Jangan Harap Bisa Slow Living di Malang kalau 4 Hal Ini Belum Diperbaiki

Jangan Harap Bisa Slow Living di Malang kalau 4 Hal Ini Belum Diperbaiki

Jangan Harap Bisa Slow Living di Malang kalau 4 Hal Ini Belum Diperbaiki (unsplash.com)

Beberapa waktu lalu, media sosial saya ramai soal hasil riset Kompas mengenai daftar kota yang cocok untuk slow living. Menurut Kompas, Malang masuk dalam urutan 5 besar wilayah yang cocok untuk slow living. Di urutan pertama ada Kedu Raya, diikuti Tasikmalaya Raya, Banyumas Raya, Malang Raya, dan Kedungsepur Raya.

Entah kebetulan atau bagaimana, setelah informasi tersebut beredar, banyak unggahan akun media sosial lokal yang menunjukkan keindangan Malang. Mulai dari keindahan Jalan Ijen setelah hujan, jalan sekitaran UB, hingga Kayutangan di malam hari. Seolah mereka hendak menekankan kalau kawasan ini memang cocok untuk gaya hidup selow.

Saya terbilang cukup sering ke Malang, tapi percayalah, tempat ini nggak se-selow yang dikira. Kalau beberapa hal di bawah ini diperbaiki, mungkin apa yang dikatakan Kompas baru bisa valid.

#1 Kemacetan di Malang nggak tertolong

Menurut Narasi, beberapa ciri kota yang cocok untuk slow living antara lain biaya hidupnya murah, beriklim sejuk, memiliki banyak ruang terbuka hijau, dan yang paling penting suasananya tenang. Selama di Malang, saya akui banyak kafe estetik yang menyajikan makanan dan minuman murah, iklimnya sejuk, dan pepohonan rindang bisa kita jumpai di sini. Tapi, soal yang terakhir saya agak skeptis, ya. Suasana tenang seharusnya nggak cuma di rumah, tapi juga jalanan, kan.

Nah, Malang ini macetnya terbilang parah. Sudah banyak tulisan di Terminal Mojok yang mengangkat isu ini. Menurut pengakuan seseorang di Quora, kemacetan ini disebabkan volume kendaraan yang tinggi tiap harinya, sementara jalan di Malang sempit. Bahkan Getradius.id mengatakan ada 5 titik kemacetan yang nggak bisa diatasi di sana. Bayangkan, nggak bisa diatasi, lho!

Boro-boro slow living, yang ada tambah stres kalau tinggal di sana gara-gara macet.

#2 Lalu lintas yang amburadul

Selain macet, lalu lintas amburadul juga bikin Malang nggak cocok untuk slow living. Sampai sekarang saya masih takut nyetir sendirian di sana gara-gara arus lalu lintas yang nggak jelas dan mengerikan. Walaupun nggak sebrutal Bali bukan berarti membuat Malang jauh lebih mending.

Pasalnya, kota ini nggak memiliki rambu lalu lintas yang jelas. Misalnya, apakah di perempatan A boleh belok kanan? Kalau belok kiri apakah boleh langsung? Atau kalau lurus, haruskah mengikuti lampu APILL? Imbasnya nggak usah ditanya lagi. Orang-orang jadi suka nyetir ngawur, baik motor maupun mobil. Nggak jarang ada yang nyaris tertabrak. Dan yang jelas, ini bisa jadi alasan di balik kemacetan Malang yang makin hari makin parah.

#3 Banjir juga jadi masalah di Malang

Ternyata banjir juga menjadi masalah di kota ini. Saya pribadi belum pernah melihat banjir Malang secara langsung, tapi sudah banyak tulisan yang mengangkat masalah ini.

Mengutip Detik.com, awal Desember kemarin ada 11 titik di Kota Malang yang terendam banjir. Nggak tanggung-tanggung, tol Malang-Pandaan juga sempat terendam banjir. Kalau sudah begini parah banget, sih. Setelah saya cari tahu, drainase adalah masalah yang nggak selesai-selesai di sini.

Sejak tahun 2022, peningkatan drainase katanya telah menjadi prioritas Pemkot. Tapi nyatanya masih banyak laporan soal genangan air di beberapa titik. Mau slow living tapi kalau banjir malah bikin tambah stres, ya.

#4 Polusi udara

Terakhir, masalah polusi udara juga tak bisa dilupakan dari Malang. Menurut saya, suatu daerah cocok disebut untuk slow living karena minim polusi udara. Sayangnya, kualitas udara di Malang kurang baik. Meski jarang menjadi sorotan, saya menemukan beberapa portal berita yang mengemukakan udara Malang berpotensi buruk. Masyarakat khawatir akan volume kendaraan yang selalu bertambah terutama dari mahasiswa berpotensi menjadi sumber polusi.

Menurut Times Indonesia, Agustus kemarin dilaporkan bahwa kualitas udara Malang masih dalam kategori baik. Namun, 3 bulan kemudian, Dinas Kesehatan melaporkan bahwa kualitas udara Malang sudah melebihi batas aman. Selain itu, di bulan Oktober juga dilaporkan daerah Pagak Malang memiliki kualitas udara terburuk se-Indonesia dengan AQI poin 187.

Saya rasa memang banyak orang yang ingin menjalani gaya hidup slow living di Malang. Sudah dingin, harga barang murah, banyak wisata alam, dll. Namun yang mau tinggal di Malang sebaiknya pikir-pikir lagi biar nggak menyesal. Pasalnya, diam-diam kota ini sering dilanda macet di hari biasa. Jangan dikira lalu lintasnya adem ayem seperti di foto-foto. Selain itu, masalah banjir dan polusi udara juga bisa mengganggu penerapan gaya hidup slow living kalian. Andaikan masalah-masalah di atas bisa dituntaskan, riset Kompas bakalan terbukti, ya.

Penulis: Bella Yuninda Putri
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Alasan Orang Malang Malas Berwisata ke Batu.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version