Menggunakan jasa dukun untuk penglaris
Lantaran uang tips boleh dibilang memegang peranan penting untuk mendongkrak pendapatan mbak dan mas caddy, kepuasan customer adalah koentji. Sebisa mungkin para caddy berusaha untuk membuat para customer menyukai mereka dan loyal—nggak pelit.
Berbagai macam upaya dilakukan caddy untuk membuat customer betah dekat-dekat dengan mereka. Selain berusaha tampil menarik, selalu wangi dan bersikap ramah. Para caddy tersebut nggak sedikit pula yang mencari orang pintar (dukun) untuk minta penglaris.
“Nggak tahu kalau di Jakarta pakai ginian (baca: penglaris) atau tidak, tapi kalau ndek sini (baca: Surabaya) seh ada banyak juga kok yang pakai itu (penglaris),” tutur Mbak D kepada saya. Biasanya, jimat penglaris tersebut ditaruh di pensil alis atau perlengkapan make up. Kalau kalian mendapati ada caddy yang nggak memperbolehkan alat make up-nya dipinjam orang lain. Nah, itu biasanya ada isiannya.
Secara pribadi saya memang nggak pernah datang ke orang pintar (dukun). Namun, saya sebenarnya nggak heran kalau ada praktik minta penglaris ke “orang pintar”. Ha wong politikus saja banyak juga kan melakukan tindakan serupa ketika menjelang Pemilu tiba.
Yang justru menarik adalah kenyataan kalau pekerjaan caddy ini ternyata memiliki pressure kerja yang keras, lho, Rek. Secara tidak langsung mereka diminta untuk bersaing dengan sesama caddy dan berebut perhatian customer agar pendapatan bulanannya cukup. Nggak heran juga kalau para caddy ini kemudian sampai datang ke dukun dan juga melakukan perawatannya mahal, soalnya mereka dituntut untuk selalu tampil paripurna dan prima di lapangan golf, sekalipun udaranya panas kentang-kentang.
Rela menjadi ani-ani
Di Surabaya, ani-ani adalah istilah yang digunakan untuk menyebut perempuan simpanan (lebih spesifik simpanan pria-pria kaya dengan pendapatan di atas rata-rata). Menjadi ani-ani adalah image yang cukup lekat dengan profesi caddy. Anggapan tersebut makin santer terdengar dan beredar luas salah satunya dipicu oleh skandal yang melibatkan seorang caddy dan pejabat di Jakarta. Skandal tersebut terkuak karena sang pejabat terlibat korupsi.
Tentu saja, nggak semua caddy adalah simpanan. Namun, nggak jarang juga yang melakukannya lantaran tuntutan hidup. Beberapa caddy yang sudah kadung terbiasa dengan perawatan mahal, barang-barang branded pemberian dari customer, juga uang tips yang tak sedikit kerap membius caddy untuk berani mengambil keputusan nekat —menjadi simpanan demi gaya hidup mewah.
Namun, sekali lagi, saya perlu menekankan kalau nggak semua caddy memilih jalan tersebut ya, Rek. Sama dengan pejabat yang identik dengan korupsi, tapi nggak semua pejabat korupsi, kan? Lagian kalau mau menjadi ani-ani nggak harus menjadi caddy, sih. Bekerja di kantor pun kalau niatnya memang ingin menjadi simpanan juga bisa. Kita memang harus lebih bijak untuk tidak langsung menjustifikasi sebuah profesi buruk hanya dari katanya saja.
Akhir kata, semoga Mas dan Mbak Caddy golf senantiasa bahagia dan sejahtera!
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengintip Sisi Gelap Dunia SPG