Seyogianya mahasiswa tingkat akhir, yang namanya Kuliah Kerja Nyata (KKN) tentu menjadi momen paling ditunggu. Di samping karena menjadi syarat rukun yang harus ditempuh sebelum ke jenjang skripsi, Program KKN juga menjadi idaman karena menyimpan sejuta kenangan yang hanya bisa didapat sekali selama delapan semester. Bisa jadi sekali seumur hidup.
Lalu bagaimana jika mendadak program ini ditiadakan?
Begitulah kegetiran yang melanda sebagian kalangan mahasiswa hari-hari ini, termasuk tidak sedikit kawan saya dari Universitas Islam Negeri. Imbas dari pandemi Covid-19 memang menyasar hampir di semua sektor, dunia pendidikan salah satunya.
Karena masih belum jelas kapan wabah ini bakal kukut dari muka bumi, perkuliahan khususnya di kampus-kampus Islam di bawah naungan Kemenag akhirnya dialihkan ke sistem daring selama satu semester penuh. Kebijakan tersebut merujuk pada surat edaran dari Direktorat Jenderal Pendidikan Islam nomor 697/03.2020 yang menegaskan, hari ini keselamatan dan kesehatan civitas akademika Perguruan Tinggi Keagaaman Islam menjadi prioritas utama.
Ternyata tidak cukup sampai di situ. Jumlah pasien positif Covid-19 di Indonesia yang hampir menyentuh angka dua ribu membuat kelas birokrat harus mengakali lagi program-program kampus yang dijadwalkan eksekusi pada bulan-bulan pasca lebaran. Satu dari sekian program tersebut ya KKN itu tadi. Sebagaimana sistem belajar mengajar yang dioptimalkan melalui media online, para birokrat harus merancang ulang agar program KKN tetap jalan tapi juga tidak melanggar prosedur PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang telah diberlakukan oleh pemerintah.
Hingga akhirnya, tertanggal 3 April 2020 Kemenag melalui Direktur Pendidikan Tinggi Agama Islam—M. Arskal Salim GP—mengeluarkan surat lanjutan bernomor 697/03/2020 yang khusus membahas kebijakan-kebijakan di bidang Liptadimas (Penelitian, Publikasi Ilmiah, dan Pengabdian Kepada Masyarakat).
Disebutkan pada poin B tentang Pengabdian Kepada Masyarakat, Kemenag menawarkan dua opsi kaitannya dengan pelaksanaan program KKN. Opsi pertama, khusus KKN Internasional dibekukan sampai akhir tahun anggaran 2020. Opsi kedua, memberikan dua alernatif untuk program KKN Reguler yakni, KKN-DR (KKN dari Rumah) dan KKN-KS (KKN-Kerja Sosial).
Lebih jelasnya mungkin kawan-kawan—khususnya yang dari PTKIN—bisa mengaksesnya di laman resmi instansi terkait. Di sini saya hanya mau menegaskan, pada intinya meski masih terprogram secara riil, tapi jangan berharap alternatif KKN tersebut sama seperti yang sudah dilakoni kakak-kakak tingkat kita sebelumnya. Nggak ada lagi terjun ke desa-desa, nggak ada lagi pembentukan kelompok dengan anak-anak fakultas lain, yang otomatis juga nggak bakal ada keseruan yang sudah jauh-jauh hari kalian bayangkan.
Pendek kata, alternatif program KKN yang ditawarkan Kemenag pada kalian itu sama dengan peniadaan KKN dalam arti pakemnya. Dengan begitu, bermodal analisa serampangan yang kebetulan disokong bukti primer dari pengakuan kakak-kakak tingkat yang saya wawancara secara acak, saya akan membeberkan beberapa kemungkinan kerugian yang bakal diderita mahasiswa seandainya kebijakan-kebijakan tersebut resmi diberlakukan. Kerugian-keriguan tersebut meliputi:
1# Nggak Bisa Ngibul
Umumnya, mahasiswa yang telah habis masa pengabdiannya, pasti akan membagikan testimoni selama satu bulan (bisa dua bulan) selama berada di desa-desa dampingan. Biasanya kalau nggak lewat caption yang lebih mirip cerita pendek di akun media sosial masing-masing, cara verbal pun nggak jadi masalah. Pokoknya yang penting bisa pamer ke orang-orang—khususnya ke aliansi mahasiswa bermasalah—kalau KKN itu seru dan menggembirakan. Macaciiii?
