Kerja remote ada nggak enaknya, dan seringnya nggak dikasih tahu ke khalayak umum
Dulu saya memiliki bayangan yang cukup normal mengenai dunia kerja: bangun pagi, bersiap-siap, menembus kemacetan kota, sampai di kantor, bekerja, lalu pulang di sore hari. Namun semenjak pandemi, semua jadi serba online: kuliah, magang, dan kerja. Sebagai angkatan yang harus merasakan sidang skripsi dan wisuda daring, saya mencoba melamar ke beberapa tempat yang menyediakan opsi full work from home. Dulu sih, hitung-hitung sebagai tindakan preventif agar tidak tertular virus covid, pikir saya.
Realitasnya, menjadi pekerja remote tidak selamanya enak. Mungkin kerja remote begini dianggap menguntungkan waktu awal-awal pandemi dan ketika tingkat penyebaran virus masih tinggi. Walaupun istilah digital nomad sudah ngetren sebelum pandemi, tidak semua orang cocok dengan konsep “kerja sambil liburan”. Nah, kali ini saya mau share beberapa poin-poin nggak enak dari remote working yang sering kali tidak dipublikasikan ke khalayak umum.
#1 Boros
Kerja remote lebih hemat? Tergantung. Sebagai orang yang kembali tinggal seatap dengan orang tua setelah merantau, memang betul saya tidak perlu mengeluarkan uang tempat tinggal. Tidak hanya itu, nominal yang saya habiskan untuk transportasi dan makanan berkurang drastis. Namun, adanya uang lebih ini bisa menjadi senjata makan tuan. Kalau tidak pintar mengaturnya, uang ini bisa secara tidak sadar dipakai untuk splurging ketika pergi ke mall atau untuk belanja online (ujung-ujungnya diomongin tetangga karena nga pernah keluar rumah tapi setiap hari ada paket datang)..
Saya sempat jatuh ke masa-masa kecanduan belanja online dan kaget sendiri ketika melihat jumlah total pengeluaran. Supaya tidak boros, sekarang setiap gajian saya sudah sisihkan dulu uang untuk ditabung dan dipakai untuk pengeluaran yang urgent (belanja bulanan, asuransi, untuk orang tua, dsb). Pokoknya, ingat selalu untuk buat rencana pengeluaran langsung setelah dapet gaji!!
#2 Mengatur waktu dan pembagian tempat
Masih percaya dengan postingan aestetik ala-ala tumblr yang menampilkan enaknya kerja di kasur atau di teras rumah? Hohoho, itu hanyalah postingan belaka. Ruginya bekerja dari rumah adalah mudahnya saya kehilangan track of time. Bekerja di rumah sering membuat otak dan tubuh saya tidak bisa masuk mode bekerja, alhasil sering sekali malas dan menunda-nunda pekerjaan. Terlebih kalau pekerjaannya tidak ada deadline alias bisa dikerjakan kapan saja. Begadang terkadang menjadi jalan ninja. Ya, inilah ilusi remote yang sebenarnya.
Tempat bekerja juga sangat berpengaruh. Bekerja di kamar jadi tidak nyaman karena fungsi istirahat dan bekerja jadi campur aduk dalam satu ruangan. Bekerja di ruang makan? Terganggu suara emak yang masak. Di ruang tamu? Terganggu suara tetangga di luar. Wah, pokoknya serba ribet mau cari posisi enak, apalagi kalau rumahnya tidak terlalu lebar.
#3 Akurat mengenai data dan waktu (file, waktu kerja)
Kerja remote menuntut ketepatan dan akurasi tinggi. Kalau pekerja kantoran masih mendapatkan toleransi 10-15 menit karena telat, tidak ada kata toleransi bagi pekerja dari rumah. Bayangkan, pekerja kantoran punya banyak alasan valid untuk terlambat: kena macet, ban bocor, ada kecelakaan, dsb. Saya? Harus pasang alarm untuk absen tepat waktu karena terlambat beberapa menit akan jadi poin minus. Ya, karena dari rumah, alasan-alasan di atas tidak bisa saya pakai. Alhasil, saya harus selalu stand by menyalakan laptop atau membawa handphone ke mana pun saya pergi.
