Influencer bukan barang baru. Namanya tokoh yang punya pengaruh terhadap masyarakat sudah berumur setua peradaban. Di peradaban klasik kita mengenal demagog yang tidak lebih adalah influencer politis. Propagandis juga kurang lebih sama.
Dan bicara influencer, kita bertemu dengan realitas memuakkan. Realitas di mana influencer kini menjadi agen ketimpangan sosial. Kehadiran mereka yang kini jadi corong opini dan gaya hidup mengambil alih kehendak masyarakat luas sampai urusan paling sepele.
“Sebentar, emang influencer seburuk itu?” Mungkin itu pertanyaan Anda. Dan mungkin Anda berpikir tulisan ini hadir karena twit Dea Anugrah yang berisi kritik ketimpangan antara pekerja bergaji 800 ribu per bulan dan influencer yang dibayar 80 juta. Dan Anda benar, tulisan ini lahir karena twit kelewat jujur tersebut.
Dan benar lagi, tulisan ini menunjuk mereka yang menjadi influencer lifestyle. Memang arti influencer bisa luas. Bahkan bapak Anda bisa jadi influencer bagi Anda. Jadi mari sepakat bahwa yang sedang saya rujak adalah influencer yang bersliweran di media sosial. Yang menunjukkan gaya hidup sempurna melalui media sosial. Salah satunya pasti Anda follow juga.
Lha gimana saya tidak gatal. Kehadiran mereka seperti nakhoda yang menentukan arah hidup mereka para pemujanya. Tidak perlu berdalih, apa yang dikonsumsi sampai tutur kata masyarakat hari ini pasti dipengaruhi oleh mereka. Hayo, apakah Anda sedang nongkrong di kedai kopi overpriced dengan outfit yang semuanya karena melihat konten seorang influencer?
Inilah yang jadi masalah. Firdaus yang ditampilkan oleh mereka menjauhkan masyarakat dari realitas. Dan ketimpangan antara influencer dan pekerja lain menjadi garnish yang manis bagi problematika ini.
Sebelumnya, silahkan telan bulat-bulat argumen Anda yang membela mereka. “Mereka itu dituntut kreatif. Mereka kehilangan privasi. Mereka mengalami stress parah,” dan argumen nggatheli lainnya. Sorry to say, itu terlalu indah sebagai pembelaan.
Apakah pekerja lain, yang lebih murah gajinya, tidak mengalami apa yang dialami oleh mereka itu? Ya mengalami lah! Jika tidak, hari ini kita sudah hidup di dunia yang sempurna. Tidak ada lagi psikolog, pengawas K3, dan segala solusi terhadap problematika tadi.
Nyatanya, setiap orang mengalami hal serupa dengan influencer. Mau bicara bunuh diri? Silahkan cek data yang ada, dan lihat persentase influencer dengan masyarakat lain yang memilih mengakhiri hidupnya. Memandang influencer punya stres yang besar? Lha bagaimana dengan Anda dan teman-teman Anda yang juga rentan stress dan depresi akibat dunia kerja?
Sudah membelanya? Sekarang lihat bagaimana dunia influencer melahirkan ketimpangan tadi bahkan sampai taraf pikiran. Pertama adalah perkara konsumerisme. Ini jelas menjadi alasan mengapa mereka punya peran besar dalam industri hari ini. Apalagi ketika bicara barang mahal yang punya fungsi yang biasa saja. Sepatu misalnya.
Influencer yang “baik” pasti akan sukses untuk membujuk pemujanya untuk membeli barang yang dia endorse. Apa pun itu. Sudah berapa banyak remaja sampai minggat dari rumah karena tidak dibelikan barang yang diendorse atau diproduksi (baca: diendorse seolah-olah diproduksi sendiri) oleh mereka?
Berikutnya, influencer menciptakan mimpi busuk dan tidak masuk akal terhadap hidup yang ideal. Bahkan memunculkan pemakluman bahwa mereka punya privilege untuk melakukan apa pun bahkan yang “amoral” sekalipun. Sedangkan para pemujanya terseok-seok sambil mengejar mimpi yang tidak realistis.
Firdaus ala influencer ini melahirkan masalah psikologis bagi pemujanya. Rasa rendah diri menjadi masalah utama. Diikuti logika tak realistis terhadap kehidupan. Sisanya kembali lagi pada urusan konsumerisme tadi. Tapi, memang itulah yang diharapkan dari mereka. Mereka memang ditempatkan sebagai manusia sempurna. Tentu agar manusia lain terinspirasi oleh mereka. Meskipun inspirasi ini berarti belanja dan belanja lagi.
Ideal yang tidak masuk akal ini bisa merambah berbagai lini. Apakah Anda sering melihat influencer berbadan langsing mengendorse obat pelangsing. Influencer tersebut sedang menciptakan standar ra mashok, bahkan cenderung berbohong. Lha sudah langsing putih seperti patung Rafael kok masih jualan obat pelangsing? Ya goblok lah untuk mereka yang termakan marketing macam ini. Dan ini hanya satu dari sekian banyak contoh bagaimana marketing ala influencer menjauhkan kita dari dunia nyata.
Dan bicara apa yang Dea Anugrah suarakan, itu juga nyata. Influencer yang punya penghasilan berkali-kali lipat dari pekerja yang punya beban kerja yang sama itu memang ra mashok. Tapi, terpaksa kita maklumi karena begitulah ekonomi bekerja. Mereka bisa menyematkan nilai lebih pada barang yang punya fungsi sederhana seperti sepatu tadi. Sebuah nilai yang bisa dibilang nilai omong kosong nirfungsi.
Memang tidak masuk akal ketika ada buruh pabrik yang rentan kehilangan tangan karena resiko kerja punya gaji lebih rendah dari mereka yang katanya rentan depresi karena rajin dapat barang endorse. Eh tapi masuk akal sih, kan memang kita hidup di dunia hari ini. Tapi, diminta untuk maklum? Saya pikir itulah yang tidak masuk akal.
Tapi, bukan berarti saya menggiring Anda untuk berhenti mengagumi seseorang. Selama berdampak positif bagi pencapaian mimpi Anda, ya monggo. Tapi, kalau kagum sampai Anda insecure pada diri Anda sendiri, wah coba pikir dua kali. Coba cuci muka dan lihatlah cermin.
Dan untuk Anda para influencer, saya ucapkan selamat. Selamat karena bertengger di tingkat atas hierarki sosial. Selamat karena menjadi dari sedikit manusia yang bisa meraup profit lebih baik dari mayoritas masyarakat. Dan selamat, karena telah sukses membangun firdaus tak logis yang membuat manusia lain tertekan. Selamat, karena baju keren Anda diproduksi oleh mereka yang harus pakai baju sumbangan partai!
BACA JUGA Daripada Tips Hidup Hemat Bergaji UMR, Warga Jogja Lebih Butuh Ilmu Ini dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.