lini belakang MU sedang keropos, kawan,” terus ditimpali, “dari treknya sih MU sedang naik. Boleh dong saya berharap? Seperti kamu berharap menang kala diasuh Roy Hudgson.” lalu sampai kantin makan bareng ketawa-ketiwi, pas di kelas nyalin PR sambil guyon, lalu pas bahas bola debat lagi. Main PES, debat lagi masalah formasi dan taktik. Pas nonton Mbak Deasy Novianti di One Stop Football, rame lagi.
Titik paling menyenangkan dari kowar-kowar adalah kontemplasi bahwa fans MU dan Liverpool itu lucu. Mereka terikat walau emoh mengakui.
Stop lah bilang bola itu bundar, roda pedati kadang di atas di bawah, dan kalimat khas quotes buku SIDU lainnya. Jangan kan takdir yang berubah-ubah, posisi seks saja kan berubah-ubah dalam sepersekian menit. MU dan Liverpool pernah mengalami masa-masa indah bersama, masa-masa bangsat (yang saya akui sangat bangsat) juga ada. Tapi ya debat harus tetap berjalan semustinya, dengan bersepakat bahwa tragedi Luis Suarez memang bangsat dan layak dipisuhi bersama.
Saya nggak akan bilang “hey, fans MU, selama ini kalian kan ngejek kami, gantian dong!” nggak, Mas, saya nggak mau bilang begitu. Pengalaman itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Sama serunya seperti naik kora-kora di Sekaten yang sudah karatan. Degdegan tapu bikin ketagihan. Saya bisa jamin bukan hanya saya saja yang mengalami, hampir semua Kopites tahu rasa jatuh yang berkepanjangan ini.
Kita harus belajar bersama Carragher dan Neville. Persaingan harus panas, namun juga harus menyenangkan. Kata Dilan, reuni nggak ada anak bandel nggak rame. Sama, debat bola tanpa fans Liverpool dan MU itu hambar. Berharap apa kita dari debatnya Decul dan Dedemit? Nggak bisa diharapkan, Mas Alif.
Sebagai penutup, saya nggak mau ndakik-ndakik. Debat dengan sejumput aturan adalah salah satu dari sekian banyak di antaranya. Karena SOP debat perihal kata-kata mana yang boleh dilepaskan dan mana yang dilarang diucapkan, saya rasa fans Manchester United dan Liverpool sudah hapal di luar kepala.
Dan untuk Anda, jika kualitas argumen hanya berkutat seputar piala (entah itu sarkas atau nggak, karena saya nggak menemukan di mana letak sarkasnya), argumen Mas Alif sama seperti argumen anak SD yang baru tumbuh jembut dua helai.
BACA JUGA No Debat! One Piece Lebih Baik daripada Naruto dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.