Selain itu, tidak ada toleransi mengenai human error. Karena semua pekerjaan dilakukan di internet dan menggunakan internet, maka tidak ada alasan lagi untuk para pegawai bisa malas-malasan dan tidak teliti ketika mengerjakan data. Ada data yang salah? Bisa dicek siapa yang mengerjakan data tersebut. Semua jadi serba transparan, sehingga ketika bekerja harus akurat karena file/data bisa diakses dan diawasi oleh sesama kolega dan atasan.
#4 Sosialisasi serba digital
Jujur, beberapa pekerja remote bisa merasakan kesepian karena lingkungan kerjanya serba digital. Apakah saya benar-benar tidak tahu siapa klien atau kolega saya? Oh, tidak. Kami mengadakan rapat mingguan yang terkadang diselingi dengan obrolan ringan dan games. Kami saling melihat wajah satu sama lain dan mendengar suara satu sama lain via conference call. Namun, berinteraksi lewat layar jelas rasanya berbeda dibandingkan dengan berinteraksi secara langsung. Rasanya ada yang kurang, apalagi bagi saya yang love language utamanya adalah sentuhan fisik.
Kasus yang lebih ekstrem? Kadang saya mendapat klien yang hanya membatasi komunikasi sebatas lewat chat saja. Interaksi yang hanya lewat tulisan dan emoji saja tidak akan bisa menimbulkan hubungan yang “akrab”, dan semua terkesan “dingin”, “kaku”, dan benar-benar pure professional karena tujuannya untuk bekerja saja.
#5 Tubuh mudah renta
Istilah pemuda jompo sedang populer akhir-akhir ini. Yha mau gimana lagi, wong memang kenyataannya kami yang bekerja dari rumah ini seringnya bekerja sambil leyeh-leyeh atau dengan posisi yang tidak jelas. Jujur, menurut saya pola kerja ini lebih merusak dibandingkan dengan kerja konvensional ke kantor. Kalau ke kantor, setidaknya pegawai harus berjalan/bergerak menuju tempat kerja. Saya? Tinggal ngesot ke meja belajar saja sudah bisa langsung bekerja.
Bagian tubuh yang paling terdampak dari kerja remote adalah mata dan punggung. Karena setiap hari wajib berhadapan dengan layar komputer, mata terpapar sinar radiasi biru. Kalau tidak rajin tetes mata dan mengatur cahaya ruangan, mata bisa kering dan terasa pedih. Ada kalanya mata terasa sakit yang berujung pada sakit kepala. Aduh!
Punggung (terutama punggung bagian bawah) juga merasakan pegal-pegal, terutama kalau posisi duduk tidak benar. Sekarang saya nggak heran ketika di internet lihat ada orang yang investasi beli kursi gaming atau alat-alat penunjang kerja remote yang harganya sampai jutaan. Kalau punya hardware yang nyaman, pasti kerja pun terasa enak.
Solusi untuk masalah ini? Sebetulnya simpel, saya sebagai pekerja remote harus ada kemauan untuk berolahraga supaya badan tetap fit. Saya juga mengambil beberapa tindakan preventif, seperti memakai kacamata antiradiasi ketika bekerja, menyesuaikan layar dengan pandangan mata ketika duduk, dan menaruh bantal pengganjal di kursi supaya posisi punggung tetap tegak dan tidak bungkuk.
Jadi gimana nih? Setelah mendengar curhatan saya ini, apa kira-kira kalian bakalan tetap mau kerja remote?
Penulis: Eunike Dewanggasani W. S.
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Dilema Para Pekerja Jarak Jauh (Remote Worker)