Namun kayaknya pemandangan ini bakal absen dari jagat pergibahan mengingat program KKN selama musim pandemi harus dikerjakan secara personal dari rumah masing-masing. Nggak seperti para pendahulunya, mahasiswa angkatan tahun ini sudah barang tentu nggak bisa mengarang bebas dan mengibuli kawan-kawannya dengan beragam model pencitraan.
Padahal dalam ekspektasi, ingin sekali mem-posting foto lagi penyuluhan. Ya, walaupun kenyataan di lapangan persentase rebahan dan riwa-riwi nggak jelas jauh lebih tinggi ketimbang ngejabanin susunan program yang sudah disusun dari kampus dengan semangat kerja keras ala Astra Terpadu. Dalam pikiran sih, sudah bayangin pas pulang nanti mau nyetak foto bareng Pak Lurah berlatar banner perpisahan buat ditempel di dinding ruang tamu. Meski sebenarnya, selama di lokasi ya bingung mau ngapain. Akhirnya “cuma” bisa ngasih les anak-anak kampung atau bantu kerja bakti kakang-kakang Karang Taruna biar kelihatan ada kerjaan.
Kenyataan pahit lainnya adalah, nggak ada lagi aktivitas bikin plakat bertuliskan arah rumah Pak Lurah, arah masjid, arah balai desa, dan gapura kampung yang sebenarnya bisa sih dikerjain sama warga situ sendiri. Dengan nggak adanya aktivitas semacam itu, ritual pamer program kerja pun terpaksa harus dipendam dalam-dalam.
Seandainya program KKN bener-bener dialihkan, ah betapa peluang untuk kibul-mengibuli itu bakal sangat minim sekali.
2# Nggak Bisa Jadi Panitian 17-an
Lantaran kebetulan desa saya merupakan salah satu desa dampingan salah satu perguruan tinggi swasta di Jawa Timur, sedikit-sedikit saya juga sering mengamati program apa saja yang sudah atau sama sekali nggak jalan dari anak-anak KKN. Dari tiga kasus KKN (beda angkatan) di desa saya, perayaan 17 Agustus menjadi satu-satunya program andalan yang seringnya berjalan sukses. Lha, program-program lain ke mana? *Manakutauuuuu
Saya berani menyebut 17-an sebagai program andalan karena kalau dilihat prosesnya nih, mahasiswa KKN ini kelihatan sangat sibuk buat nyiapin segala sesuatunya. Butuh waktu tidak cukup tiga pekan deh kalau saya hitung. Untuk menyambut pesta kemerdekaan tersebut, anak-anak KKN harus menghias jalanan desa dengan bendera merah-putih dari plastik, mengecat tembok dan pembatas jalan, membikin aneka macam kerajinan tangan yang percaya deh, itu semua sudah biasa dilakukan kakang-kakang Karang Taruna jauh sebelum bocah-bocah kota itu terjun ke desa.
Maka nggak jarang pula saya memergoki rumpian Karang Taruna ini ngetawain dan ngolok-olok para mahasiswa ini. “Masa mahasiswa kerjaannya cuma gitu. Yaowooh, Ngger… Ngger… (kata lain untuk ‘nak.. nak..’), mek ngunu wae aku yo mbauuttt (gitu aja aku ya bisa).” Duh
Dugaan bahwa event 17-an yang berisi lomba-lomba mainstream (macam makan krupuk, panjat pinang, balap karung) sebagai satu-satunya program andalan semakin menguat manakala ngelihat betapa sumringahnya wajah-wajah anak-anak KKN mengiringi usainya pekan Agustusan. Bahkan malamnya mereka bikin syukuran dengan bakar-bakar ikan di halaman pemondokan.
Dengan begitu, bayangkan saja perasaan mereka kalau tiba-tiba KKN ini nggak ada. Hmmm bakal teles kebes netes eluh cendol dawet. Sebab tanpa 17-an, KKN hanyalah sebatas kegiatan study tour tahunan yang nggak berkesan.
#3 Nggak Bisa Cinta Lokasi
Bohong kalau nak-kanak mahasiswa ini berangkat KKN tanpa ada embel-embel, “biar ketemu jodoh.” Jangankan yang jomblo akut, yang udah punya pasangan aja sudah mempersiapkan seribu satu ajian untuk sebisa mungkin memikat hati idamannya, teman satu regu.
KKN seperti kata Warkop DKI, adalah ajang untuk sambil menyelam minum air. Atau kalau kata pepatah lama, sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Jiaaaan tenaaan. Nggak afdal rasanya kalau pulang dari KKN nggak bawa oleh-oleh calon mantu buat orang tua di rumah. Untuk itulah biasanya antar sesama anak KKN sebisa mungkin unjuk diri, cari-cari perhatian, mendadak jadi anak saleh-salehah, sok-sok bisa ngerjain sembarang hal, biar dapetin hati incaran.
Intensitas ketemu di lokasi KKN juga jadi anasir pendukung terjalinnya kisah kasih kayak di lagu-lagu pop: Dari mana datangnya cinta? Ya dari mata turun ke hati. *Oposeh asu
Ini tentu menjadi kerugian paling fatal dan semestinya nggak bisa ditolerir kalau sampai KKN dialih wahanakan. Pasalnya ya, kapan lagi gitu, loh, anak-anak ini bisa ngejalin cinta lokasi ala-ala FTV kalau nggak lewat medium yang satu ini. Ada sih banyak, tapi yakin deh jadinya nggak bakal seseru dan se-memorable cinta lokasi di tempat KKN. Yang jomblo-jomblo, demo sana demooo~
4# Nggak Bisa Ena-Ena
Berangkat dari adegan erotis dari cerita KKN Desa Penari, saya dirundung rasa penasaran yang teramat sangat. Ndilalah dari buku terbitan Mojok berjudul Elegi Sendok Garpu saya kok ya nemu lagi bagian yang menceritakan bahwa beberapa anak KKN ini sangat pintar mengambil kesempatan dalam kesempitan kalau itu urusannya sama dunia perselangkangan. Rasa penasaran saya kian menjadi-jadi.
Dari hasil survei secara diam-diam di Twitter, ternyata banyak yang mengaku pernah melakukan aktivitas ‘mantap-mantap’ dengan sesama timnya sendiri di sudut paling sepi. Pokoknya kalau ada peluang, sikaaaatttt. Saya nggak tahu cerita-cerita itu hanya mengada-ada demi sensasi atau emang betulan pernah terjadi.
Untuk mengobati rasa penasaran saya yang kian menggebu, saya akhirnya mengulik informasi dari salah beberapa senior yang baru lulus dua tahun yang lalu. Ada tiga narasumber yang dengan sukarela saya wawancarai. Dari pengakuan masing-masing informan—tanpa menyebut nama—saya bisa menyimpulkan meski nggak banyak, tapi potensi adanya indikasi ke arah ‘ena-ena’ antar sesama anak KKN itu tetap mungkin-mungkin saja. Sekali lagi mungkin, dan itu nggak banyak.
“Wis, tho. Walaupun satu atau dua, pasti ada mahasiswa yang dari awal udah curi-curi pandang untuk selanjutnya dieksekusi kalau keadaan memungkinkan,” ucap salah satu dari mereka. “Saya sendiri pernah memergoki kawan saya dari fakultas *tiiiitttt* lagi ‘mantap-mantap’ di pemondokan tempat kami menginap. Kebetulan saat itu hanya ada mereka berdua, sementara anak-anak yang lain rapat di balai desa.”
Bagi mahasiswa “kucing garong”, mungkin kebijakan untuk melakukan pembatasan terhadap program KKN bakal sangat merugikan. Pasalnya, itu sama artinya menutup peluang ‘ena-ena’ seperti yang sudah jauh-jauh waktu dia idam-idamkan. Tobat, Nder, tobaaattt~
BACA JUGA Persamaan Pengalaman KKN Saya dengan KKN di Desa Penari dan tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.